Akhirnya roda
pesawat Air Asia AK 1267 menyentuh landasan
Bandaranayake International
Airport Colombo Sri Lanka pukul
07.30 di pagi yang cerah setelah mengangkasa selama kurang lebih 3.5 jam dari Kuala
Lumpur, Malaysia. Tak terasa penantian selama 10 bulan sejak tiket dibeli
berakhir juga dan perasaan senang serta gembira bercampur aduk, tak sabar untuk
segera menyibak negeri dan dunia baru yang sudah terbentang di depan mata. Ya di tanggal 22 Mei 2012 itu, negeri Sri
Lanka menorehkan kenangan di hatiku.
Perjalanan ke Sri
Lanka ini sempat terancam batal lantaran 12 hari sebelum keberangkatan gue
sempat mengalami sakit ( gejala DBD ) selama kurang lebih 1 minggu dan diharuskan
beristirahat untuk memulihkan kondisi kesehatan. Tak ada pilihan lain, selain
gue harus pasrah menerima kenyataan (sedih) ini dan gue sempat berpikir biarlah kehendak
Tuhan yang terbaik yang akan terjadi. Gue hanya berharap sebelum hari
keberangkatan kondisi kesehatan sudah fit kembali karena gue sudah membayangkan
perjalanan kali ini akan (sangat) berat karena selama 6 hari perjalanan gue
akan berpindah ke 5 kota yang tentunya akan sangat menguras tenaga. Apalagi
saat itu visa turis untuk masuk Sri Lanka sudah gue kantongi. Sedih memang,
seandainya penantian selama 10 bulan harus kandas di saat-saat terakhir sebelum
berangkat karena kondisi kesehatan yang tidak prima. Namun Tuhan sungguh baik
dan gue bersyukur 5 hari sebelum keberangkatan kondisi kesehatan gue mulai
membaik sehingga optimis dapat berangkat sesuai dengan jadwal.
Oh yah pada saat
melakukan pemesanan tiket (Juli 2011) masih berlaku peraturan pemegang paspor Indonesia mendapatkan
fasilitas bebas visa untuk masuk ke Sri Lanka selama 30 hari. Namun sejak 01
Januari 2012 peraturan imigrasinya berubah yang mengharuskan pemegang paspor
Indonesia mengajukan visa terlebih dahulu sebelum masuk ke Sri Lanka. Hal ini
sempat membuat gue “panik” dan segera menghubungi Kedutaan Besar Sri Lanka di
Jakarta yaitu di Jalan Diponegoro No. 70 untuk menanyakan persyaratan admistratif
pengajuan visa turis serta sekalian mengambil formulir permohonan pengajuan
visa. Sebenarnya pengajuan visa ini juga bisa dilakukan secara on line
di situs www.eta.gov.lk dengan biaya
sebesar USD 20 yang dibayar dengan mendebit tagihan kartu kredit.
Namun gue lebih
memilih dengan mengajukan permohonan visa langsung ke Kedutaan Besar Sri Lanka
di Jakarta. Mengapa? Sederhana saja alasannya. Jika mengajukan permohonan
secara on line melalui situs,
persetujuan visanya hanya berupa print
out di atas kertas dan sekembali dari perjalanan lembar persetujuan visa
tersebut akan (berpotensi) hilang atau dibuang. Namun jika mengajukan ke
Kedutaaan (dengan biaya sebesar Rp 210,000) persetujuan visanya (harapan gue)
berupa stiker yang ditempel di paspor sehingga setidaknya mempunyai “kenang-kenangan” atas visa tersebut
hehehehe (penting ga sih ?).
Persyaratan
administratifnya juga tidak terlalu sulit yaitu hanya dengan mengisi formulir
permohonan yang harus diisi lengkap (dalam bahasa Inggris tentunya), tiket pp, Itinerary selama di Sri Lanka, paspor
asli + copy cover depan, serta pas
photo 4x6 sebanyak 2 lembar. Proses visa memakan waktu sekitar 7 hari kerja dan
setelah disetujui akan dihubungi kembali oleh pihak kedutaan. Setelah visa gue
disetujui dan dicek ternyata visanya
bukan berupa stiker yang ditempel di paspor seperti yang berlaku pada umumnya,
namun hanya berupa stempel di paspor
(mau irit kali yah hehehehe)
21 Mei 2012 Karena keberangkatan dilakukan pada malam hari sehingga dari pagi sampai sore gue
sempatkan untuk ngantor dulu (lumayan utk menghemat jatah cuti). Sebenarnya
dari Jakarta ke Colombo mempunyai penerbangan langsung yaitu dengan menggunakan
maskapai nasional Sri Lankan dan Mihin Lanka (Low Cost Carrier nya Sri Lanka). Namun setelah gue bandingkan harganya
dengan si “Merah” Air Asia ternyata menawarkan harga yang lebih kompetitif
dibandingkan kedua maskapai tersebut walaupun mengharuskan gue transit dulu
melalui Kuala Lumpur dengan membeli 2 tiket secara terpisah yaitu rute Jakarta-Kuala
Lumpur dan Kuala Lumpur-Colombo.
Untuk rute
Jakarta-Kuala Lumpur pp gue mendapatkan harga Rp 431,000 nett dan untuk rute
Kuala Lumpur-Colombo pp harga yang gue dapat yaitu MYR 392 nett (Rp 1,176,000 dgn asumsi kurs Rp
3,000) sehingga total harga yang gue bayar sekitar Rp 1,607,000 nett.
Pukul 20.30 pesawat
Air Asia AK 1389 lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta terbang dengan
tenangnya menuju LCCT di negeri Jiran Malaysia
dan mendarat pukul 23.30 waktu setempat. Karena gue membeli 2 tiket
terpisah sehingga harus keluar imigrasi dahulu untuk check-in kembali untuk rute Kuala Lumpur-Colombo.
Urusan imigrasi kali
ini lancar tidak seperti Mei tahun lalu ketika gue datang yang sempat ada
hambatan. Dan gue pun bergerak mencari mesin check-in untuk melakukan check-in
rute Kuala Lumpur-Colombo pada penerbangan selanjutnya tanggal 22 Mei pukul
06.15 pagi. Selesai urusan check-in
melalui mesin yang tersedia, gue bergerilya di dalam area LCCT untuk mencari
tempat “pewe” untuk tidur sembari mencari colokan utk mengisi daya baterai
blackberry. Hampir 30 menit gue berpusing-pusing (meminjam istilah Malaysia
hehehe) baik di terminal internasional maupun terminal domestik mencari lokasi
yang cocok namun nasib gue kurang beruntung karena semua colokan yang ada sudah
dikuasai penumpang lain sembari tidur bergelimpangan seperti ikan sarden.
Ternyata banyak juga penumpang lain yang menginap di bandara malam itu menunggu penerbangan lanjutan keesokan pagi.
Akhirnya jam 01.00
dini hari terpaksa gue kembali ke ruang keberangkatan internasional untuk tidur
selonjoran di kursi yang tersedia dan
tentunya tidak bisa tidur dengan nyenyak karena banyak calon
penumpang yang hilir mudik berkeliaran ke sana kemari. Beruntung di LCCT
disediakan fasilitas WIFI dengan kecepatan yang luar biasa sehingga gue bisa “membunuh”
waktu sesaat berselancar dgn tablet yang gue bawa. Hanya 2 jam mata ini terpejam dengan tidak
sempurna dan pukul 04.00 gue beringsut ke toilet untuk bersih-bersih sebelum mencari sarapan pagi dan
melanjutkan penerbangan kembali menuju Colombo.
Pagi-pagi buta
seperti ini selera untuk makan belum bangkit sehingga restoran cepat saji Mc’D
menjadi tempat pilihan sarapan pagi. Dengan menggelontorkan 13.2 Ringgit
(sekitar Rp 39rb) setangkup Big Mac dan segelas teh hangat sudah tersaji di
hadapan gue. Dan pukul 05.00 gue bergegas menuju ruang tunggu keberangkatan
sembari celingak celinguk di area check-in
mencari counter untuk verifikasi
dokumen tapi tidak menemukannya.
Bergegas gue menuju
ruang tunggu setelah melalui pemeriksaan imigrasi. Tepat 15 menit sebelum boarding gue mendengar pengumuman
melalui pengeras suara bahwa semua penumpang yang melakukan proses check-in melalui web, kiosk atau mesin
harus melakukan verifikasi dokumen dan tanpa verifikasi akan ditolak terbang. Seperti
kena setrum listrik, mendadak gue panik kenapa baru diumumkan sekarang
menjelang gue boarding dan segera
mata gue menyapu setiap sudut di ruang tunggu mencari lokasi verifikasi dokumen yang ternyata letaknya
tidak jauh dari tempat gue menunggu namun lokasinya tidak begitu kelihatan
alias nyempil.
Keringat dingin
langsung membasahi tubuh gue. Betapa tidak, antrian calon penumpang yang begitu
panjang untuk melakukan verifikasi sementara panggilan boarding tujuan Colombo sudah menggema. Yang gue heran mengapa
petugas yang melayani verifikasi dokumen hanya 1 orang sementara antrian
menggila tidak karuan pagi itu. Gue sempat memohon kepada calon penumpang yang
antri di depan gue untuk diijinkan melewati mereka dan diijinkan. Akhirnya petugas yang melayani
verifikasi ditambah menjadi 2 orang dan gue pun segera berpindah ke antrian
sebelah yang antriannya tidak begitu panjang dan memohon kepada petugas untuk dilayani
terlebih dahulu dengan alasan penerbangan gue sudah melakukan boarding namun ditolak oleh petugas
tersebut dengan alasan gue masih cukup waktu dan harus tetap mengantri. Duh
sial gue bergumam dalam hati, campur aduk perasaan gue saat itu dan keringat
dingin semakin mengucur dengan deras dan perut ikut-ikutan kompak memberi efek
mules.
Mata gue terus
melirik ke arah ruang keberangkatan
tempat dilakukan boarding dan proses boarding hampir selesai sementara
peraturan yang berlaku pintu akan ditutup 20 menit sebelum pesawat terbang. Akhirnya
tiba giliran gue dilayani petugas dan astaga demi apa bencana baru datang lagi
yaitu slip boarding pass yang terdiri
dari 2 bagian yaitu bagian besar dan kecil ternyata gue baru sadar bagian
kecilnya lenyap entah kemana dan petugas menginterogasi gue. Kadar panik gue
langsung melonjak pada kadar tingkat dewa dan dengan terus terang gue menjawab
tidak tahu (baca : hilang) sambil memohon dan memelas (sedikit memaksa juga)
kepada petugas tersebut untuk segera memberikan cap di boarding pass dan membiarkan gue berlalu. Untung petugasnya mau dan
setelah dicap gue langsung lari sekencang-kencangnya menuju ruang tunggu yang
sudah mau ditutup namun gue setengah berteriak kepada petugas untuk membuka
kembali pintu dan segera menyerahkan boarding
pass tersebut. Petugas bertanya kembali perihal bagian kecil yang sudah
tidak ada lagi dan gue jawab hilang dengan sedikit memaksa untuk segera lari
menuju pesawat. Beruntung gue bisa lolos dan dengan sisa-sisa tenaga terakhir
gue lari menuju tempat pesawat parkir dengan memanggul ransel tercinta gue (karena
di LCCT memang tidak disediakan garbarata sehingga calon penumpang harus
berjalan kaki ) menuju pesawat yang akan terbang ke Colombo.
Akhirnya gue menjadi
penumpang terakhir yang masuk pesawat dan penumpang lain sudah duduk manis
menunggu pesawat diberangkatkan. Ah....puji Tuhan akhirnya gue bisa ikut
terbang. Sejenak gue merenung setelah duduk di kursi pesawat. Mimpiku menginjak
Colombo nyaris “digagalkan” di LCCT oleh Air Asia dan untung itu tidak terjadi.
22 Mei 2012 Suasana
bandara Colombo pagi itu tidak terlalu ramai karena tidak banyak pesawat yang mendarat. Dari segi ukuran
bangunan terminal kedatangan bandara Bandaranayake tidak terlalu luas namun
bersih, teratur dan memberikan kesan
modern. Gue percepat langkah menuju imigrasi untuk segera keluar menuju pusat
kota Colombo. Sesaat setelah mengantri dan tiba giliran gue, entah “kutukan”
apa yang menyertai pasporku. Untuk kesekian kalinya gue terhambat dan paspor gue tidak bisa discan. Ketika gue tanya kepada petugas
imigrasi katanya ada masalah pada sistemnya. Dan gue diminta menyingkir dulu
untuk memberi kesempatan kepada penumpang lain. Dan....ternyata 2, 3, 4 orang
di belakang gue bisa melenggang dengan bebas setelah paspor mereka discan.
So, what’s wrong with my passport? Ini kejadian ke-4 yang gue alami dimana sebelumnya
terjadi di Malaysia dan Singapore (2x). Bahkan di Singapore lebih parah gue
sempat diinterogasi selama hampir 30 menit oleh petugas imigrasi walaupun
akhirnya lolos juga. Setelah menunggu
lebih kurang 20 menit akhirnya gue bisa lolos dari imigrasi Sri Lanka. Lega
rasanya namun masih menyisakan misteri terbesar dalam hidup gue yang masih
belum terjawab hingga saat ini mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Tak berapa lama
langkah kakiku telah mengantarkan ke Money
Changer di dekat pintu keluar terminal kedatangan. Setelah mata jelalatan
membandingkan satu counter dengan counter lainnya ternyata kurs US Dollar
hari itu terhadap Sri Lanka Rupee
hampir sama yaitu USD 1 setara dengan Rs
125.7. Jadi dengan menukarkan USD 100 gue mendapatkan Rs 12,570.
Gue sempatkan mampir
ke gerai yang menjual SIM Card GSM nomor lokal untuk mengaktifkan layanan
blackberry selama berada di Sri Lanka. Ketika sedang melongok di beberapa counter gue melihat ada seorang anak
muda dengan sosok muka melayu di samping gue dan dengan sok akrabnya gue
bertanya asalnya. Dan sontak gue sedikit kaget ternyata Mas Agus ini berasal
dari Indonesia (tepatnya Surabaya). Astaga....jauh-jauh terbang masih aja
ketemu dengan saudara sebangsa dan setanah air di Sri Lanka hehehe. Rupanya Mas
Agus ke Sri Lanka dalam rangka urusan pekerjaan selama 13 hari.
Nasib sial seperti
di Ho Chi Minh gue alami kembali di Colombo ketika layanan blackberry tidak bisa
diaktifkan padahal ketika melakukan pendaftaran melalui SMS menerima balasan bahwa layanan blackberry telah
diaktifkan. Ah sudahlah gue gak ambil pusing yang penting gue ingin segera
keluar dari area bandara ini menuju pusat kota.
Setelah bertanya dengan
petugas keamanan lokasi shuttle bis
gratis gue segera melangkahkan kaki menuju lokasi yang dimaksud yang jaraknya
tidak terlalu jauh yaitu hanya sekitar 100M dari pintu keluar. Shuttle bis ini yang akan mengantarkan
para penumpang menuju terminal bis di daerah Katunayake untuk selanjutnya
menuju kota Colombo. Bandara Internasional Bandarayanake ini terletak di luar
kota Colombo yaitu di distrik Katunayake, Negombo yang berjarak sekitar 35 KM
dari kota Colombo. Jangan dibayangkan shuttle
bis ini adalah bis yang mewah karena pada kenyataannya yang tersedia adalah
bis yang sangat sederhana tanpa AC layaknya bis PPD di Jakarta tahun 70-an.
Sebagian besar bis yang berseliweran di Sri Lanka didatangkan dari India buatan
grup TATA. Bis harus menunggu sampai penumpang penuh baru kemudian
diberangkatkan.
![]() |
Shuttle Bus Airport |
Sesaat mata gue
menyapu pandangan suasana di dalam terminal bis Katunayake setelah tiba dan
target gue adalah bis no 187 yang akan menuju pusat kota Colombo. Setelah
menemukan bis yang dimaksud gue bertanya kepada sopir untuk memastikan kalau gue
naik bis yang benar. Gue segera memilih tempat duduk dekat sopir agar
memudahkan gue seandainya ingin bertanya-tanya. Saat gue masuk kondisi bis
dalam keadaan kosong belum ada penumpang sama sekali dan gue penumpang pertama.
Sembari menunggu
penumpang lain, tiba-tiba sang kenek bis menutup rapat pintu bisnya dan sontak
menimbulkan rasa heran pada diri gue mengapa pintunya harus ditutup? Bukankah
mereka sedang menunggu penumpang lain dan pintu harus dalam kondisi terbuka untuk
memudahkan penumpang lain masuk ke dalam bis. Ah.....gue langsung panik dan
pikiran negatif langsung menyergap diri gue dibalut dengan perasaan yang tidak
enak. Duh jangan-jangan mereka mau menyekap gue karena mereka tahu gue turis
asing dan gue akan dirampok. Begitu pikir gue saat itu. Tanpa pikir panjang gue
langsung menggedor-gedor pintu minta dibukakan namun sang sopir meyakinkan gue
bahwa bis sebentar lagi akan berangkat. Namun gue memaksa minta dibukakan
dengan alasan salah naik bis.
Untung pintu
dibukakan dan gue segera melompat turun sembari mencari bis lain dengan nomor
yang sama dengan tergesa-gesa. Duh alangkah tidak lucunya seandainya baru saja
tiba di Colombo dan mengalami kejadian yang ...........ah gue gak bisa
membayangkan hal itu terjadi.
Bis yang baru gue
naiki ternyata sudah ada beberapa penumpang yang masuk dan memberi sedikit
kelegaan pada diri gue. Tanpa pikir panjang gue langsung mengambil posisi
tempat duduk di belakang sopir karena kebetulan ada sedikit space untuk meletakkan ransel gue. Sama
halnya di Jakarta, bis baru akan jalan ketika penumpang penuh.
Sembari menunggu bis
diberangkatkan gue bertanya kepada penumpang yang duduk di sebelah gue berapa
tarif bis tersebut menuju Colombo dan dijawab Rs 50 (Rp 3,750). Hm..murah juga
yah, begitu pikirku. Akhirnya bis berangkat dan sang kenek mulai menagih ongkos
kepada penumpang. Karena gue duduk di bangku paling depan otomatis gue yang
ditagih terlebih dahulu dan segera gue mengeluarkan pecahan Rs 100 untuk
membayar. Tapi gue heran mengapa sang kenek tidak langsung memberi kembalian
kepada gue. Gue pikir : ah mungkin belum ada kembaliannya dan tak masalah gue
menunggu kembalian diberikan.
Namun setelah
ditunggu-tunggu kok sang kenek belum memberikannya juga? Akhirnya gue beranikan
diri untuk bertanya dan sang kenek melambaikan tangannya. Ah apa itu artinya?
Sepertinya dia tidak bisa berbahasa Inggris. OK gue bersabar menunggu kembali.
Waktu berlalu dan belum ada tanda-tanda kembalian bisa gue diterima. Untuk
kedua kalinya gue bertanya kepada sang kenek dan langsung disambut dengan
omelan yang tidak jelas dan akhirnya gue hanya dikembalikan Rs 30 yang
seharusnya Rs 50. Sial...! belum apa-apa gue udah kena scam. Yah sudahlah gue tidak mau memperpanjang urusan tersebut
daripada ribut dengan sang kenek hanya karena selisih Rs 20.
Bis melaju membelah
kota Negombo yang lumayan padat menuju Colombo. Karena bis banyak berhenti
untuk menaikkan dan menurunkan penumpang ditambah dengan kemacetan di beberapa
titik, perjalanan ditempuh dalam waktu 1.5 jam untuk tiba di Colombo dan gue
turun di terminal Fort untuk mampir dulu di Fort
Railway Station yang kebetulan letaknya berdekatan.
Di stasiun ini gue
akan membeli tiket kereta tujuan Kandy untuk keberangkatan keesokan harinya.
Saat gue celingak celinguk mencari loket
untuk memesan tiket, gue dihampiri oleh seorang bapak-bapak yang rupanya
menangkap kebingungan dalam diri gue. Setelah menjelaskan tujuan gue, beliau
menunjukkan ruangan khusus di depan gue tempat untuk memesan tiket buat keberangkatan
keesokan harinya dan segera gue masuk untuk mengantri.
Sepertinya budaya
antri di Sri Lanka tidak beda jauh dengan di Indonesia. Saat sedang mengantri gue dibuat meradang oleh
seorang bapak yang mengambil jalur antrian gue, sementara itu di depan pelayanan
oleh petugas lamanya minta ampun. Tiba giliran gue untuk dilayani petugas minta
ijin untuk ke toilet dan lagi-lagi gue harus menunggu. Astaga ke toilet aja
lamanya minta ampun dan tidak ada petugas lain yang menggantikan sementara.
Begitu tiket sudah
dalam genggaman gue buru-buru keluar dari ruangan tersebut dan kembali bertemu
dengan bapak yang memberi tahu gue tempat untuk memesan tiket yang baru saja
gue jumpai tadi. Saat kaki ingin buru-buru melangkah gue dibuat tak berdaya
oleh obrolannya. Dan ujung-ujungnya beliau menawarkan diri untuk menjadi
pemandu buat gue selama di Kandy sambil menyodorkan sebuah buku yang berisi
testimoni turis asing yang pernah menggunakan jasa beliau. Ah sepertinya gue
tersandera oleh penawarannya yang begitu gencar dan agak (sedikit) memaksa.
Akhirnya dengan
berbagai alasan gue berhasil bebas dari
tawaran sang bapak dan lega sekali rasanya. Sementara di otak gue hanya satu
yang gue pikirkan yaitu : gue ingin segera cepat sampai di tempat penginapan
dan mandi setelah hampir kurang lebih 14
jam belum mandi dari Jakarta.
Sepertinya bis bukan
pilihan yang tepat untuk mencapai tempat penginapan karena selain rutenya
terlalu ribet juga tidak bisa langsung sampai lokasi penginapan dan harus disambung
lagi menggunakan moda transportasi lain. Gue mencoba masuk ke kantor polisi
untuk bertanya dan digiring ke pangkalan tuktuk alias bajaj. Seketika gue
dikerubutin oleh para sopir tuktuk. Setelah menyodorkan alamat penginapan,
seorang sopir tuktuk menawarkan harga Rs 800 (Rp 60 rb). Glek.....mahal amat
pikir gue. Dan pandangan gue berpaling kepada pak polisi yang segera diiyakan
oleh beliau bahwa tarifnya memang segitu. Huh....kesel banget gue sama nih
polisi. Bukannya membela gue untuk tidak dipalak oleh sang sopir tuktuk malah mengiyakan
tawaran sopir tuktuk ke gue.
Gue ragu untuk naik
dan gue juga bingung untuk menawar dengan harga berapa. Sopir tuktuk berkata
bahwa itu tarif normal menuju ke lokasi penginapan gue. Akhirnya gue disuruh
menawar dengan harga yang gue kehendaki, namun gue tetap bingung mau nawar
dengan harga berapa? Sopir tuktuk tetap memaksa gue dan gue bilang gak ada uang
segitu dan dengan muka polos gue tawar
dengan harga Rs 300 (Rp 22,500). Eh.. yang ada gue malah diomelin mereka.
Sembari meminta maaf
gue buru-buru keluar dari area stasiun dan bermaksud mencegat tuktuk di pinggir jalan raya. Baru beberapa
meter melangkah gue dipepet oleh sebuah tuktuk yang menawarkan jasanya dan
jreng jreng.... ternyata gue baru tahu tuktuknya tersebut menggunakan meter alias
argo! Ahay ..... lucu juga yah baru nemu bajaj yang menggunakan argo seperti
taksi. Setelah sedikit menginvestigasi bajaj dan sopirnya baru kemudian gue
melompat naik. Di tengah perjalanan sang sopir bertanya apakah gue berasal dari
Jepang? Ah apakah muka gue oriental banget sampai dikira berasal dari Jepang.
Setelah gue jawab dari Indonesia, beliau menyahut : “Oh, tsunami yah?”. Suasana
mendadak hening sembari gue berpikir apakah negeri tercinta gue dikenal dari
tsunaminya? Ah entahlah......
![]() |
Tuktuk yang Eksotik, Ada Argonya |
Ternyata jarak dari
stasiun ke lokasi penginapan gue di daerah Mt. Lavinia berjarak 13 KM (jarak KM
nya juga tertera di argo selain tarifnya) dan argo berhenti di harga Rs 560 (Rp
42rb). Walau masih berasa mahal namun gue puas karena itu harga resmi
menggunakan argo dan gue bebas dari palakan sopir tuktuk di stasiun tadi.
Tropic Inn
tempat gue menginap selama berada di Colombo
terletak di 30, College Avenue Mount Lavinia dengan tarif Rs 1,750 (Rp
131,250) yang gue booking secara on line
melalui Hostelworld.com. Mount
Lavinia merupakan kawasan wisata di tepi pantai dan di kawasan ini berjejer
berbagai tempat penginapan mulai dari guesthouse,
hostel sampai hotel berbintang. Jarak dari tempat penginapan gue ke pantai
hanya sekitar 50M.
Di penginapan ini
gue menempati kamar tipe dormitory
yang terdiri dari 3 kamar tidur. Saat check in hanya gue yang menempati kamar
tersebut dan belum ada tamu lain. Fasilitas kamar tersebut sederhana tapi sudah
memadai untuk harga yang dibayarkan. Tempat tidur yang disediakan tidak berupa bunk bed tapi satu orang satu tempat
tidur dan memang tidak disediakan A/C hanya fan.
******
Waktu yang sempit di
Colombo memaksa gue harus memadati acara dengan mengunjungi beberapa objek
menarik yang ada di kota ini.
Colombo merupakan
ibukota dari negara Sri Lanka yang memiliki populasi 685,000 dari 21,3 juta
penduduk Sri Lanka (Sumber : wikipedia). Negara Sri Lanka yang dulunya bernama
Ceylon merupakan salah satu anggota dari
SAARC (South Asian Association for
Regional Cooperation) yaitu Kerja Sama Regional Negara-negara Asia Selatan
(seperti ASEAN-nya kita) selain Afghanistan, India, Pakistan, Bangladesh,
Bhutan, Maladewa dan Nepal.
Sampai 3 tahun yang
lalu negeri ini terlibat konflik sektarian yang berbau etnis. Mayoritas
penduduk Sri Lanka 74% merupakan etnis Sinhala yang merupakan etnis terbesar.
Etnis minoritas terbesar yang berjumlah 12.6% adalah Tamil. Etnis Tamil inilah
yang kemudian melakukan gerakan separatis yang bertujuan untuk mendirikan
negara tersendiri yang merdeka dan berdaulat bagi etnis Tamil di sebelah timur
dan utara Sri Lanka melalui organisasi
militan mereka LTTE (Liberation Tigers of
Tamil Eelam) yang didirikan pada 05 Mei 1976.
Organisasi ini
melakukan serangkaian kegiatan teror, kejahatan terorganisasi dan pembunuhan
dengan jumlah korban lebih dari 100 ribu orang. Setelah melakukan pemberontakan
selama 27 tahun, gerakan ini berhasil ditumpas oleh militer Sri Lanka dengan
tewasnya pemimpin mereka yaitu Velupillai Prabakharan tanggal 18 Mei 2009
(sumber : wikipedia).
Hingga saat ini
situasi negeri Sri Lanka sudah benar-benar aman untuk didatangi dengan
banyaknya turis asing yang berseliweran. Gue sendiri merasa aman-aman saja
selama berada di Sri Lanka selama 5 hari dengan berpindah ke 4 kota.
Pettah Market
merupakan kawasan pertama yang akan gue datangi. Lokasinya sangat dekat dengan Fort Station. Dari tempat penginapan gue
menawar tuk-tuk yang kebetulan sedang mangkal di sekitar penginapan. Setelah
tawar menawar harga disepakati Rs 500 (Rp 37,500) menuju Pettah Market.
Di tengah perjalanan
sopir tuktuk tersebut menawarka untuk city
tour mengelilingi kota Colombo namun
gue belum merespon tawarannya. Menjelang tiba di Pettah Market beliau menawarkan untuk mampir ke salah satu kuil
Budha terbesar di kota Colombo. Gue menyetujui tawarannya karena sekalian
melewati daerah tersebut menuju Pettah
Market. Gangaramaya Temple,
demikian nama kuil tersebut yang terletak di 61 Sri Jinaratana Road, Colombo 2.
Tanpa berlama-lama
gue segera masuk ke dalam kuil ditemani oleh sang sopir tuktuk setelah membayar
tiket sebesar Rs 125 (Rp 9,300). Komplek kuil ini sangat luas dan terdiri dari
beberapa bangunan yang terdapat di dalamnya. Untuk masuk ke semua kuil Budha di
Sri Lanka kita harus melepaskan alas kaki yang kita pakai.
Memasuki bangunan
utama kuil terdapat beberapa patung Budha dengan ukuran raksasa dan berlapis
emas. Spontan gue mengambil posisi untuk berfoto di depan patung sang Budha setelah
ditawarin sopir tuktuk untuk memfoto gue. Jepretan pertama berlangsung sukses
dan ketika jepretan kedua baru saja selesai
gue diteriakin oleh penjaga kuil dari jauh dan berjalan mendekat ke arah
gue dengan gaharnya sembari gue mendapat omelan. Dan sopir tuktuk pun tak luput
mendapat jatah omelan juga dari sang penjaga. Sontak gue kaget bukan kepalang
dan bertanya dalam hati gue telah melakukan kesalahan apa yah?
Ternyata selidik
punya selidik di Sri Lanka berlaku aturan tidak boleh berfoto dengan latar
belakang patung sang Budha namun diperkenankan untuk mengambil foto patung
Budha-nya saja tanpa kita ikut serta dalam foto tersebut. Beuh...emang sotoy nih sopir tuktuk, begitu
pikirku yang menawarkan gue untuk berfoto dan dia tidak mengetahui adanya
larangan tersebut.
Di halaman tengah
kuil terdapat pohon Bodhi yang dipercaya umat Budha sebagai pohon suci karena
di situlah sang Budha bersemedi dan memperoleh pencerahan. Tidak jauh dari
pohon Bodhi terdapat replika stupa Candi Borobudur yang disusun dalam ukuran
kecil. Di samping bangunan utama terdapat bangunan lain yang di dalamnya juga
terdapat koleksi berbagai patung Budha dalam dalam berbagai ukuran dan patung
Budha ini sumbangan dari berbagai negara beberapa, diantaranya berlapis emas
murni.
Perjalanan
dilanjutkan menuju Pettah Market yang
jaraknya sudah dekat dari Kuil. Tujuan gue ke komplek pasar ini untuk
mengunjungi Mesjid Jami Ul-Alfar yang merupakan salah satu mesjid tertua yang
ada di Colombo. Mesjid ini didirikan pada tahun 1909 dengan bentuk arsitektur
yang menarik dan unik yang sekilas dilihat bentuknya seperti Kremlin di Red Square Moscow.
Mesjid ini letaknya
nyempil di kawasan Pettah Market yang
hiruk pikuk dengan segala aktivitasnya. Sempat memasuki mesjid ini dan gue
penasaran dengan isi di dalamnya, namun pada saat gue masuk bertepatan dengan
jam sholat bagi kaum muslim sehingga gue mengurungkan niat untuk masuk demi
menghormati kaum muslim yang sedang melaksanakan ibadah.
Pettah Market
sendiri terletak di Distrik Pettah, Colombo 11 dan merupakan pasar terbuka yang
terdiri dari beberapa komplek bangunan dengan menjual berbagai barang yaitu
pakaian, kain, perhiasan, bunga dll. Kawasan ini merupakan kawasan yang sibuk
di Colombo terlihat dengan padatnya aktivitas manusia di daerah tersebut. Tak
ada aktivitas belanja yang gue lakukan di tempat ini karena suasana yang begitu
crowded dan juga bingung harus
belanja apa?
Menjelang sore gue
meninggalkan kawasan Pettah Market
menuju Galle Road yang teletak di
tepi pantai. Sebelumnya sempat mampir di Old
Parliament Building yang dipergunakan sebagai tempat sekretariat
kepresidenan. Bangunan yang bergaya Neo-Baroque
ini didirikan pada tahun 1930 dengan bentuk yang sangat indah. Sayangnya
karena dipergunakan sebagai gedung pemerintahan sehingga tidak dibuka untuk
umum.
Harus diakui Colombo
banyak memiliki bangunan tua yang indah dan masih terawat hingga saat ini. Gue
juga sempat mampir ke The Colombo City
Town Hall di kawasan Cinnamon Gardens
yang dipergunakan sebagai kantor Walikota Colombo. Bangunan yang mirip dengan White House di Washington ini didirikan
pada tahun 1927 dan sama seperti Old Parliament Building, gedung ini juga
tidak dibuka untuk umum, jadi gue cukup menikmati dari halaman luarnya saja.
Tak terasa sang
tuktuk tiba mengantarkanku ke Independence
Memorial Hall (IMH) yang terletak di Independence
Square, Cinnamon Gardens yang
merupakan jantung ibukota Colombo. IMH merupakan monumen nasional yang
merupakan kawasan di mana rakyat Sri Lanka memproklamasikan kemerdekaan mereka
dari Inggris pada 04 Februari 1948.
Monumen Nasional ini
berupa bangunan dan lebih tepat disebut aula yang uniknya dibuat tanpa dinding
yang ditopang dengan tiang-tiang yang kokoh. Di atas tiang yang berada di sekeliling bangunan banyak terdapat
diorama yang dipahat dari batu yang menggambarkan cerita/peristiwa tertentu
namun sayangnya sopir tuktuk sendiri tidak dapat menceritakan makna dari
diorama tersebut. Karena tidak memiliki
dinding dan berupa ruang terbuka
memungkinkan kita untuk masuk bangunan ini dari arah mana saja.
Patung Rt. Hon Don
Stephen Senanayake yang merupakan Perdana Menteri Pertama Sri Lanka berdiri
dengan gagahnya di depan bangunan aula. Stephen Senanayake ini didapuk menjadi
bapak bangsa alias founding fathernya
Sri Lanka.
Komplek bangunan ini
sangat luas dan di sekelilingnya terdapat banyak taman yang asri dan burung
gagak beterbangan dengan bebasnya di taman ini. Banyak warga Sri Lanka
memanfaatkan lokasi ini sebagai tempat
untuk rileks dan bersantai karena untuk masuk kawasan ini tidak dipungut
bayaran alias gratis dan ketentuan ini juga berlaku untuk turis asing.
Dalam perjalanan
pulang gue juga mampir ke Kuil Hindu Sammangodu. Namun sayangnya entah karena
alasan apa hari itu kuil tersebut tidak dibuka untuk umum sehingga gue tidak
sempat untuk melongok isi dalam daripada kuil tersebut.
Akhirnya gue minta
diantar pulang kembali ke penginapan sore itu. Sesampainya di tempat penginapan gue bertanya berapa
ongkos yang harus gue bayar karena perjanjian awalnya hanya Rs 500 hanya sampai
ke Pettah Market. Karena keasyikan city tour gue lupa untuk negosiasi harga
kembali. Sang sopir tuktuk menyerahkan ke gue harga yang harus gue bayar. Namun
karena gue bingung akhirnya sang sopir tuktuk menetapkan Rs 3,000 (Rp 225,000)
untuk 4 jam perjalanan. Eh buset mahal banget pikir gue dan gue menawar Rs
2,000 hingga Rs 2,500 namun sang sopir tuktuk tetap tidak mau menurunkan
harganya. Akhirnya dengan berat hati gue membayar dengan harga tersebut.
Tiba di lobi
penginapan petugas front office
bertanya kepada gue berapa harga sewa tuktuk yang gue bayar dan ketika gue
jawab Rs 3,000 setengah berteriak dia mengatakan itu terlalu mahal dan gue kena
tipu. Seharusnya gue hanya membayar Rs 2,000-2,500 katanya. Sial....pikir gue
akhirnya gue kena juga ditipu oleh sopir tuktuk itu. Akhirnya gue rekam wajah
sopir tuktuk tersebut dan tak akan gue naik kembali tuktuknya.
Saat yang
menyenangkan senja yang indah diisi dengan leyeh-leyeh dan bersantai di pantai
sembari menunggu matahari terbenam untuk kembali ke peraduannya. Lokasi
penginapan gue hanya berjarak lebih kurang 50 dari pantai Mt. Lavinia dan tanpa
pikir panjang segera beranjak dari penginapan menuju pantai. Di tengah
perjalanan gue bertemu kembali dengan sang sopir tuktuk karena beliau memang
mangkal di sekitar lokasi gue menginap. Dengan setengah berteriak beliau menawarkan gue untuk bersantai
di cafe di tepi pantai yang dimiliki
adiknya. Namun gue menampik tawarannya karena telah merasa kecewa dengan gaya
bisnisnya.
Senja itu pantai Mt.
Lavinia dipenuhi dengan warga lokal yang berbaur dengan para turis asing baik
untuk sekedar bersantai di cafe yang
buka di sepanjang pantai maupun untuk berenang di tepi pantai. Gue sendiri
memilih untuk berjalan menyusuri pantai sembari bercengkerama dengan warga
lokal. Ketika mereka menanyakan asal negara, sengaja gue menyuruh mereka untuk
menebak dan jawaban yang terlontar adalah : Jepang. Ah kenapa lagi-lagi Jepang?
Kemudian Cina, Korea lanjut Taiwan seru mereka ketika gue nyatakan jawaban
mereka salah. Astaga semua negara Asia Timur mereka sebutkan yang mereka yakini
gue berasal. Ketika gue jawab berasal dari Indonesia dan bertanya kepada mereka
apakah tahu Indonesia, mereka kompak menggelengkan kepala. Ah miris juga hati
gue, rupanya Indonesia negara yang kurang populer di mata mereka.
Senja itu matahari
terbenam dengan indahnya dan diiringi dengan suara deburan ombak suasana begitu
sempurna untuk menyaksikan serta menikmati karya Sang Pencipta. Enggan rasanya
untuk beranjak dari tempat ini apalagi menyaksikan tingkah anak-anak lokal yang
dengan lucunya bermain serta berlari-lari di tepi pantai.
Sekembali gue ke
tempat penginapan dan masuk ke kamar, ternyata sudah ada penghuni baru turis
dari Australia yang baru tiba dan menempati kamar dormitory bersama gue. Senang rasanya mendapat teman baru dari
negara lain dan berbagi cerita. Ternyata beliau adalah seorang surfer dan datang ke Sri Lanka khusus
untuk surfing selama 3 minggu. Dan
rupanya beliau juga sudah pernah datang ke Indonesia dan melakukan surfing di provinsi Lampung.
Ada kejadian lucu
yang gue alami di penginapan ini. Ketika sedang bersantai di loby selesai makan malam, sepasang turis
suami istri (entah dari negara mana) menghampiri gue dan sang suami
menyampaikan sesuatu ke gue dengan membuka pembicaraan. Namun gue tidak
mengerti dengan apa yang disampaikan beliau dan dengan muka polos kebingungan gue menatap wajahnya. Namun sang
bapak dengan muka kebingungan juga bertanya kepada gue dalam Bahasa
Inggris apakah gue berasal dari Jepang?
Ah gubrak..! Negara itu lagi disebut. Akhirnya gue meralat dengan menjelaskan
kalau gue berasal dari Indonesia dan buru-buru mereka meminta maaf yang gue
balas dengan senyum kecil.
Bersambung...........
kirain model tuktuknya sama kayak yg di thailand eh ternyata bajaj hahahaha
ReplyDeleteoh ya satu pelajaran yg bisa diambil dari sini "selalu tanyakan ke petugas hostel atau penginapan ttg tarif kendaraan di sana"
sebuah artikel yg menarik..bisa dicetak buku sebagai panduan ke srilanka..i ilke it
ReplyDeletemau tanya nich..visa srilanka walau tdk apply di kedutaan ataupun via ETA bisa kita dapat di airport Kolombo ? lalu apabetul double entry..habis gue mau ke india setelah ke srilanka dan balik lagi ke srilanka utk pulang ke indonesia via singapore
DeleteHehehe baru belajar nulis belum layak rasanya untuk jadi buku. But anyway thanks udah mampir.
DeleteUntuk pemegang paspor RI, visa Srilanka tidak berlaku secara on arrival (VoA) artinya visa harus apply dulu di kedutaan ybs atau apply secara online. Kalau untuk multiple entry maaf saya belum tahu akan hal itu karena saya mengajukan yang Single Entry. Mungkin Anda bisa menanyakan langsung ke Kedubes Sri Lanka di Jakarta No. Telp 3141018
DeleteDear, bisa minta alamat email. Gw dalam waktu dekat ada rencana mau ke colombo, tetapi karena ini perdana, ada beberapa hal yang mau gw tanyakan. Thanks bro. Alamat email gw: junaidisjpku@gmail.com
DeleteDear Junaidi : Pls contact ke hardi_yh@yahoo.com
Deleteseakan ikut touring ke sri lanka.. very nice ^_^
ReplyDeletewow....terima kasih sudah berkunjung mba :) Salam.
DeleteImpresiv seneng bacanya ªķΰ bulan november or desember jg da rncana ke sana ma 2 org.thnks for sharing.BTW yang perlu ditunjukkan apa aja nih ma petugas imigrasi bandara.Denger2 wjah petgs imigrasi berang2 yach??jujur ªķΰ sering ngebayangin ngadepin petgas bndara yg galak.Kan g lucu kalo visa and pasport ditolak.Hadeehhhh.Jangan sampe.Tlg jwb pertanyaanq ya bro.Thanks.
ReplyDeleteHai salam kenal.
DeleteHanya perlu menunjukkan paspor yang masih berlaku+visa turis ajah kok :) wajah petugas imigrasinya nggak seram sih hanya agak kaku tp jgn khawatir kok selama dokumen kita lengkap pasti akan lolos keluar dari imigrasi. Thanks udah mampir membaca yah. Enjoy Sri Lanka :)
Salam,
aku ikutan deg2an baca yg nyaris ketinggalan pesawat, trs paspor ga bisa di scan :p. Btw mas, itu PENTING BANGET ada visa baru tertempel di paspor kita ;p hahaha...aku juga koleksi begituan ;p.. visa2 negara yg pernah dikunjungi, tertempel rapi di pasport, ssekali diliat sambil inget2 gimana dulu susah gampang ngedapetinnya ama suka duka liburannya :D
ReplyDeleteHehehe iya nih benar2 pengalaman seru. Wah..sepertinya koleksi visanya sudah banyak nih :)
DeleteYeay! Besok brangkat ksana :-)
ReplyDeletewow...have fun mas. enjoy Sri Lanka :)
DeleteAwesome post ! This is very very useful …for any information or help regarding srilanka visa visit Transit visa Sri Lanka ,Online Sri Lanka n ETA
ReplyDelete