JEJAK LANGKAH Di KAMBOJA Part 1 : Wajah Phnom Penh Di Masa Kini

Wajah petugas imigrasi itu sangat dingin. Tanpa ekspresi dan banyak bicara akhirnya stempel imigrasipun “mendarat” di paspor gue menandakan gue diperkenankan masuk ke negara Kamboja selama 30 hari tanpa visa tepat di tanggal 17 Agustus 2012 ketika negara Indonesia tercinta sedang gegap gempita merayakan peringatan hari kemerdekaan ke-67. 

Seperti biasa maskapai Air Asia AK 1476 yang menerbangkan gue dari Kuala Lumpur ke Phnom Penh selama 2 jam setelah sebelumnya (16 Agt) menginap di bandara KLIA-LCCT dari Jakarta menggunakan AK 1389 dan tiba nyaris tengah malam di KUL. Harga tiket JKT-KUL-PNH serta REP-KUL-JKT gue peroleh dengan total harga Rp 1.043.000 termasuk cukup murah.

Sebelumnya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta Jakarta gue sempat bertemu dan berkenalan dengan teman baru Andreas, Mariska dan Wilky. Akhirnya kami menunggu bersama-sama di Lounge dengan tujuan berbeda. Mereka bertiga dengan tujuan ke Bali dan gue ke Kuala Lumpur. Dunia memang sempit, ternyata Mariska satu gereja dengan gue.

Bertemu Teman Baru di T3 Soetta

Suasana bandara internasional Phnom Penh belum terlalu ramai pagi itu saat gue mendarat. Lepas dari urusan imigrasi gue segera mencari gerai yang menjual SIM Card nomor lokal. Pilihan gue jatuh kepada kartu Hello yang ternyata masih memiliki afiliasi dengan XL di Indonesia.  Harga kartu Perdana USD 5 dengan isi pulsa senilai USD 10. Layanan blackberry pun langsung aktif saat itu juga dalam hitungan detik.

Tuk tuk yang gue sewa dari bandara  melaju membelah kota Phnom Penh di pagi yang cerah itu saat jarum jam menunjuk pada angka 9 seiiring dengan  geliat kota yang ditandai dengan aktivitas dan kesibukan para warganya.

Mejeng di Depan Tuktuk Bandara

Setelah 30 menit menempuh perjalanan, akhirnya tuktuk tiba dengan selamat di Me Mates Place tepatnya di Street 90 kawasan Wat Phnom pusat kota Phnom Penh. Uang receh $7 pun berpindah tangan ke supir tuktuk. Di hostel inilah tempat gue menginap selama 3 hari di Kota Phnom Penh.

Penampakan Depan Hostel

Oh ya, negara Kamboja ini sangat unik, karena sistem pembayaran dalam perekonomiannya menggunakan 2 mata uang yaitu mata uang lokal (KHR;Cambodia Riel) dan US Dollar (US $1 = KHR 4,000). Jadi jangan heran dalam transaksi sehari-hari entah itu membeli air mineral di pinggir jalan, sewa tuktuk, makan di warung atau belanja di mini market dll semua harga dipatok dalam US $ namun mereka juga menerima Cambodia Riel yang harus dikonversi dulu tentunya.

Hostel kecil 4 lantai yang sederhana namun bersih dan nyaman. Selama 2 malam gue menginap di sini dengan tarif $6.5/malam untuk kamar dormitory  kapasitas 8 orang. Dilengkapi dengan pendingin udara, kamar mandi di dalam kamar yang digunakan secara sharing serta tersedia locker di kamar cukup membuat gue cukup betah untuk tinggal di situ. Apalagi letaknya persis di tengah kota dan sangat strategis sehingga mudah untuk menjangkau ke seluruh pelosok Phnom Penh.

Bunk Bed Hostel

Toilet Hostel di Dalam Kamar

Locker Hostel

Dari kapasitas 8 tempat tidur, pada saat gue check in hanya terisi 3 tempat tidur yaitu gue dari Indonesia, Geir dari Norway dan Chaterine dari Australia sehingga gue bisa dengan leluasa bebas memilih bunk bed yang tersisa.

Tidak butuh lama buat gue untuk langsung turun ke jalan setelah mandi untuk menjelajahi Kota Phnom Penh di siang itu. Dengan diantar oleh ojek motor yang gue sewa seharga $13 hingga sore hari, petualangan gue di Kota Phnom Penh pun dimulai.

Tuol Sleng Genocide Museum, bangunan kaku dan dingin itu sudah berada di hadapan gue. Karena lokasinya di pusat kota, museum ini sangat gampang untuk dicapai. Dua lembar mata uang $1 (total $2) dibayar di loket masuk.

Objek Wisata Mengerikan itu

Museum ini adalah bekas penjara yang dikenal dengan nama penjara S-21 yang digunakan pada saat rezim Khmer Merah memerintah di Kamboja. Museum ini merupakan salah satu tempat wisata yang mengerikan di Phnom Penh.

Gerbang Masuk Museum

Awalnya bangunan ini merupakan sekolah menengah atas dengan nama Tuol Svay Prey High School. Setelah rezim Khmer Merah mengambil alih kekuasaan di Kamboja pada tahun 1975, bangunan ini diubah fungsinya menjadi penjara untuk menahan dan menginterogasi para tahanan yang dianggap sebagai musuh politik dan mereka yang tidak sepaham dengan Khmer Merah.

Penjara yang Merupakan  Bekas Bangunan Sekolah

Di penjara inilah, para tahanan disiksa dan dianiaya secara kejam dan brutal. Bahkan ada beberapa  tahanan yang hidupnya harus berakhir di penjara ini setelah dibantai secara sadis. Dengan tingkat keamanan ketat yang dibuat secara berlapis dengan tembok yang tinggi, penjara S-21 ini merupakan penjara yang terbesar di Kamboja.

Sadis...!!

Ilustrasi Pembantaian itu Sungguh Mengerikan

Terdapat 4 blok bangunan masing-masing memiliki 3 lantai yang digunakan sebagai  penjara bagi tahanan Khmer Merah. Bangunan ini menjadi saksi bisu kekejaman serta kebiadaban rezim Khmer Merah dan memunculkan tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ini. Di setiap blok bangunan, masih dapat kita saksikan kamar atau ruang tahanan yang masih menyisakan bekas tempat tidur para tahanan yang dilengkapi dengan kalung kaki besi agar tahanan tidak dapat kabur.

Kamar Tahanan itu

Foto-foto hitam putih para tahanan baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi korban dari kekejaman Khmer Merah dipamerkan di beberapa ruang. Juga diperlihatkan alat-alat yang dipergunakan untuk menginterogasi dan menyiksa korban secara kejam dan gambar-gambar yang merupakan ilustrasi bagaimana Khmer Merah mengakhiri hidup para tahanan. Di ruang lain juga dipamerkan tengkorak para korban yang disimpan dan disusun dalam sebuah lemari kaca. Sungguh tragis dan menyeramkan.....

Foto-foto Para Korban

Tengkorak yang Dijejerkan

Sejarah mencatat, dari sekian banyak mereka yang ditahan dan dipenjarakan di tempat ini, terdapat 7 orang yang masih hidup dan selamat. Salah satu korban yang masih hidup tersebut yang menjadi saksi sejarah menceritakan kisah dan pengalamannya dalam sebuah buku yang dijual kepada para pengunjung di dalam komplek museum.

Salah Seorang Saksi Sejarah

*********

   

“The Killing Fields” Choeung Ek

Langkah kaki mengantarkan gue ke “The Killing Fields” Choeung Ek  untuk mengunjungi tempat wisata mengerikan ke-2 di Phnom Penh setelah Tuol Sleng Genocide Museum. Mengapa disebut tempat wisata mengerikan? Karena tempat ini menjadi ladang pembantaian dan pembunuhan atas rakyat Kamboja yang dilakukan oleh tentara rezim Khmer Merah pada saat mereka berkuasa di era 1975-1979.

Gerbang "The Killing Fields"

Suasana sunyi......sepi.....dan mencekam saat gue tiba. Hanya derap langkah kaki pengunjung yang terdengar saat mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang terbayang di pikiran ini hanyalah kengerian dan duka mendalam terhadap kejadian keji dan biadab 33-37 tahun silam tatkala pembantaian dan pembunuhan massal itu terjadi.   Guratan sejarah hitam itu membawa bangsa Kamboja ke dalam titik kelam dan nadir.

“The Killing Fields” ini terletak di Distrik Komun Choeung Ek, Khan Dakor kira-kira 15 KM sebelah tenggara kota Phnom Penh. Untuk mencapai tempat ini kita dapat menggunakan jasa tuktuk atau ojek motor dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Harga tiket masuk sebesar USD 5 termasuk peralatan audio untuk memandu kita di dalam yang dapat dipilih dalam berbagai bahasa. Sayangnya tidak terdapat pilihan dalam Bahasa Indonesia jadi pilihan jatuh kepada Bahasa Malaysia yang setidaknya mirip sehingga dapat mendengar penjelasan dan dimengerti secara  maksimal.

Tiket Masuk

Memasuki areal “The Killing Fields” ini suasana mencekam langsung menyergap. Dengan luas sekitar 2.5 ha, awalnya tempat ini digunakan sebagai areal pekuburan Cina. Pada era 1975-1979 pada saat Rejim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa, tempat ini digunakan sebagai tempat untuk membantai dan membunuh rakyat Kamboja yang tidak berdosa yang tidak sepaham dengan doktrin mereka.

Sunyi, Sepi dan Mencekam

Di area ini pengunjung tidak diperkenankan untuk berbicara dan berisik, merokok dan harus berpakaian yang pantas untuk menghormati arwah para korban yang tewas secara tidak wajar di tempat ini.

 

Melalui peralatan audio kita akan dipandu dan dibawa berhenti pada 18 titik perhentian di seputar lokasi. Di setiap titik perhentian yang diberi tanda nomor pada lokasi tersebut kita tinggal menekan angka pada tombol yang bersangkutan pada peralatan audio dan seketika akan langsung terdengar penjelasan tentang lokasi pada nomor yang kita pilih.

 

Rezim Khmer Merah di bawah kepemimpinan Pol Pot yang memerintah tahun 1975-1979 benar-benar membawa Bangsa Kamboja masuk dalam masa yang paling kelam dan tragis. Dengan menggusur pemimpin sebelumnya Lon Nol yang dianggap sebagai pemerintahan korup, Pol Pot menerapkan pemerintahan komunis yang sangat ekstrem dan radikal.

Betapa tidak. Dengan mengumumkan negara Kamboja sebagai negara baru pada tahun 1975 dan dinyatakan sebagai tahun awal ( Year Zero) untuk membangun segala sesuatunya. Rakyat Kamboja dari berbagai tingkatan dan profesi seperti dokter, guru, pedagang, kaum profesional, pengacara dll dipaksa untuk meninggalkan semua pekerjaan mereka dan dengan menggunakan kekerasan mereka dipaksa menjadi petani untuk menggarap tanah dengan mengedepankan sektor pertanian.

Pada masa itu Kamboja benar-benar dibuat terputus dengan dunia luar. Sekolah ditutup, mata uang hilang dari peredaran, hukum ditiadakan, wabah kelaparan dan penyakit merebak. Semua rakyat dikerahkan untuk melakukan kerja paksa di bidang pertanian.

Bagi mereka yang tidak sepaham dengan doktrin tersebut atau orang-orang yang dicurigai yang dianggap masih memiliki hubungan dengan rejim lama atau memiliki hubungan dengan asing akan ditangkap dan disiksa oleh tentara Khmer Merah. Oleh karena itu “The Killing Fields” Choeung Ek ini memiliki keterkaitan erat dengan komplek penjara S-21 (yang sekarang menjadi Tuol Sleng Genocide Museum) di Phnom Penh karena di penjara inilah para tahanan dipenjarakan serta disiksa sebelum akhirnya dibawa ke Choeung Ek untuk menjalani eksekusi dengan dibunuh dan dibantai. Sungguh mengerikan.......

Duniapun dibuat geger dan gempar. Lebih dari 2 juta jiwa rakyat Kamboja melayang akibat kekejaman serta kekejian tentara Khmer Merah.

Titik perhentian yang menarik perhatian saya yaitu No. 7. Di tempat ini ditemukan makam untuk menguburkan jenazah secara massal. Setelah dilakukan penggalian tercatat 450 korban yang dimakamkan secara massal di tempat ini. Suasana agak merinding ketika saya mendekati tempat ini yang tetap dijaga keasliannya. Tampak secara tersamar sisa-sisa pakaian korban yang menyembul ke permukaan tanah.

Ladang Pembantaian

Kuburan Massal itu

Para korban dibunuh tentara Khmer Merah tidak dengan cara ditembak menggunakan senjata alasannya untuk menghemat peluru atau amunisi tetapi dengan menggunakan alat-alat tradisonal pertanian seperti cangkul, pisau untuk memotong kelapa, batang bambu dll

Berjalan menyusuri sebuah danau kecil di titik perhentian No. 11 dan ditumbuhi dengan pohon-pohon raksasa di sekelilingnya disertai dengan desir angin yang berhembus membuat tempat ini terasa sangat sakral. Suasana di sekitar danau entah mengapa begitu terasa aura mistisnya.

Danau yang Mistis

Langkah kaki berhenti pada titik perhentian No. 14 yaitu berupa kotak kaca yang menyimpan bekas pakaian para korban. Tampak pakaian yang ada sudah tidak utuh lagi dan dalam kondisi tercabik-cabik diperlihatkan di dalam kotak kaca tersebut.

Kotak Kaca yang Berisikan Bekas Pakaian Para korban

Di titik perhentian No.15 yaitu berupa sebuah pohon besar yang digunakan sebagai tempat eksekusi bagi bayi dan anak-anak. Pada masa itu, rejim Khmer Merah tidak hanya membunuh kaum pria saja tetapi juga kaum wanita dan anak-anak. Pada lukisan yang terdapat di Tuol Sleng Genocide Museum terdapat ilustrasi gambar berupa seorang bayi yang dilempar ke udara dan disambut dengan tusukan bayonet tentara Khmer Merah. Dengan cara itulah bayi-bayi dibunuh di tempat ini.

Pohon Maut Tempat Membunuh Bayi dan Anak-anak

Cara lain yaitu bayi dan anak-anak tersebut dilempar dan dibenturkan di pohon besar itu. Pembantaian ini sengaja dilakukan oleh tentara Khmer Merah di hadapan para orang tua bayi dan anak-anak tersebut untuk tujuan interogasi dan selain itu untuk memusnahkan satu generasi agar setelah dewasa nanti anak-anak tersebut tidak bisa membalaskan dendam orang tua mereka. Bisa dibayangkan kekejian dan kebiadaban rejim Khmer Merah ini. Melihat benda-benda milik anak-anak tersebut yang digantungkan dan ditancap pada pohon tersebut sungguh membuat hati ini tersayat perih.

Tak kalah membuat bulu kuduk berdiri yaitu pada titik perhentian No. 16 terdapat kotak kaca yang menyimpan potongan tulang belulang para korban yang diperoleh melalui penggalian yang dilakukan setelah tahun 1980.

Potongan Tulang Para Korban

Terdapat sebuah pohon besar di titik perhentian No. 17 yang disebut Pohon Ajaib (Magic Tree). Dinamakan pohon ajaib karena dari dalam pohon ini dapat mengeluarkan suara  yang  sengaja dipasang speaker atau pengeras suara yang digantung pada ranting pohon dan diperdengarkan musik tradisional rakyat Kamboja. Ini dilakukan bukan tanpa maksud. Suara musik yang disetel dengan volume keras hanya sebagai kamuflase dan upaya untuk meredam suara jeritan dan tangisan dari para korban yang sedang disiksa dan dibantai agar teriakan mereka tidak  terdengar hingga keluar area ladang pembantaian.

Napak tilas berakhir di titik perhentian No. 18 yaitu berupa Stupa Peringatan (Memorial Stupa). Stupa yang berbentuk bangunan setinggi 65 M ini dibangun untuk menyimpan sisa-sisa jasad para korban berupa tengkorak-tengkorak dan untuk menghormati arwah para korban yang tewas di tempat tersebut. Sisa-sisa tengkorak tersusun rapi dalam sebuah lemari kaca. Untuk masuk ke tempat ini pengunjung harus melepaskan alas kaki dan sama sekali tidak diperkenankan untuk  berbicara karena tempat ini sangat dihormati.

Tengkorak Dalam Lemari Kaca

Memorial Stupa

Siapapun yang datang ke tempat ini sepakat bahwa semoga tragedi kemanusiaan yang pernah tercatat sebagai tragedi yang  kejam dan sadis di abad ini tidak terulang dan tidak akan pernah terjadi lagi di belahan bumi manapun.

************

Lupakan sejenak wisata mengerikan di Phnom Penh dengan Tuol Sleng Genocide Museum dan The Killing Fields nya.  Keindahan dan kemegahan Royal Palace di tengah kota Phnom Penh benar-benar memanjakan mata untuk dinikmati kecantikan dan keanggunannya di sore itu.

Royal Palace

Sesuai keterangan yang tercantum di balik tiket, nama istana ini dalam bahasa lokal yaitu Preah Borom Reach Vang Chatomuk Mongkul. Dinamakan demikian karena letaknya dekat dengan pertemuan atau persimpangan 4 sungai yaitu The Upper Mekong, Tonle Sap, The Lower Mekong dan Tonle Bassac.

Komplek Royal Place ini dibagi dalam 3 bangunan utama yaitu The Throne Hall, Khemarin Palace dan Silver Pagoda. Bangunan The Throne Hall dipakai sebagai tempat kegiatan resmi kerajaan. Saat ini, tempat tersebut dipakai sebagai tempat upacara keagamaan dan acara kerajaan. Khemarin Palace dipergunakan sebagai tempat kediaman resmi raja sedangkan Silver Pagoda dipergunakan sebagai tempat bagi raja untuk betemu dengan para biksu dan beberapa acara kerajaan juga kerap dilakukan di tempat ini. Yang unik dari Silver Pagoda ini dihiasi dengan sekitar 9,500 berlian dan ukuran terbesar 25 karat (sumber : Wikipedia). Beberapa bagian lantai keramik dari Silver Pagoda ini dilapisi dengan perak dan di sekitarnya bertebaran beberapa stupa. Sebuah mahakarya yang begitu indah....

Silver Pagoda

Stupa yang banyak bertebaran di SIlver Pagoda

Sudut Stupa lain

Throne Hall

Kuliner Kamboja yang Begitu Menggoda

Pukul 18.00 Rovin sudah tiba di hostel menjemput gue. Rovin adalah temen gue warga lokal yang pernah menempuh pendidikan program Master di Jakarta setelah mendapat  beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Setelah menjemput Sophal teman Rovin yang seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Phnom Penh, gue diajak untuk menikmati kuliner malam di Khmer Food Village.

Tempat yang Pas Buat Memanjakan Lidah

Dibuka dengan santapan yang mirip dengan roti prata (gue lupa namanya) yang di dalamnya berisi potongan daging ayam dan saat menyantap roti ini diselimuti dengan sayuran berupa daun salad, timun dan daun yang mirip dengan daun mint serta dicocol dengan saus bening. Hm....begitu gigitan pertama gue langsung suka dengan makanan ini yang rasanya sungguh enak.

Makanan Pembuka (lupa namanya)

Original Khmer Spring Roll melengkapi menu pembuka kali ini. Tekstur Spring Roll ini sangat lembut dan berisi daging cincang dilengkapi cocolan saus khusus membuat lidah susah untuk berhenti menyantapnya.

Khmer Spring Roll yang Lezat itu

Masih berlanjut ke menu Khmer Amok yang berupa ikan dimasak santan dengan rasa agak sedikit pedas dan gurih.

Khmer Amok yang Menakjubkan

Belum puas? Kampuchea Krom Sour Soup siap memanjakan lidah gue kembali. Sup ikan hangat dengan paduan rasa asam, pedas dan manis menggoyangkan lidah gue

Kampuchea Krom Sour Soup bikin lidah ketagihan

Astaga perut ini sudah memberontak rasanya untuk tidak diisi kembali, namun apa daya daging sapi cincang yang dipadu dengan sayuran rebus melengkapi kuliner malam ini.

Daging Cincangnya Maknyus!!

Ditemani dengan bir lokal (Angkor Beer) membuat makan malam ini terasa begitu sempurna, apalagi diselingi dengan cerita dan obrolan tentang Kamboja serta profesi 2 rekan ini. Terima kasih Rovin dan Sophal yang sudah menjadi good host malam itu.

Bir Lokal : Angkor

Berkeliling kota Phnom Penh di malam hari serasa melintas di kota Jakarta tahun 80-an. Belum banyak gedung pencakar langit di sini memang. Sebuah kota yang kecil dan sederhana namun tertata rapi.

************

Sesuai dengan janji di malam sebelumnya, pagi itu Sophal datang menjemput gue ke hostel untuk menemani gue menjelajahi Phnom Penh selama setengah hari. Dengan menumpang sepeda motor yang dikendarai Sophal, kami menuju Kedai Rik Reay untuk sarapan pagi. Pilihan gue jatuh pada Cambodia Noodle Soup yang mirip dengan Pho di Vietnam, yang membedakannya di Kamboja dilengkapi dengan bakso daging sapi. Juga tersedia makanan pelengkap berupa cakwe yang di Kamboja juga disebut dengan cakwe.

Mampir Sarapan Pagi Dulu

Sluuurrrp....

National Museum menjadi perhentian pertama kami di pagi itu dan harga tiket untuk turis asing sebesar USD 3 sedangkan untuk warga lokal harus membayar 500 Riel (USD 0.1). Letak museum ini bersebelahan dengan Royal Palace di pusat kota Phnom Penh.

Arsitektur Khas Khmer di National Museum

Museum yang dibuka pada tahun 1920 in merupakan museum terbesar di Kamboja dan menyimpan berbagai benda bersejarah yang dibagi dalam 4 kategori yaitu benda-benda yang terbuat dari batu, besi, kayu dan keramik dan menceritakan sejarah perjalanan Bangsa Khmer.

Ruang Pamer Museum

Taman Asri di Halaman Tengah Museum

Di tengah perjalanan menuju Russian Market, gue sempatkan berhenti sejenak di depan Independence Monument yaitu tugu peringatan kemerdekaan negara Kamboja yang letaknya di persimpangan Norodom Boulevard dan Sihanouk Boulevard. Monumen ini didirikan pada tahun 1958 untuk memperingati kemerdekaan negara Kamboja dari penjajahan Perancis tahun 1953. Setiap tahun tanggal 09 November pada perayaan kemerdekaan dipusatkan di tempat ini. Sayangnya pada waktu gue ke tempat ini, monumen sedang direnovasi sehingga tidak diperkenankan untuk mendekat.

Independence Monument

Sophal menawarkan gue untuk mampir ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kamboja karena beliau sempat melintas di hari sebelumnya di KBRI yang ternyata tanggal 17 Agustus ada kegiatan upacara memperingati hari Proklamasi negara RI. Tanpa pikir panjang langsung gue iyakan, kapan lagi mampir ke “rumah” sendiri di negara orang lain.

Kedutaan tutup saat kami tiba karena jatuh pada hari Sabtu yang merupakan hari libur. Namun gue beruntung, karena sempat bertemu dengan Pak Dadang, staf KBRI dan gue diberi kesempatan untuk masuk ke dalam komplek kedutaan untuk berfoto-foto dan berbincang sejenak dengan Pak Dadang. Gue pun diundang untuk datang di acara halal bihalal KBRI dengan warga Indonesia yang ada di Kamboja keesokan harinya (19 Agustus) dalam rangka Hari Raya Idul Fitri. Namun sayang gue tidak dapat memenuhi undangan tersebut karena esok pagi gue sudah harus bertolak ke Siem Reap.

Gerbang Depan KBRI di Phnom Penh

Gedung KBRI di Phnom Penh

Bersama Pak Dadang Staf KBRI Phnom Penh

Tak berapa lama kemudian gue tiba di Russian Market (Psah Toul Tom Poung dalam bahasa lokal). Pasar ini terletak di Selatan kota Phnom Penh. Dinamakan Russian Market karena di tahun 1980-an banyak warga asing khususnya warga Rusia yang berbelanja di pasar ini sehingga akhirnya populer dengan nama Russian Market.

Sudut Dalam Russian Market

Pasar ini sangat populer baik bagi warga lokal maupun bagi para wisatawan asing. Dan di pasar ini kita dapat menjumpai berbagai macam barang yang dijual mulai dari barang antik, ukiran tradisional dan kerajinan khas Kamboja, tenun sutra, kerajinan perak, perhiasan, buku, pakaian, sepatu dan berbagai barang cendera mata lainnya.

Namun gue sendiri tidak begitu tertarik dengan pasar ini karena kondisinya yang begitu sempit sehingga harus berdesak-desakan dan akhirnya  gue mengajak Sophal untuk pindah ke Central Market. 

Central Market yang dibuka pada tahun 1937 ini bentuknya sangat unik. Bergaya Art-Deco, pasar ini memiliki kubah di bagian atasnya sehingga memberi kesan lega dan nyaman bagi para pengunjung.

Central Market dengan Bentuk yang Khas

Bangunan Central Market

Penampakan Dalam Central Market

Pasar inipun sangat populer bagi wisatawan asing selain Russian Market. Berbagai macam barangpun dengan gampang ditemui di tempat ini diantaranya perhiasan emas dan perak, pakaian, jam, buku, bunga, sepatu dan tentunya suvernir khas Kamboja. Akhirnya gue pun berburu beberapa suvernir khas Kamboja dengan ukuran yang kecil agar mudah untuk dibawa pulang. Seperti halnya di tempat lain, berbelanja di pasar inipun harus ngotot menawar dan transaksi menggunakan mata uang USD.

Belanja Yuuk...

Akhirnya gue harus mengakhiri kegiatan di Central Market ini karena Sophal harus mengajar siang itu dan gue didrop kembali ke hostel. Baru terasa kalo perut ini sudah lapar sehingga gue mampir ke restoran di samping hostel dan memesan menu beef grilled rice + ice lemon tea dengan harga USD 1.63 (Rp 15,500)

Beef Grilled Rice

Letak hotel gue ini sangat strategis. Hanya dengan berjalan kaki selama 5 menit gue tiba di kawasan Wat Phnom. Dengan membayar karcis masuk sebesar USD 1, kita dapat menikmati taman yang sangat asri di tengah kota dan menikmati kota Phnom Penh dari ketinggian setelah mendaki bukit kecil dengan menaiki beberapa anak tangga yang ada.

Wat Phnom

Gerbang Wat Phnom

Di Wat Phnom ini juga terdapat temple dengan stupanya yang menjulang tinggi dan dipergunakan penganut agama Budha untuk melaksanakan ibadah di situ. 

Stupa di Wat Phnom

Statue of Lady Penh di Seberang Wat Phnom

*************

Menikmati suasana senja di tepi Sungai Tonle Sap sungguh memberikan sensasi tersendiri. Trotoar atau badan jalan yang dibangun khusus dengan sangat lebar sehingga berbagai aktivitas dapat dilakukan warga lokal di situ mulai dari joging, jalan santai atau sekedar duduk-duduk di tepi sungai sungguh memberikan nuansa yang menyenangkan. 

Tepi Sungai Tonle Sap tempat untuk Bersantai

Malam itu kembali Rowin bersama Sophal kembali menjemput gue untuk makan malam. Karena malam itu bertepatan dengan akhir pekan, kami mampir dulu ke Night Market yang digelar khusus di hari Jumat s/d Minggu.  Berbagai macam barang dan aneka kuliner digelar  di pasar malam ini.

Night Market

Gue tidak menyia-nyiakan untuk mencobai beberapa kuliner yang ada diantaranya Porng Tear Kon yaitu berupa telur rebus yang di dalamnya terdapat embrio bebek yang belum jadi. Semula gue ragu untuk menyantap telur ini namun setelah melihat Rovin dan Sophal dengan lahap menyantapnya gue menjadi penasaran. Akhirnya setelah sedikit dipaksa gue mencobanya dan ternyata......rasanya enak hehehe. 

Porng Tear Kon aka Embrio Telur

Cara menyantap telur ini sangat unik yaitu telur diletakkan pada alas yang telah disediakan dan bagian atas telur dipecahkan sedikit kemudian dituang dengan campuran jeruk nipis+merica serta dimasukkan daun (yang gue gak tahu namanya) yang dimakan bersama telur rebus tadi menggunakan sendok kecil.

Bok Lhong atau salad pepaya tradisional Kamboja menjadi santapan gue berikutnya. Cemilan ini berupa pepaya muda yang dipotong memanjang tipis-tipis dan dicampur dengan sayur kangkung serta guyuran bumbu yang khas dengan rasa pedas. Tak ketinggalan guyuran kacang tanah melengkapi salad pepaya ini sehingga hidangan ini terasa menyegarkan.

Salad Kamboja

Sebelum meninggalkan area Night Market ini gue mencicipi kue Taiyaki dengan bentuk yang unik berupa ikan-ikanan dan pilihan toping pisang atau coklat dengan harga KHR 5,000 (Rp 11.250).

Kue Taiyaki

Akhirnya kami tiba di Ngon Restaurant yang menyajikan Vietnamese dan Khmer Cuisines. Malam itu gue mencoba Num Ban Chok atau Cambodia Noodle Soup. Hm...hidangan ini sungguh lezat dengan rasa yang benar-benar otentik Kamboja. Lagi-lagi Rovin menjadi host di acara makan malam ini. Terima kasih sobat atas jamuan makan malamnya selama 2 malam berturut-turut. 

Num Ban Chok

Malam itu kami tutup dengan bersantai di Mekong Lounge sambil menikmati hiburan musik. Sayangnya lagu-lagu yang dinyanyikan malam itu dinyanyikan dalam Bahasa Khmer sehingga gue hanya bisa manggut-manggut saja karena tidak mengerti hehehe. Tak lupa juga gue mencoba bir lokal Kamboja dengan merk “Kingdom”

Mekong Lounge

Ah senangnya malam ini......

*Bersambung Part 2.....