Sunday, October 23, 2011

Sejengkal Surga itu Bernama Bromo......


Untuk kedua kalinya gue melakukan trip bareng teman-teman kantor yang kali ini cukup melakukan wisata dalam negeri alias domestik saja. Awalnya gue mengusulkan ke Gunung Bromo Jawa Timur karena sebagian besar temen-temen gue belum pernah ke sana (buat gue ini adalah kunjungan ke-2). Ternyata tak disangka teman-teman semuanya antusias dan setelah dilaksanakan sensus kecil-kecilan yang akan ikut berangkat sebanyak 8 orang (termasuk gue). Hm...gak gampang untuk mengkoordinir orang sebanyak itu karena selama ini gue traveling bersama teman-teman paling banyak 4-5 orang. Namun apapun yang terjadi the show must go on......... 

Setelah berunding soal waktu keberangkatan, semua sepakat dengan tanggal 23-25 Juli 2010 (hari Jumat sampai Minggu) dan masing-masing kami mengambil cuti 1 hari kerja di hari Jumat. Awalnya kami sempat khawatir apakah cuti akan disetujui mengingat sebanyak 8 orang akan mengambil cuti massal pada tanggal bersamaan hehehehe.

Setelah mendapat “sinyal positif”, kami mulai bergerak dan membagi-bagi tugas untuk kelancaran perjalanan nantinya. Gue bertugas untuk hunting tiket dan menyusun rencana perjalanan (itinerary)-tugas rutin gue setiap kali melakukan traveling- hehehe temen gue yang lain bertugas mencari transportasi menuju Bromo dan penginapan di Surabaya karena kebetulan beliau punya teman yang bekerja di salah satu travel agent di Malang. Teman yang lain bertugas untuk mencari mobil sewaan selama kami di Surabaya karena beliau memiliki saudara di Surabaya. Ada juga yang bertugas melakukan pencarian di internet tempat wisata kuliner di Surabaya. Yang lain ? terima beres dan ngikut ajah hehehehe

Tidak gampang untuk mendapatkan tiket promo alias murah ke Surabaya kalau tidak booking jauh-jauh hari. Akhirnya setelah membandingkan harga semua airlines kami mendapatkan harga Rp 700.000 untuk Jkt-Sub pp menggunakan Sriwijaya airlines.

Hari 1 :

23 Juli 2010 Kami janjian langsung ketemu di Bandara Soekarno Hatta terminal 1-B. Selesai urusan check in seperti biasa kami menuju airport lounge untuk menunggu boarding. Namun karena jumlah kartu kredit platinum yang terbatas sehingga  akses masuk ke lounge hanya untuk 4 orang saja sementara yang lain menunggu di ruang tunggu terminal. Namun yang tidak ikut masuk ke dalam lounge sedikit “terhibur” karena setelah 4 orang yang di dalam lounge keluar, mereka membawa kue-kue dan makanan kecil lain yang ditilep dari lounge dan dimasukkan ke dalam tas kecil mereka hahahaah cerdas juga mereka ternyata. Itulah pengalaman konyol pertama yang dialami....

Pesawat berangkat tepat waktu pukul 11.30 dan sekitar pukul 12.50 kami mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Setiba di Juanda kami langsung menghubungi supir mobil sewaan (yang kami sewa sekitar Rp 400.000/hari termasuk sopir tapi tidak termasuk BBM) yang akan mengantar kami ke sana kemari selama berada di Surabaya. Setelah menunggu beberapa menit, mobil sewaan tiba yaitu berupa Suzuki APV. Karena bertepatan dengan waktunya makan siang, maka kami langsung menuju tempat wisata kuliner yang pertama di Surabaya yaitu Nasi Udang pedas Bu Rudy yang terletak di Jalan Dharmahusada.

Di siang hari dengan panasnya yang cukup terik kami menerobos kepadatan dan keramaian kota Surabaya untuk menuju Jln. Dharmahusada No. 140. Namun sangat disayangkan ternyata pengetahuan sopir tentang jalan-jalan di Surabaya sangat minim, apalagi tempat kulinernya. Sangat tidak bisa diandalkan sehingga justru malah kami yang harus memandunya untuk mencari jalan yang akan dituju. Untung gue sendiri cukup sering ke Surabaya sehingga mengerti sedikit seluk beluk jalan di Surabaya dan seorang temen gue juga yang pernah bekerja beberapa tahun di Surabaya. Alhasil dengan sedikit nyasar dan bertanya-tanya kepada orang di jalan kami tiba di rumah makan Bu Rudy.


Beruntung suasana di rumah makan pada siang tersebut tidak begitu padat dan ramai, mungkin telah lewat jam makan siang juga sehingga kami dapat langsung dilayani. Yang menjadi menu favorit dan andalan di sini yaitu nasi udang empal “bu Rudy” seharga 14,000/porsi. Selain nasi udang juga tersedia menu lain diantaranya nasi empal, nasi pecel, nasi campur, ayam goreng, rawon, nasi kare, nasi Bali, nasi lodeh, lontong cap go meh, gado-gado dll Dan yang menjadi ke-khas-an di sini yaitu sambelnya yang rasa pedasnya bikin semeriwing buat yang kurang tahan pedas seperti gue. Bahkan sambelnya sendiri dijual terpisah yang dikemas dalam wadah plastik kecil sehingga banyak pengunjung yang membelinya untuk dimakan sendiri di rumah atau sebagai oleh-oleh. Dengan harga yang moderat dan tidak terlalu mahal serta cita rasa masakan yang mak nyus rasanya, tempat ini direkomendasi buat teman-teman yang akan berkunjung ke Surabaya.

Setelah kenyang, kami singgah di rumah Oom dari salah satu rekan kami yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah makan Bu Rudy yaitu di  komplek perumahan Dharmahusada untuk menumpang istirahat dan sekaligus menjadi tempat transit sementara sebelum kami bertolak ke Bromo.  Namun karena supirnya tidak mengerti alamat di situ terpaksa kami mutar-mutar mencari alamat rumah yang dituju. Selagi mobil berputar-putar mencari alamat, tiba-tiba gue diserang rasa mules yang luar biasa. Apakah efek dari sambal Bu Rudy langsung bekerja? gue sendiri tidak tahu pasti. Duh..gimana nih, gue dan semua teman-teman ikutan panik. Tiba-tiba mata gue tertuju pada Mall Galaxy yang kami lewati, akhirnya tanpa pikir panjang gue langsung minta sang supir untuk berhenti dan gue  ambil langkah seribu masuk ke dalam mall mencari toilet untuk menyelesaikan urusan perut gue hehehehe. Itulah pengalaman konyol yang kedua....

Akhirnya kami menemukan alamat yang dicari. Setelah berkenalan dan silahturahim dengan Oom temen gue, kami disediakan kamar untuk beristirahat sejenak tidur-tiduran dan mandi serta berbenah buat persiapan ke Bromo. Walaupun waktu istirahat hanya sebentar namun kami cukup merasa fresh kondisi fisik pulih kembali untuk melanjutkan kegiatan di malam hari di kota Surabaya.   Tak terasa waktu makan malam tiba, dan kami langsung pamit mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah atas sambutannya sekaligus melanjutkan wisata kuliner di malam hari. Pilihan kuliner malam ini jatuh kepada nasi pecel Bu Kus di Jln. Barata Jaya XX/110. Hm.....nasi pecel ini selalu menjadi langganan gue setiap kali berkunjung ke Surabaya. Ada banyak pilihan pecel di Surabaya tapi nggak tau kenapa gue selalu menjatuhkan pilihan kepada pecel Bu Kus yang rasanya tentu mak nyus tenan....

Lepas dari nasi pecel Bu Kus kami mampir sejenak ke Plaza Tunjungan untuk jalan-jalan serta membeli berbagai keperluan sebagai bekal selama di  Bromo. Dari Plaza Tunjungan kami diantar ke outlet Mc’Donald di Basuki Rahmat (persis di seberang TP) sebagai meeting point penjemputan kami oleh mobil sewaan yang akan mengantar kami ke Bromo. Mobil yang kami sewa berupa mobil ELF dengan kapasitas sebanyak 9-11 orang dan kami sewa seharga Rp 900.000 pp termasuk sopir dan BBM (cukup murah). Pukul 23.30 mobil sewaan telah tiba dan setelah mengobrol-ngobrol sejenak sang supir menyarankan kami untuk berangkat pukul 00.00 tengah malam saja karena kalau berangkat sekarang nanti kepagian tiba di sana.

Hari 2 :

24 Juli 2010 Tepat pukul 00.00 kami berangkat menuju Bromo. Inilah enaknya kalo melakukan perjalanan tengah malam yaitu bisa irit biaya penginapan malam tersebut karena kita tidur di jalan hehehe. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 3-3.5 jam kami tiba di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo . Inilah desa yang terdekat dengan kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger dan Semeru (BTS). Rupanya sang supir kenal dengan Kepala Taman Nasional BTS ini sehingga kami singgah sejenak di rumah Bapak Kepala Taman BTS untuk beristirahat sambil menunggu waktu keberangkatan menuju Penanjakan yaitu sebagai tempat titik pandang untuk menyaksikan matahari terbit di Gunung Bromo. Oh ya semua wisatawan yang akan menuju Bromo dan membawa kendaraan pribadi baik mobil maupun motor dan masuk melalui Probolinggo hanya boleh membawa kendaraan mereka sampai di desa ini untuk selanjutnya harus menyewa mobil jenis Hardtop untuk menuju Penanjakan. Kebijaksanaan ini sengaja dibuat sebagai kesepakatan warga untuk menggerakkan perekonomian di desa tersebut.

Sambil menunggu waktu keberangkatan kami mempersiapkan perlengkapan pribadi mulai dari jaket tebal, syal, sarung tangan, kaos kaki dan topi kupluk. Maklum cuacanya sangat dingin dan akan semakin terasa dingin nantinya di Penanjakan dengan suhu sekitar 5-100C. Akhirnya sekitar pukul 04.00 mobil Hardtop sebanyak 2 unit (yang telah kami pesan melalui Supir ELF) datang menjemput kami. Tarif sewa Hardtop ini sekitar Rp 300.000 per unit dengan kapasitas sebanyak 5 penumpang. Tarif ini termasuk pengantaran dari Desa Ngadisari ke Penanjakan dan dilanjutkan ke lautan pasir sebelum mendaki Gunung Bromo (PP).


Perjalanan menuju Penanjakan ditempuh sekitar 30 menit dan setibanya di sana kami mampir sejenak ke salah satu kios yang ternyata dikelola oleh istri Kepala Taman Nasional BTS yang sudah kami temui sebelumnya di rumah. Suasana masih gelap sementara wisatawan domestik maupun asing (kebanyakan wisatawan asal Eropa) sudah mulai berdatangan untuk menyaksikan momen yang tidak boleh dilewatkan yaitu menyaksikan terbitnya matahari dari balik Gunung Bromo. Kios ini menjual berbagai pernak pernik mulai dari topi, syal, kaos, suvernir, makanan kecil serta minuman hangat. Hm...cuaca dingin begini rasanya mantap kalo menyantap mie Instan. Akhirnya semangkuk mie instan pun ditemani teh hangat menjadi santapan kami subuh tersebut sebelum menyaksikan matahari terbit.

Gunung Bromo sendiri berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger dan Semeru. Kawasan ini ditetapkan menjadi Taman Nasional sejak tahun 1982 dengan luas 50.276ha dan secara administratif wilayahnya terletak di 4 kabupaten di Jawa Timur yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang.

Tepat pukul 05.00 kami mulai bergerak menuju tempat semacam anjungan yang menjadi titik pandang untuk menyaksikan matahari terbit. Pengunjung saat itu sangat ramai dan padat dan masing-masing telah memilih tempat sebagai lokasi terbaik untuk menyaksikan detik-detik yang indah tersebut. Kami sendiri tidak kebagian tempat lagi sehingga kami terpaksa berpencar dan menyelinap di antara pengunjung yang lain memilih lokasi kami masing-masing. Sambil menahan hawa dingin yang menusuk tulang, momen yang ditunggupun akhirnya tiba. Sekitar pukul 05.30 perlahan-lahan sinar kuning keemasan mulai muncul di balik awan dan menyembul di puncak Gunung Bromo. Kami cukup beruntung pagi itu karena cuacanya cerah, cukup bagus dan mendukung untuk menyaksikan momen berharga tersebut.


Seiring dengan munculnya sang sinar matahari pagi pengunjungpun spontan bertepuk tangan menyaksikan keindahan karya Sang Pencipta tersebut. Semua pengunjung berdecak kagum dan menyadari akan kebesaran Tuhan yang menciptakan matahari. Perlahan namun pasti akhirnya matahari bersinar dengan sempurna yang menandakan datangnya pagi di wilayah tersebut.

Setelah berfoto-foto sejenak dengan latar belakang Gunung Bromo dari kejauhan kami segera kembali ke tempat parkir mobil Hardtop yang akan mengantar kami turun mengarungi lautan pasir untuk selanjutnya mencapai kaki Gunung Bromo. Lautan pasir itu sendiri luasnya sekitar 10 km2 dan sangat gersang, hanya ditumbuhi sedikit tanaman dan rerumputan yang mengering. Di tengah-tengah lautan pasir tersebut berdiri sebuah pura sebagai tempai ibadah bagi pemeluk agama Hindu. Kawasan ini dihuni oleh suku Tengger yang sebagaian besar menganut Agama Hindu Tengger yang (katanya) agak sedikit berbeda dengan Hindu Bali. Dan setiap tahun di tempat ini diadakan upacara Kesada yaitu upacara yang dilakukan warga Hindu Tengger dengan membawa persembahan berupa hasil bumi sebagai bentuk ucapan syukur kepada Sang Pencipta untuk selanjutnya semua persembahan tersebut dilarungkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Upacara ini sangat populer dan menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun asing untuk berbondong-bondong datang menyaksikannya. 


Mobil Hardtop tidak mengantar kami sampai ke kaki Gunung Bromo persis, namun di suatu area di lautan pasir yang telah ditandai dengan patok-patok beton. Untuk mencapai Gunung Bromo pengunjung harus berjalan kaki atau kalau merasa tidak kuat dapat menyewa kuda tunggangan dengan tarif Rp 50.000 pp. Pemilik kuda berseliweran silih berganti menawarkan jasa kuda tunggangan kepada kami namun kami tetap keukeuh untuk berjalan kaki. Karena gue udah pernah melakukannya dengan berjalan kaki pada kunjungan pertama, maka gue udah terbiasa dengan medan dan jarak tempuhnya. Lain halnya dengan teman-teman gue khususnya yang cewek, baru ¼ perjalananan, akhirnya satu persatu menyerah dan menerima tawaran untuk naik kuda tunggangan hehehehe.


Akhirnya setelah berjalan kurang lebih 30 menit dan diterpa  debu pasir sepanjang perjalanan, gue tiba di kaki Gunung Bromo. Di sekitar Gunung Bromo terdapat Gunung Batok dan agak sedikit di kejauhan terlihat Gunung Semeru. Teman-teman yang menunggang kuda telah tiba terlebih dahulu di sana. Selesai sampai di situ? Oh ternyata belum. Kami masih harus mendaki Gunung Bromo untuk menyaksikan kawahnya dari dekat. Beruntung untuk mencapai puncak Gunung Bromo pengunjung tidak perlu bersusah payah untuk mendaki namun telah dibuat tangga di salah satu punggung Gunung Bromo sehingga kita tinggal menyusuri anak tangga tersebut yang berjumlah 250 untuk mencapai puncak Bromo. Setelah berjalan mengarungi lautan pasir ditambah dengan naik meniti anak tangga membuat kaki gue berasa rontok dan ngos-ngosan hehehe. Rasa capek tersebut akhirnya terbayar ketika tiba di puncak Bromo yang memiliki ketinggian 2.392 di atas permukaan laut dan menyajikan pemandangan yang begitu indah dan mempersona. Sungguh luar biasa anugerah yang Tuhan berikan buat bangsa ini melalui pemandangan alamnya.


Dari puncak Bromo pengunjung juga dapat menyaksikan kawah yang tepinya diberi pembatas untuk menjaga keselamatan para pengunjung. Asap putih mengepul dari kawah Bromo yang menandakan bahwa gunung ini masih aktif. Kami melampiaskan diri dengan berfoto-foto sepuasnya di puncak dengan menggunakan kamera digital yang kami bawa atau menggunakan smart phone masing-masing. Saat melirik signal di layar, terlihat signal masih full karena gue menggunakan provider Tel***sel sedangkan teman-teman lain sejak dari Penanjakan pun signal provider mereka sudah “tewas”. Wajar...karena provider yang gue pakai satu-satunya yang memiliki menara BTS di Penanjakan. Sehingga sampai di Puncak Bromo pun masih tetap bisa berkomunikasi menelpon maupun berkirim SMS serta chating. Mantaap...!


Setelah puas berfoto-foto di puncak dan menikmati pemandangan, kami turun kembali dan menuju area parkir mobil Hardtop. Kembali gue harus berjuang berjalan kaki mengarungi lautan pasir dan disertai dengan teriknya sinar matahari serta debu pasir yang beterbangan. Sedangkan teman-teman cewek kembali duduk manis di pelana kuda tunggangan.

Sesampainya di area parkir mobil kami diantar kembali ke rumah Kepala Taman Nasional BTS di desa Ngadisari karena mobil ELF yang kami sewa dari Surabaya menunggu di sana. Namun dalam perjalanan pulang, kesialan terjadi. Di tengah perjalanan mobil Hardtop yang kami tumpangi mengalami mogok sehingga terpaksa kami harus menunggu sang sopir untuk memperbaikinya.  Setelah dicoba untuk diperbaiki ternyata mobil masih tetap ngadat nggak mau jalan akhirnya kami menunggu Hardptop yang ditumpangi rombongan temen gue yang lain lewat sehingga kami dioper ke Hardtop tersebut. Alhasil dengan berdesak-desakan di dalam Hardtop tersebut sekarang berpenumpang 8 orang layaknya seperti “hewan kurban”. Itulah kekonyolan ketiga yang gue alami......hehehehe.

Akhirnya tiba juga kami dengan selamat di rumah Kepala Taman Nasional BTS dan kami telah disiapkan nasi goreng yang memang telah kami pesan sebelumnya dengan membayar Rp 10,000/org. Rasa nasi goreng tersebut biasa saja untuk menyebutnya “aneh” apalagi sudah “membatu” karena telah disiapkan sejak pagi, namun karena kondisi perut kami yang memang telah lapar berat, tetap saja kami melahapnya sampai habis. Setelah menumpang cuci muka dan gosok gigi (malah ada yang numpang mandi), kami bersiap-siap kembali ke Surabaya dan sebelumnya berpamitan dengan Bapak Kepala Taman Nasional BTS beserta keluarganya dan mengucapkan terima kasih atas bantuan serta pelayananannya kepada kami. Sungguh baik dan helpful sang bapak, terima kasih ya pak (duh..lupa namanya)

Kembali kami harus menempuh perjalanan selama 3-3.5 jam ke Surabaya dan karena kondisi kami yang sudah sangat capek dan lelah, kami semua tertidur di dalam mobil dan tanpa terasa ketika terbangun kami tiba di Porong, lokasi di mana terjadi bencana lumpur Lapindo. Kami hanya menyaksikan dari dalam mobil lokasi bencana tersebut dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Akhirnya tiba juga kami di penginapan Rosalinda di Jln Ngagel Jaya Barat. Tempat penginapan ini tepatnya disebut hostel.   Dengan tarif sebesar Rp 150,000/kamar untuk 2 orang, bisa dibilang cukup murah. Selain itu hostelnya juga bersih, kamarnya berpendingin udara dan tersedia WC di setiap kamar sehingga cukup nyaman tinggal di hostel ini.

Kami beristirahat sejenak dan mandi-mandi sembari mempersiapkan diri untuk jalan-jalan kembali di Surabaya pada akhir pekan. Setelah semuanya siap, kami melanjutkan wisata kuliner malam ini dengan membidik sasaran berikutnya yaitu Penyet Bu Kris di Jalan Kayun. Mobil sewaan kami yang telah menunggu sejak dari sore kali ini dengan sopir yang lain karena kami complain ke pemilik mobil gara-gara sopir sebelumnya yang kurang pengetahuannya tentang jalan-jalan di Surabaya. Kali ini sopir penggantinya lebih pintar dari yang sebelumnya, terbukti ketika kami menyampaikan keinginan untuk pergi ke suatu tempat beliau langsung paham.

Menu makan malam kali ini seputar dunia penyet-penyetan, yaitu ayam penyet dengan tingkat kepedasan yang bisa kita request. Selain ayam penyet juga tersedia menu lain seperti rawon dll. Setelah kenyang, kami lanjutkan dengan menyantap es krim di Zangrandy di Jln Pemuda. Tempat legendaris ini juga salah satu tempat yang wajib gue sambangi  setiap berkunjung ke Surabaya. Jalan-jalan dilanjutkan ke Pakuwon Supermall dan sebelum pulang ke hotel kami sempatkan untuk  nongrong sejenak di Surabaya Town Square (SUTOS).

Hari 3 :

25 Juli 2010 Sarapan pagi kami isi dengan menyantap soto ayam Lamongan di sekitar hotel dan kami langsung check out dari tempat penginapan. Agenda berikutnya yaitu ke Pasar Genteng tepatnya ke Toko “BHEK” untuk berbelanja oleh-oleh. Namun sebelum ke Pasar Genteng kami mampir terlebih dahulu ke Pasar Atom untuk berburu jajanan. Salah satu jajanan favorit gue di sini yaitu Cakwe udang Peneleh. Ini juga merupakan menu wajib setiap berkunjung ke Surabaya. 

Usai berbelanja ke Toko “Bhek” tiba waktunya untuk makan siang. Pilihan wisata kuliner selanjutnya yaitu Sate Klopo “Ondomohen” di Jln. Walikota Mustajab. Tempat ini sangat terkenal sehingga tidak heran pada saat jam makan siang selalu ramai dan dipenuhi para pengunjung. Rasa sate dagingnya pun sungguh mak nyus dan tidak salah bila tempat ini merupakan salah satu tempat kuliner favorit.

Ke Surabaya kurang lengkap kalau belum berkunjung ke Jembatan Suramadu yang tersohor itu. Oleh karena itu, selepas makan siang kami langsung meluncur ke Jembatan Suramadu mumpung kami masih memiliki cukup waktu sampai waktu keberangkatan pulang nanti. Jembatan yang dibangun tahun 2003 dan diresmikan tahun 2009 ini panjangnya sekitar 5.5 KM dan membentang di atas Selat Madura yang menghubungkan Pulau Jawa (Surabaya) dan Pulau Madura. Jembatan Suramadu terdiri dari 3 bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge) dan jembatan utama (main bridge).


Untuk melintas di jembatan tersebut harus bayar sebesar Rp 30.000 karena jalan yang dibangun dibuat menjadi jalan tol sehingga dipungut bayaran bagi yang melintas. Kami berencana saat melintas di jalan tersebut akan turun sejenak untuk berfoto-foto. Namun rencana tersebut gagal karena banyak petugas yang melintas melakukan patroli dan sebenarnya juga tidak diperbolehkan kendaraan berhenti untuk foto-foto. Akhirnya kami harus berpuas diri mengambil gambar dari dalam mobil ke arah jembatan. Setibanya di sisi Madura (Bangkalan) mobil berputar kembali ke arah Surabaya. Yang penting sudah pernah melewati Jembatan Suramadu hehehee.

Tiba waktu bagi kami untuk kembali ke Jakarta melalui Bandara Juanda. Sebelum ke bandara kami masih sempat mampir ke Sun City Mall untuk sekedar jalan-jalan. Akhirnya pesawat Sriwijaya Airlines  lepas landas sekitar pukul 18.00 setelah sempat tertunda selama beberapa menit. Ah rasanya kenangan Bromo masih lekat dalam ingatan dan sejengkal surga itu akan tetap kami kenang sampai kapanpun........

No comments:

Post a Comment