Masih terngiang
dalam benak gue ketika kota Melaka dibahas pada mata pelajaran sejarah di
bangku SMP. Sebuah kota pelabuhan yang pernah mengalami masa keemasan sebelum
ditundukkan dan dijajah oleh Portugis. Hari itu tanggal 24 November akhirnya
kaki gue menginjak kota Melaka, sebuah kota kecil di pesisir selatan Negara
Malaysia yang hanya berjarak 2 jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur (KL).
Sebenarnya
perjalanan ke Melaka ini tidak gue rencanakan sama sekali. Perjalanan pada
mulanya dirancang hanya untuk mengitari KL dan sekitarnya saja. Berbekal dengan
tiket Mandala yang gue peroleh dari sebagian hasil kompensasi tiket Mandala
“versi lama” yang stop operasi tahun lalu gue berencana hanya akan menghabiskan
akhir pekan di KL saja.
Namun 2 hari sebelum
berangkat gue berpikir mengapa tidak mengunjungi Melaka saja karena gue pikir KL
biasa-biasa saja sebagai kota metropolis
mirip Jakarta dan gue sudah 3x menjelajahi kota ini. Dari perhitungan jarak Melaka sangat dekat dari
KL dan 2 hari cukuplah untuk menjelajahi kota ini. Akhirnya keputusan
diambil...goes to Melaka...
Browsing
singkat tentang Melaka melalui internet sudah cukup bagi gue sebagai panduan
untuk menjelajahi kota ini selama 2 hari tanggal 24 dan 25 November 2012.
Sengaja gue pilih penerbangan Mandala rute Kuala Lumpur paling pagi (07.35)
agar waktu gue maksimal dalam menjelajahi Melaka.
Pukul 10.30 waktu KL
gue mendarat dan langsung membeli tiket bis “Aerobus” di counter di loket dalam terminal kedatangan LCCT setelah
menyelesaikan urusan imigrasi . Harga tiket RM 8 (sekitar Rp 24.800) sekali
jalan menuju stasiun KL Sentral. Sayangnya ketika gue tiba di pangkalan bus di
terminal kedatangan kapasitasnya sudah penuh sehingga gue harus menunggu jadwal
kedatangan bus berikutnya.
Biasanya untuk
menuju pusat kota Kuala Lumpur gue menggunakan moda kereta api menuju KL
Sentral namun kali ini gue menggunakan bus sekedar untuk perbandingan.
Perjalanan menuju Stasiun KL Sentral ditempuh sekitar 1 jam lebih dan setibanya
di KL Sentral gue baru menyadari kalau gue baru saja mengalami disorientasi
rute.
Untuk menuju Melaka
dapat ditempuh dengan naik bis melalui Terminal Bersepadu Selatan (TBS).
Terminal ini letaknya di samping Stasiun Bandar Tasik Selatan. Dari Stasiun KL
Sentral dapat menggunakan KTM (Kereta Tanah Melayu) dengan tarif RM 1 (sekitar
Rp 3.100). Nah di sinilah letak disorientasi yang gue sebutkan sebelumnya.
Sebenarnya dari LCCT
kalau menggunakan kereta menuju KL Sentral akan berhenti/melewati Stasiun Bandar Tasik Selatan (tarif RM 10.8) dan
bisa langsung menuju Terminal Bersepadu Selatan (TBS) tanpa harus ke KL Sentral
lagi. Namun gue mengambil rute mubazir dengan mampir ke KL Sentral terlebih
dahulu dengan bis dan melanjutkan ke Stasiun Bandar Tasik Selatan menggunakan
kereta.
Memasuki areal
gedung Terminal TBS ini membuat gue terperangah. Betapa tidak, terminal ini
sangat bersih, rapi dan sejuk layaknya seperti bandar udara. Pembelian tiket
dapat dilakukan melalui loket yang tersedia dengan antrian yang tertib. Papan
pengumuman yang berisi informasi jadwal kedatangan dan keberangkatan bis pun
tersedia dengan lengkap. Ah.....jangan dibandingkan dengan terminal yang ada di
Indonesia khususnya Jakarta.
![]() |
Lobi TBS yang kinclong bisa buat ngaca :) |
![]() |
Papan Informasi Kedatangan dan Keberangkatan |
Gue suka membeli tiket di loket TBS ini karena sifatnya
konsorsium jadi loket ini melayani pembelian tiket semua operator bis yang
beroperasi di TBS. Kita tinggal menyebutkan rute yang akan kita tuju dan layar
komputer di hadapan kita akan menampilkan nama bus, jam berangkat serta tarif
tiket. Layaknya buku menu, kita tinggal memilih sesuai dengan selera kita (baca
: budget kita).
![]() |
Antri di Loket Tiket |
Mungkin karena akhir
pekan, tiket bis jurusan Melaka banyak dicari oleh penumpang dan beberapa jam
keberangkatan sudah penuh. Akhirnya gue mendapatkan tiket untuk keberangkatan
jam 14.15 menggunakan operator Metrobus dengan tarif tiket RM 9 (sekitar Rp
27.900). Tarif RM 9 ini adalah yang termurah untuk jurusan Melaka yang harganya
bervariasi hingga RM 12.5 (sekitar Rp 38.750) yang dilayani oleh beberapa
operator bis.
![]() |
Tiket Metrobus |
Masih cukup waktu
bagi gue untuk makan siang sambil menunggu keberangkatan bis pukul 14.15.
Menyusuri bagian dalam terminal dan naik ke lantai 2 kita akan menemui beberapa
restoran dan tinggal memilih makanan yang akan kita santap sesuai dengan
budget.
Pandangan mata gue
tertuju pada restoran Nasi Kandar TBS siang itu dan segera memilih menu nasi briyani ayam dengan harga RM
7 (sekitar Rp 21.700). Dengan rasanya yang khas membuat nasi briyani ini
sungguh nikmat menjadi teman santap gue siang itu.
![]() |
Restoran Nasi Kandar |
![]() |
Nasi Briyani |
Ruang tunggu di TBS
inipun layaknya seperti ruang tunggu bandar udara dengan tempat duduk yang
nyaman serta pintu keberangkatan yang tertata rapi. Keberangkatan bis pun
sangat tepat waktu. Sepuluh (10) menit sebelum jam keberangkatan, melalui
pengeras suara penumpang dipanggil untuk masuk ke dalam bis sesuai dengan nomor
platform
yang telah ditentukan. Tepat pukul 14.15 bis pun melaju membelah kota Kuala
Lumpur menuju Melaka. Ah...kapan Jakarta memiliki terminal serta sistem
transportasi yang terpadu dan tepat waktu seperti ini.
![]() |
Ruang Tunggu TBS yang Sangat Nyaman |
![]() |
Penampakan Metrobus |
Gue sangat menikmati
perjalanan ini sehingga 2 jam bukan menjadi waktu yang lama dan tak terasa bis
tiba di kota Melaka dengan berhenti di Melaka Sentral yang merupakan bangunan
terpadu antara terminal, pusat perbelanjaan, food court serta pasar
tradisional.
![]() |
Terminal Melaka Sentral |
Di bagian tengah
bangunan Melaka Sentral terdapat sebuah counter
berupa sebuah papan yang berisikan informasi mengenai tempat penginapan di
Melaka lengkap dengan foto penginapan tersebut. Juga disediakan saluran telepon
untuk menghubungi hotel yang bersangkutan. Jadi kita tinggal menyesuaikan dengan
budget yang kita miliki dan melakukan pemesanan melalui telepon yang disediakan
di situ.
![]() |
Silahkan Booking Hotel dari Tempat ini |
Gue sendiri tidak
melakukan pemesanan penginapan melalui tempat tersebut karena tarifnya tidak
sesuai dengan budget yang gue tetapkan. Tak ada pilihan lain terpaksa gue harus
go show alias melakukan pemesanan
kamar dengan mendatangi langsung tempat penginapan.
Segera gue melangkah
keluar menuju sisi samping gedung Melaka Sentral tempat bis yang melayani rute
dalam kota. Dari beberapa referensi disarankan untuk mengambil bis No.17 namun
ketika gue menanyakan kepada petugas ternyata bis No.8 juga melalui kawasan
yang akan gue tuju yaitu kawasan kota tua Melaka dengan gedung STADTHUYS nya.
Tarif bis menuju ke sana RM 1.3 (Sekitar Rp 4.000) dan langsung dibayar kepada
sopir pada saat naik. Tarif ditentukan dimana kita akan turun nantinya dan sang
sopir akan bertanya lokasi kita turun. Jadi penentuan tarif berdasarkan jauh
dekatnya jarak tujuan seperti mikrolet di Jakarta J. Jadi sebelum naik harus dipastikan kita tahu di mana
akan turun nantinya.
Tapi jangan
coba-coba untuk bertanya serta memberi tahu kepada sopir kalau kita akan turun
di STADTHUYS karena mereka tidak mengerti. Akhirnya gue sodorkan gambar yang
tertera pada buku panduan menjelajahi Malaysia dan ternyata mereka mengerti.
Setelah di dalam bis selidik punya selidik ternyata kawasan kota tua Melaka
dikenal dengan nama Bangunan Merah. Hm...pantas saja kalau sang sopir dan kenek
tidak mengerti.
Dengan jarak yang
tidak terlalu jauh bus memasuki kawasan kota tua Melaka. Begitu melalui Jalan
Laksamana gue langsung teringat dengan suasana di Penang yang sarat dengan
bangunan tua dan bersejarah. Di kiri kanan Jalan Laksamana masih nampak berdiri
bangunan kuno yang dijadikan tempat makan, toko souvernir dll dan uniknya warna
bangunan seragam yaitu merah bata.
Bangunan Kuno di Jalan Laksamana |
Akhirnya gue tiba di
alun-alun kawasan kota tua Melaka. Suasana siang itu sangat ramai karena di
sini merupakan titik tempat berkumpulnya para wisatawan. Tapi gue belum akan
menikmati suasana hiruk pikuk di situ dulu karena gue akan mencari hostel
terlebih dahulu sebagai tempat gue menginap malam itu.
Dengan menyeberang
jalan gue tiba di jalan Hang Jebat namun lebih populer dengan sebutan Jonker Street. Kawasan ini merupakan
jantung dari kota Melaka karena di sinilah pusat kegiatan dan keramaian para
turis.
Menyusuri hingga
ujung Jonker Street gue tiba di Jalan Tukang Emas (Goldsmith) untuk
mencari Tang’s House calon hostel
tempat gue menginap. Sayangnya hostel ini sudah penuh dan gue harus mencari hostel
lain. Beruntung gue menemukan hostel lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari
Tang’s House yaitu Hoya Jonker Guesthouse dan masih tersisa
satu kamar single private.
![]() |
Penginapan Hoya Jonker |
Salahnya gue terlalu
percaya diri datang tanpa memesan kamar terlebih dahulu karena menurut
informasi dari petugas Hoya Jonker biasanya tingkat hunian hostel maupun hotel
di Melaka saat akhir pekan melonjak dan seiring dengan tingkat hunian yang
melonjak harganya pun menjadi naik. Nasib baik masih menyertai gue masih
mendapatkan kamar dengan harga per malam RM 35 (sekitar 108.500) di akhir
pekan. Harga pada hari biasa hanya RM 30 (Rp 93.000).
Kamar yang gue
tempati berupa private room dengan single bed. Sebuah kamar yang sederhana
namun bersih dan cukup nyaman. Sebuah fan
disediakan di dalam kamar dan yang paling penting adalah fasilitas WiFi yang
sangat kencang. Kamar mandi terletak di luar kamar dan dipergunakan secara sharing dengan tamu lain.
Sore hari saat yang
tepat untuk nongkrong, merasakan spirit
serta menyaksikan pola tingkah laku para turis di alun-alun STADTHUYS atau dikenal juga dengan sebutan “Dutch Square”. Dari hasil penelusuran ternyata Stadthuys ini
merupakan sebuah gedung atau bangunan tua yang letaknya berhadapan persis
dengan alun-alun dan gedung ini bekas kediaman resmi Gubernur Belanda. Saat ini
gedung tersebut dijadikan Museum Sejarah, Etnografi dan Sastra Melaka.
Oh ya Melaka bersama
Penang ditetapkan sebagai World Heritage
City oleh UNESCO pada tahun 2008 sehingga tidak heran banyak bangunan tua
dan bersejarah di tempat ini. Dan berada di alun-alun ini serasa sedang berada
di Eropa. Di depan alun-alun masih berdiri tegak Christ Church Melaka yang dibangun pada tahun 1753 pada masa
Belanda menguasai Melaka. Entah mengapa warna bangunan di kawasan kota tua ini
semuanya berwarna merah sebuah pertanyaan yang masih membuat gue penasaran.
Menyusuri seputar
alun-alun Stadthuys kita akan menjumpai becak hias berwarna-warni yang berjejer
menunggu penumpang yang pada umumnya turis asing untuk mengelilingi kawasan
kota tua Melaka. Becak ini didesain sedemikian rupa dengan bentuk dan warna
yang menarik sangat eye-catching serta
dilengkapi speaker yang memainkan
musik yang berdentum. Saat gue lewat beberapa lagu Indonesia mengalun dari
becak wisata ini seperti “Aku yang Tersakiti”-nya Judika, lagunya grup Ungu dan
lagu-lagu Indonesia lainnya. Serta tak
ketinggalan lagu Gangnam Style yang
sedang nge-hits ikut menggelegar dari becak wisata tersebut.
Memang lagu-lagu
Indonesia merajai pasar Malaysia. Saat
naik bis dari TBS KL menuju Melaka lagu-lagu lawas Indonesia pun mengalun
seperti “Ini Rindu” yang dipopulerkan oleh Farid Hardja bersama Hetty Koes
Endang. Demikian pula ketika bus yang gue tumpangi dari Melaka Sentral menuju
alun-alun Stadthuys lagu milik band Radja mengalun dengan lantangnya.
Namun untuk naik becak ini untuk dibawa berkeliling kota tarifnya tidak murah. Untuk 1 jam perjalanan dikenakan biaya sebesar RM 40 (sekitar Rp 124.000). Dan sudah pasti gue tidak berminat untuk menaiki becak ini hehehe.
Pengaruh Portugis dan Belanda yang pernah berkuasa di Melaka membawa pengaruh pada kehidupan beragama di sini. Tak pelak penyebaran agama kristiani menjadi misi mereka pula di Melaka sehingga tidak heran di Melaka banyak peninggalan gereja dengan usia tua ratusan tahun yang bertebaran di seantero Melaka.
Mau Coba? |
Pengaruh Portugis dan Belanda yang pernah berkuasa di Melaka membawa pengaruh pada kehidupan beragama di sini. Tak pelak penyebaran agama kristiani menjadi misi mereka pula di Melaka sehingga tidak heran di Melaka banyak peninggalan gereja dengan usia tua ratusan tahun yang bertebaran di seantero Melaka.
Selain Christ Church Melaka, gue juga mampir ke
Church of St. Francis Xavier sebuah
gereja Khatolik yang letaknya di ujung jalan Laksamana. Gereja ini dibangun
tahun 1849. Namun sayangnya pada saat gue tiba, di dalam gereja sedang
dilaksanakan ibadah pada sabtu sore itu sehingga gue tidak dapat masuk untuk
melongok isi dalamnya.
Hanya beberapa meter
dari Stadthuys dengan berjalan kaki kita akan tiba di St. Paul Hill yaitu sebuah bukit kecil yang di atas nya terdapat
reruntuhan bekas gereja St. Paul. Gereja Khatolik ini dibangun pada tahun 1521
yaitu saat Portugis berkuasa di Melaka. Saat ini kita masih dapat menyaksikan
sisa-sisa reruntuhan berupa tembok gereja dan bekas makam seorang imam khatolik
di tengah gereja (yang gue gak tahu namanya karena tidak ada keterangan yang
tertera). Berada di ketinggian St. Paul
Hill di saat senja benar-benar pengalaman yang mengesankan sembari
menyaksikan hamparan kota Melaka di kaki bukit.
![]() |
Pintu Masuk Menuju St. Paul Hill |
![]() |
Reruntuhan Gereja St. Paul |
![]() |
Suasana Dalam Reruntuhan Gereja St. Paul |
Begitu senja menyergap
kota Melaka, suasana Jonker Street yang
dilewati oleh Sungai Melaka mulai bergairah dan menampakkan geliatnya. Dan saat
senja merupakan waktu yang tepat pula untuk berjalan santai menyusuri Sungai
Melaka yang membelah kota Melaka. Broadwalk
yang disediakan di sisi sungai benar-benar memanjakan para pejalan kaki dan selain
itu juga disediakan pula tempat duduk di
sepanjang sungai untuk bersantai.
Atraksi yang tidak
boleh dilewatkan yaitu Melaka River
Cruise yaitu berlayar membelah Sungai Melaka dengan perahu. Pemerintah Melaka benar-benar menjaga,
memelihara dan mengelola sungai ini dengan baik sehingga dijual menjadi atraksi
wisata yang menarik.
Sebenarnya Melaka River ini mirip-mirip dengan Kali
Ciliwung di Jakarta dan sungainya pun tidak terlalu panjang. Yang membedakannya
adalah sungai ini bersih dan di sepanjang sisi kiri dan kanan sungai bertebaran
hotel-hotel dan kafe sehingga menyajikan nuansa yang menarik saat berlayar di
Sungai Melaka.
Dengan membeli tiket
seharga RM 15 ( sekitar Rp 46.500) di kounter yang letaknya di ujung broadwalk petualangan menyusuri Melaka River pun dimulai. Karena saat
itu hari Sabtu dan biasanya di akhir pekan pengunjung membludak sehingga butuh
antrian beberapa saat sebelum menaiki perahu.
Perahu yang gue
naiki ukurannya sedang dengan kapasitas 20-30 orang. Lama perjalanan
ditempuh sekitar 45 menit pulang pergi. Sembari
kapal melaju membelah Sungai Melaka, melalui pengeras suara kita akan diberikan
informasi dalam Bahasa Melayu dan Inggris informasi tentang Sungai Melaka ini
dan objek-objek yang dilalui sepanjang sungai.
Sungguh cantik
pemandangan di sisi kiri kanan Sungai Melaka di malam hari. Lampu hias warna
warni yang dipasang di setiap jembatan penghubung sungai serta lukisan mural
yang terpampang pada beberapa bangunan sepanjang sungai benar-benar memanjakan
mata para wisatawan. Belum lagi bangunan tua yang dijadikan hotel serta kafe di
sepanjang sungai.....ah sungguh romantis suasananya.
Kembali ke kawasan Jonker Street suasana sudah sangat
ramai. Oh ya di Jonker Street ini
setiap malam di akhir pekan (Jumat s/d Minggu) diadakan night bazaar. Sepanjang jalan ini ditutup untuk semua kendaraan dan
dikhususkan buat para pedagang yang menggelar dagangan mereka.
Gue sangat senang
dengan kegiatan night bazaar seperti
ini yang juga pernah gue jumpai di negara lain seperti Vietnam dan Kamboja. Di
ajang night bazaar ini gue berbaur
dengan warga lokal menikmati aktivitas di pasar malam sambil melihat-lihat
barang yang dijual walau terkadang gue tidak membeli sama sekali. Namun ada
satu momen yang tidak pernah gue lewatkan yaitu memburu kuliner yang dijual
pada acara tersebut.
Tiba-tiba mata gue
tertuju pada penjual makanan yang menjual potato
stick yaitu kentang yang diiris tipis-tipis dan ditusuk pada sebuah lidi
mirip dengan sate kemudian dibakar. Selesai dibakar kita dapat memilih bumbu
yang ditaburkan pada potato stick
tersebut dengan pilihan original, chili powder, barbeque, black pepper, cheese powder dan mayonaise. Dengan harga per tusuknya RM 3 (sekitar Rp 9.300) potato stick ini sangat yummy.
Bergeser beberapa
langkah gue menjumpai pedagang yang menjual berbagai rebusan yang dicelup dalam
air mendidih. Sama halnya di Jakarta, pilihan yang tersedia beragam mulai dari
bakso ikan, bakso daging, daging ikan, kepiting, cumi dll dengan pilihan saus
yang juga beragam. Harganya ditandai
dengan warna yang ditorehkan pada pangkal lidi. Beda warna beda harga tentunya.
Untuk 3 item yang gue ambil ditebus dengan RM 9 (sekitar Rp 27.900).
Masih kurang puas?
Gue beralih ke penjual makanan lain sembari
melirik suvernir-suvernir lucu yang dipajang di pinggir jalan. Pilihan gue
jatuh kepada Radish Cake yaitu lobak
putih namun teksturnya sangat lembut yang ditumis dengan saus bumbu lada hitam.
Rasanya ? menurut gue agak sedikit aneh namun tersamar dengan saus bumbu lada
hitamnya.
Menutup rangkaian
kuliner di night bazaar ini, gue
masuk ke salah satu restoran yang menjual menu khusus khas Melaka yaitu Chicken Rice Balls yaitu nasi yang
dibentuk bulat-bulat menyerupai bakso dengan tekstur nasi yang padat dan
dikombinasikan dengan ayam rebus. Namun sayangnya malam itu ayam rebus sudah
habis sehingga sang pemilik restoran menawarkan kepada gue alternatif berupa
ayam kari yang langsung gue iyakan tanpa berpikir panjang lagi. Ternyata rasa
ayam kari yang dimakan bersama rice balls
itu sangat enak rasanya. Rasa kari yang gurih dan pas dengan bau yang tidak
menyengat sungguh membangkitkan selera makan gue malam itu.
Saat perjalanan
kembali ke hostel gue melewati jejeran penjual dimsum yang seolah-olah
melambaikan tangannya memanggil gue untuk mampir. Hati untuk tergoda untuk mampir namun apa
daya kapasitas perut sudah maksimal sehingga dengan angkuhnya gue memalingkan
wajah gue dari penjual dimsum tersebut.
Bersambung..............
1. Waiting room tbs lebih mewah dari pada waiting room bandara polonia medan *sedih*
ReplyDelete2. Melaka kayaknya lebih cocok dpt sebutan the red city.
3. Rasa potato stick gimana mas? Apa sama aja kayak cemilan di indonesia gitu?
Hahahaha waiting room Polonia emang tragis deh udah gak layak lagi disebut bandara :)
DeleteBener...di mana-mana hampir sebagian besar bangunan di Melaka semuanya berwarna merah.
Rasa Potato Stick sendiri gurih tapi tidak terlalu crunchy karena dibakarnya tidak sampai maksimal jd pas dimakan kentangnya agak terasa lembek gitu.
This comment has been removed by a blog administrator.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
Deletebener-bener banyak membantu nih :) rencana aku mau solo trip ke melaca setelah puas berjelajah KL bulan kemarin
ReplyDeletethanks yaa
Melaka benar-benar layak untuk dikunjungi. Selamat merasakan spirit Melaka yang eksotis dan semoga enjoy di sana nanti :) Semoga membantu dan terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Salam.
DeleteMana-mana bangunan yang berwarna merah itu adalah dibina oleh penjajah belanda. Ketika ia dibina sememangnya warna asal bngunan tu adalah berwarna merah. Jadi kita boleh tahu dengan mudah bahawa mana-mana bangunan yg berwarna merah adalah didirikan oleh penjajah Belanda.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung. Salam.
Deletekeren blog lo om
ReplyDeletedetail
huaaahhhh.....thanks bray *jadii merah muka gue* :) makaih dah berkunjung yee...
DeleteBlog yang sangat bagus, detil, dan sangat membantu. Setelah membaca blog ini, tahun depan kami sekeluarga berencana mengunjungi Melaka. Terima kasih sudah bersusah payah menulis dan berbagi. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda. Salam hangat.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung. Semoga informasinya membantu dan bermanfaat. Selamat menjelajahi dan menikmati Melaka.
Delete