Monday, March 19, 2012

MENYIBAK MISTERI VIETNAM................ Bagian (1)

Cao Dai Temple

Selama bertahun tahun negara Vietnam tertutup dari gemerlap kehidupan modernisasi peradaban dunia pasca berakhirnya Perang Vietnam yang fenomenal tanggal 30 April 1975 yang mengguratkan lembaran hitam dalam sejarah negeri yang di peta dunia berbentuk huruf “S” ini. Namun secara perlahan mulai membuka diri dan menggeliat untuk didatangi wisatawan dari seluruh penjuru dunia sejak beberapa dekade terakhir. Tak pelak negeri yang menyimpan sejuta pesona sekaligus sejuta misteri ini  menjadi primadona wisata baru khususnya di kawasan Asia Tenggara. Namun bagi pelancong Indonesia, Vietnam tampaknya belum menjadi tujuan populer untuk didatangi padahal negeri ini sangat eksotis untuk dijelajahi.


Sejak lama negeri ini menjadi incaran destinasi traveling gue. Tiket promo pesawat Air Asia Indonesia tujuan Ho Chi Minh City (HCMC) atau yang terkenal dengan sebutan Saigon di masa lalu yang dibandrol dengan harga Rp 638rb nett PP sejak 9 bulan lalu (kalau orang hamil sudah saatnya melahirkan nih :p) menggenapi impian untuk menginjakkan kaki ke negeri yang dulunya terkenal dengan Perang Vietnamnya yang ditampilkan dalam film-film besutan Holywood.
Kesempatan untuk menyibak misteri negeri Paman Ho ini akhirnya kesampaian dalam kunjungan gue bersama teman-teman kantor (Hary, Rini, Elly dan Ana) tepat di hari Valentine tanggal 14 s/d 21 February 2012 dengan mengunjungi 4 kota di Vietnam yaitu Ho Chi Minh City, Tay Ninh, Ha Noi dan Ha Long City yang terkenal dengan Halong Bay nya yang sudah mendunia (salah satu dari New7Wonders of the Natures).

Hari 1 tanggal 14 February 2012

Pukul 13.30 kami sudah stand by di terminal 3 keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Oh ya sejak 17 November 2012 semua aktivitas penerbangan domestik dan internasional Air Asia dipusatkan di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Proses check in berjalan lancar karena kami sudah melakukan web check in terlebih dahulu melalui website Air Asia dan antrian pembayaran airport tax pun tidak terlalu ramai.
Terminal 3 Soetta Jakarta
Seperti biasa, sembari menunggu jadwal take off pukul 16.30 kami menunggu di De Green Lounge sebelum boarding dan perutpun sudah "berteriak"  untuk minta diisi karena kami baru sadar ternyata memang belum makan siang itu. Tanpa basa basi, mumpung semua makanan dan minuman yang tersedia gratis di lounge tersebut kami sikat dengan sedikit rasa "kalap".

Tanpa disadari satu persatu dari kami silih berganti mengambil makanan yang disediakan  sehingga membuat meja kami penuh sesak dengan piring dan gelas sisa makanan kami hahahaha. Sempat muncul joke diantara kami seandainya semua pengunjung seperti itu bisa-bisa bangkrut lounge ini. Tapi diantara kami juga berdalih kalau perjalanan nanti akan ditempuh selama 3 jam terbang menuju HCMC sehingga harus cukup asupan (halah!), apalagi di pesawat nanti tidak disediakan makanan ataupun minuman, semuanya harus beli. Jadi itu juga salah satu trik kami berhemat dalam melakukan traveling ke manapun jika menggunakan budget airlines dan tidak mendapat full service di pesawat.

Tips #1 jika menggunakan budget airlines dan tidak mendapat fasilitas makan dan minum di pesawat, makanlah sampai kenyang seandainya mempunyai akses masuk ke airport lounge apalagi untuk penerbangan lebih dari 2 jam. Lumayan bisa berhemat untuk tidak membeli makanan dan minuman selama di pesawat.

Counter imigrasi di terminal 3 hanya terdapat 2 counter dan antrian pun tidak terlalu panjang sehingga hanya 1 counter yang difungsikan. Tiga Puluh menit sebelum boarding kami sudah duduk manis di ruang tunggu menunggu panggilan untuk masuk pesawat. Senangnya hati pada sore ini karena ternyata jadwal terbang  tepat waktu dan pukul 16.30 pesawat Air Asia QZ 7736 akhirnya lepas landas meninggalkan Jakarta tercinta. Ho Chi Minh City...we are coming and ready to explore your both mystery and beautifulness.

Tepat pkl 19.30 pesawat mendarat di Bandara Tan Son Nhat sebuah bandara yang ukurannya tidak terlalu besar di Vietnam Selatan. Saat itu tidak banyak pesawat yang mendarat sehingga antrian imigrasi tidak terlalu ramai dan bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Pemegang paspor Indonesia bebas visa  masuk ke Vietnam untuk jangka waktu 30 hari.

Hal pertama yang kami lakukan setiba di bandara yaitu menukar uang dalam mata uang lokal yaitu Vietnam Dong (VND) di money changer bandara. Setelah membandingkan dengan beberapa counter, pilihan kami jatuh pada counter 7 yang menawarkan tarif yang lebih baik. Nilai tukar hari itu untuk USD 1 yaitu VND 20,403. Jadi dengan menukarkan USD 100 kami mendapatkan VND 2,040,328. Wow.....serasa kaya mendadak karena nilai Vietnam Dong memang sangat kecil terhadap US Dollar. Saat itu baru merasa kalau uang rupiah masih perkasa terhadap Vietnam Dong hehehe
Vietnam Dong

Tips #2 jika ingin menukar mata uang di bandara, tukarkanlah dengan jumlah secukupnya jangan terlalu banyak, misal untuk keperluan transportasi ke pusat kota, memberi tips dll karena nilai tukar di bandara biasanya tidak sebagus jika kita menukarnya di pusat kota.

Brosur pariwisata tidak terlalu banyak disediakan di ruang kedatangan bandara. Ketika mencari kantor informasi turis pun gue tidak menemukannya. Nampaknya Vietnam belum terlalu gencar dalam mempromosikan potensi pariwisatanya. Hanya satu tempat brosur yang ditemukan dekat pintu keluar bandara, itupun dengan brosur yang minim yaitu peta kota HCMC dengan area yang terbatas.

Keluar dari bandara, mata kami celingak celinguk mencari supir hotel yang akan menjemput karena sebelumnya kami memang telah meminta disediakan transportasi penjemputan dari pihak hotel dan untuk penjemputan ini kami dikenakan biaya sebesar USD 16 untuk 1 mobil dengan kapasitas 5 orang. Tidak sulit untuk menemukan supir yang membawa plang nama gue untuk mengantar kami menuju hotel.

Sebenarnya tersedia angkutan umum dari bandara yang menuju pusat kota dengan harga yang jauh lebih murah, namun pertimbangan kami saat itu yaitu kami tiba di malam hari jadi agak sedikit repot kalau menggunakan angkutan unum terlebih angkutan tersebut tidak sampai langsung ke hotel tempat kami menginap. Jadi untuk amannya kami memesan langsung penjemputan dari pihak hotel dan biayanya jika dibagi ber-5 juga tidak terlalu mahal.

Kejutan pertama yang gue temui yaitu ketika akan masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi duduk di depan samping sopir, ternyata pintu masuknya berada di sebelah kanan. Gue baru tahu kalau Vietnam merupakan salah satu negara yang menganut sistem setir sebelah kiri dan lalu lintasnya berjalan di jalur kanan.

Begitu keluar dari area bandara, mobil langsung meluncur ke pusat kota Ho Chi Minh. Ternyata Bandara Tan Son Nhat terletak di tengah kota dan hanya berjarak sekitar 7 KM dari pusat kota. Lalu lintas di Vietnam didominasi oleh sepeda motor sehingga tidak heran jalanan dikuasai oleh kendaraan roda dua ini. Kendaraan melintas di sebuah taman di tengah kota dan kami menyaksikan begitu banyak pasangan yang berpacaran (rame sekali). Saat itu kami baru sadar bahwa kami tiba di HCMC tepat di hari Valentine tanggal 14 February (pantesan hehehe).

Karena jarak yang tidak terlalu jauh, perjalanan ke hotel ditempuh hanya dalam waktu sekitar 40 menit. Hotel yang kami pergunakan yaitu Hotel Luan Vu, sebuah hotel sederhana 5 lantai yang terletak di Bui Vien Street di kawasan Pham Ngu Lao District 1 yaitu kawasan turis di HCMC mirip dengan Khao San Road di Bangkok. Kami telah memesan hotel ini 3 bulan sebelumnya dengan korespondensi melalui email. Dan beruntung hotel ini tidak meminta uang muka dulu untuk pemesanan kamar melainkan dibayar pada saat check in.
Mejeng Depan Hotel Luan Vu

Tarif kamar untuk tipe twin standard yaitu USD 24/malam dan gue share dengan teman berdua sehingga masing-masing kami dikenakan USD 12 (sekitar Rp 108rb/malam), sedangkan untuk tipe triple standard harganya USD 30/malam sehingga rekan kami yang cewek dikenakan USD 10/malam (sekitar Rp 90rb/malam). Pembayaran dilakukan dalam mata uang lokal dengan kurs USD 1=VND 21,000. Harga hotel di Vietnam sangat murah pada umumnya dengan fasilitas yang sangat memadai. Kamar yang kami tempati sangat bersih dilengkapi dengan spring bed, AC, TV (LCD), kamar mandi dalam, lemari pakaian, kulkas, tea/cofee maker, hair dryer, sandal hotel dan handuk. Hotelnya sendiri menyediakan sarapan pagi serta dilengkapi dengan fasilitas WIFI. Namun sayang pada saat kami di sana, sinyal WIFI kurang begitu bagus sehingga kadang bisa dipergunakan dan kadang tidak bisa. Oh yah kamar gue letaknya di lantai 5 sedangkan rekan-rekan cewek di lantai 4 sehingga setiap hari kami harus naik turun tangga sebanyak 5 lantai karena hotelnya sendiri tidak memiliki fasilitas lift. Hm........lumayanlah hitung-hitung berolah raga naik turun tangga.
Bed Hotel Luan Vu

Meja dan lemari Hotel Luan Vu


 
Kamar Mandi Hotel Luan Vu
Kamar Mandi Hotel Luan Vu
 
Tea/Coffee Maker
Selesai urusan check in kami langsung menyimpan ransel di kamar dan tanpa membuang waktu segera kami melangkahkan kaki menyusuri kawasan Bui Vien Street untuk memburu kuliner di malam hari. Pilihan malam itu jatuh ke sebuah restoran yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari hotel tempat kami menginap yaitu Restoran Mimosa.
Restoran Mimosa Bui Vien Str
Restoran  ini menyediakan menu yang beragam mulai dari menu Asia, Western, dan menu lokal tentunya. Secara aklamasi kami memilih menu  “Pho” yang merupakan makanan khas Vietnam. Pho sejenis mie yang terbuat dari beras dan disajikan dengan kuah hangat serta dilengkapi dengan berbagai dedaunan  (sangat beragam yang gue tidak tahu namanya) serta pilihan topping daging ayam, sapi atau babi. Kuliner Pho sendiri tidak asing karena di Jakarta banyak restoran Vietnam yang menjualnya. Harga makanan di restoran ini pun tidak terlalu mahal. Semangkuk Pho seharga VND 39,000 (sekitar Rp 16,800) dan sebotol bir lokal merk Red/Green Dragon dengan ukuran sedang yang menjadi pilihan gue malam itu harganya VND 22,000 (sekitar Rp 9,300).
Pho Vietnam
Pelengkap Pho
Vietnam Spring Roll
Bir Vietnam yang murah meriah

Tips #3 bagi rekan-rekan muslim jika berada di Vietnam dan memesan makanan di restoran atau penjual di pinggir jalan, pastikan ke penjual makanan bahwa makanan yang dipesan adalah halal karena pada umumnya makanan yang dijual di Vietnam sebagian besar mengandung unsur non-halal.

Setelah kenyang makan kami menyusuri jalan di Bui Vien Street mencari agen perjalanan untuk membeli paket tur ke Cao Dai Temple dan Cu Chi Tunnel. Sebenarnya di tempat hotel kami menginap juga menjual paket serupa seharga USD 8/org. Namun kami mencoba untuk membandingkan dengan harga di travel agent yang bertebaran di Bui Vien Street. Di salah satu agen perjalanan (Viet Dream Tour) setelah tawar menawar kami berhasil mendapatkan harga VND 140,000/org (sekitar Rp 59,000 atau USD 7). Lumayan bisa ngirit USD 1/org. Harga paket tersebut hanya untuk transportasi PP dan didampingi oleh seorang pemandu perjalanan berbahasa Inggris, sedangkan tiket masuk ke objek wisata dan makan siang menjadi tanggungan masing-masing peserta.

Tips #4 jika ingin membeli paket tur lokal jangan hanya terpaku pada satu penawaran saja tetapi bandingkan hingga 3 penawaran hingga mendapatkan harga termurah dan jangan segan untuk menawar. Apalagi kalo kita perginya secara rombongan (lebih dari 3 orang) kita bisa meminta diskon atau harga spesial.

Hari ke-2 tanggal 15 February 2012

Setelah sarapan pagi yang pilihannya hanya berupa roti + selai atau sosis + telur, tepat pukul 08.00 kami memulai city tour mengelilingi HCMC dengan berjalan kaki. Di kota HCMC tidak terdapat sistim angkutan massal seperti MRT dan sejenisnya sehingga hanya mengandalkan bus, taksi, becak dan ojek. Beruntung jarak antar lokasi tempat wisata tidak terlalu jauh (untuk ukuran kami loh!) sehingga semuanya dapat dicapai dengan berjalan kaki hehehe. Karena kalaupun mau naik bus tidak jelas rutenya, sehingga daripada membingungkan kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Kan lumayan bisa irit biaya transportasi hehehehe.
Bis di Saigon Vietnam
"Bemo" di Saigon Vietnam
Karena Vietnam dulunya bekas jajahan Perancis, kulinernya pun turut dipengaruhi gaya Perancis. Saat kami melintas di perempatan jalan kami melihat ada pedagang yang menjajakan Roti Baguette yaitu roti khas Vietnam dengan ukuran lumayan besar dan di dalamnya diisi dengan berbagai daging serta sayuran seharga VND 12,000 (sekitar Rp 5rb, murah sekali!). Iseng-iseng gue dan temen gue Hary membeli roti tersebut dan mencobanya ternyata enak sekali roti ini. Namun sekali lagi, buat rekan-rekan muslim harus hati-hati jika membeli roti ini karena isinya mengandung unsur non-halal.
Kedai Roti Bagguette
Roti Bagguette hm...Mak Nyus!
Berbekal dengan peta di tangan kami mampir ke Ben Thanh Market yang menjadi tempat perhentian pertama yang dicapai dengan berjalan kaki hanya sekitar 10 menit dari hotel dan melewati taman yang asri dan banyak warga yang beraktivitas di situ. Sebelum melangkah masuk ke Ben Thanh Market kami befoto-foto sejenak di depan patung Tran Nguyen Han yang merupakan jenderal perang yang gagah berani pada masa Kaisar Le Loi memerintah Vietnam. Letaknya persis di seberang Ben Thanh Market.
Tran Nguyen Han Statue
Pasar terbesar yang terletak di pusat HCMC District 1 ini  menempati gedung peninggalan kolonial Perancis. Pasar ini dibangun oleh Pemerintah Perancis pada tahun 1859 yang saat itu menjajah Vietnam dan pada tahun 1870 api melalap habis pasar ini dalam suatu peristiwa kebakaran sehingga pada tahun 1912 dipindahkan ke gedung baru yang ditempati sampai dengan sekarang ini. Tahun 1985 pasar ini sempat direnovasi tetapi sisa-sisa arsitektur bangunan bergaya Perancis ini masih tetap dapat dinikmati (sumber : Wikipedia).
Ben Thanh Market
Pasar ini menjadi tujuan populer bagi para turis. Berbagai barang dijual di pasar ini diantaranya suvernir khas Vietnam, kain, pakaian, tas, makanan kecil, buah-buahan, kopi Vietnam, sayur-sayuran, sampai ikan dan daging tetapi menempati blok yang berbeda. Juga terdapat beberapa blok yang menawarkan kuliner khas Vietnam, tempat yang cocok bagi yang ingin memanjakan lidah.
Pintu Masuk Ben Thanh Market
Penjual Snack di dalam Pasar
Kuliner di dalam Pasar
Penjual Buah-buahan

Penjual Suvernir
Penjual Sayur-sayuran

Penjual Kerang dan Kepiting
Sepertinya sudah menjadi tabiat khas wisatawan asal  Indonesia, tidak sah rasanya mampir ke suatu tempat tanpa belanja. Akhirnya hari pertama kami langsung diisi dengan belanja ini itu, khususnya rekan-rekan cewek yang kelihatan kalap dalam menyalurkan hasrat belanjanya. Beberapa suvernir lucu khas Vietnam, tas-tas kecil, patung dan beberapa barang lain akhirnya berpindah tangan. Rata-rata pedagang di pasar ini bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris (walaupun sederhana) sehingga tawar menawar dapat dilakukan dengan leluasa. Gue menyaksikan adegan yang menggelikan saat rekan-rekan cewek berniat membeli tas kecil yang lucu dan melakukan perjuangan sampai titik darah penghabisan alias menawar dengan “sadis”. Pedagang menyodorkan harga VND 140,000 (sekitar Rp 59rb) untuk barang yang ingin dibeli dan rekan-rekan gue tak kalah alot menawar dengan harga versi mereka. Saling ngotot pun terjadi untuk mempertahankan harga oleh kedua belah pihak  dan akhirnya “peperangan” ini dimenangkan oleh rekan-rekan gue. Dengan senyum penuh kemenangan mereka menenteng tas-tas tersebut yang dilepas oleh sang pedagang dengan muka cemberut seharga VND 65,000 (sekitar Rp 27rb) saja!
Senyum "Kemenangan" para Pembeli
Senyum Kecut Sang Penjual

Tapi nasib baik tidak selalu menyertai kami di pasar ini. Ketika mampir di salah satu kios yang menjual aneka kopi khas Vietnam dan kios lain yang menjual aneka  kacang-kacangan kami sempat “diusir” oleh pedagang karena kami menawar harga yang mungkin mereka anggap keterlaluan (yee...namanya juga usaha mas, syukur-syukur dikasih hahahaha)
Elly Nawar Kopi Vietnam
Kopi Vietnam yang Kondang itu
Diusir Sang Penjual, Nawar Terlalu "Sadis" :)
Tips #5 Tawarlah dengan “afghan” alias “sadis” jika berbelanja  di Ben Thanh Market karena harga yang disodorkan oleh pedagang masih dapat ditawar, kalau beruntung bisa dapat harga separuhnya.

Setelah menyusuri setiap blok dan lorong di dalam pasar, kami beralih di sisi lain di belakang pasar dan menemukan salah satu kios yang menjual aneka kaos. Langkah kaki tertahan di kios ini dan kembali beberapa lembar kaos berpindah ke kantong belanjaan kami. Namun di kios ini kami tidak bisa menawar karena harga sudah dipatok oleh pedagang dengan harga pas. Dan di tumpukan kaos-kaosnya pedagang tersebut meletakkan karton yang dibuat berdiri 2 sisi yang bertuliskan “FIXED PRICE” di satu  sisinya dan “HARGA PAS” di sisi yang lain. Hm...siapa yah yang mengajari ibu ini Bahasa Indonesia hehehehe.
Harga Pas gak bisa Nawar
Kaos yang Lucu-lucu

Tanpa disadari uang VND yang baru ditukarkan semalam di bandara nyaris ludes karena kami memang hanya menukar secukupnya saja. Akhirnya kami mampir ke salah satu toko emas yang terdapat di seberang kios dan menukarkan sejumlah USD dan SGD di toko emas tersebut ( kami mendapat info dari teman yang sudah pernah ke Vietnam sebelumnya kalau toko emas juga menerima jual beli valuta asing).

Tips #6 Umumnya toko mas di Vietnam, selain melakukan transaksi jual beli emas, mereka juga “berfungsi” sebagai Money Changer dengan rate yang bagus. Jadi lebih baik tukarkanlah mata uang asing yang kita miliki seperti USD, EUR, SGD, GBP di toko emas. Sebagai contoh untuk USD 100, kurs hari itu kami mendapatkan VND 2,065,000.

Wow...jadi kaya kembali kami setelah menukarkan USD ke dalam VND hehehe dan perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki mengunjungi Ho Chi Minh City Museum (sebelumnya bernama Revolution Museum) yang berlokasi di 65 – Ly Tu Trong St, District 1, HCMC.

Sempat bingung mencari letak museum ini apalagi setelah clingak clinguk susah untuk mencari orang yang kira-kira bisa berbahasa Inggris yang bisa ditanyai lokasi museum ini. Yang ada malah  ketika sedang berjalan kaki kami diikuti oleh seorang penjual minuman yang begitu gigih menawarkan dagangannya kepada kami. Sempat kami menolaknya, namun akhirnya kami menyerah karena pada saat itu gue dan teman-teman juga merasa haus dan tertarik untuk mencoba kelapa muda utuh yang dijajakannya. Akhirnya kami nongkrong sejenak di pinggir jalan untuk mencobai kelapa muda yang dijual seharga VND 25,000 (sekitar Rp 10,500), harga yang tidak terlalu mahal dan rasanya manis sekali air kelapanya dan tekstur daging kelapanya juga lunak (mirip dengan kelapa Thailand). Sempat sang pedagang merekomendasikan kami untuk mengunjungi War Remnants Museum yang katanya lebih bagus ketimbang museum yang barusan kami datangi (ternyata museum itu juga ada dalam  list kunjungan kami).
Minum Air Kelapa Vietnam
Setelah segar menenggak air kelapa, kami berjalan kembali untuk mencari letak museum dan akhirnya ketemu juga. Harga tiket masuk ke museum ini VND 15,000 (sekitar Rp 6,300).

Museum yang didesain oleh arsitek Perancis ini dibangun pada tahun 1885 dan selesai tahun 1890 terdiri dari 2 lantai yang dibagi dalam beberapa tema mengenai sejarah Bangsa Vietnam yaitu yang berhubungan dengan arkeologi Vietnam, Sejarah Pembangunan dan Pengembangan, Pelabuhan komersial, Perdagangan dan Jasa, Industri Kerajinan Tangan, Budaya, Perjuangan Revolusi yaitu Invasi Perancis ke Vietnam serta pendirian Partai Komunis Vietnam (sumber : Wikipedia).
Museum Ho Chi Minh
Koleksi museum ini memang unik tapi gue merasa biasa aja yah, tidak ada hal khusus yang ditonjolkan karena bersifat umum yang menceritakan perjalanan Bangsa Vietnam.
Di dalam Museum
Langkah kaki kami arahkan melewati People’s Committee Hall atau disebut juga dengan City Hall. Gedung yang bergaya Perancis ini dibangun tahun 1902 pada masa kolonial Perancis dan tidak dibuka untuk umum jadi kami hanya berfoto-foto saja di seberang bangunan. Sepertinya gedung ini dipakai untuk kegiatan pemerintahan.
City Hall
Tepat di seberang City Hall dekat kami berfoto-foto terdapat taman yang asri dan di situ terdapat Patung Ho Chi Minh dalam ukuran besar sedang menggendong anak kecil dan ini salah satu lokasi favorit bagi para turis untuk berfoto-foto termasuk kami tentunya.
Ho Chi Minh Statue
Saigon Notre-Dame Basilica menjadi kunjungan kami berikutnya. Bangunan Gereja Katedral yang terletak di pusat kota HCMC ini bergaya Gothic bekas peninggalan kolonial Perancis dan dibangun pada tahun 1863. Mempunyai dua menara dengan ketinggian mencapai 58 M. Kami tidak masuk ke dalamnya melainkan hanya berfoto-foto di sekitarnya saja. Walaupun usia bangunan yang hampir mencapai 150 tahun namun tetap kokoh berdiri dengan megah serta nampak terawat. Namun sayangnya, karena lokasi bangunan yang tidak dipagari, kami sempat mencium bau yang tidak sedap (baca : bau pesing) di beberapa sudut luar gereja saat kami melintasinya.Hm..... tempat ibadah kok dikencingi yah, rasanya kurang pantas.
Notre Dame Basilica

Berjarak sepelemparan batu di samping Basilica terdapat Central Post Office yang juga dibangun pada masa kolonial Perancis. Seperti halnya Saigon Notre-Dame Basilica, Central Post Office ini juga menjadi atraksi menarik bagi turis. Gue sempat kagum  karena Vietnam begitu menjaga serta merawat bangunan-bangunan kuno peninggalan Perancis sehingga menjadi daya tarik bagi pariwisata mereka. Central Post Office masih difungsikan hingga saat ini dan kami sempat melihat aktivitas di dalamnya. Di sisi kiri dan kanan depan bagian dalam gedung  terdapat kios yang menjual suvernir namun harganya relatif sedikit lebih mahal dibandingkan dengan di Ben Thanh Market. Gue sempat membeli beberapa suvernir di sini sebagai kenang-kenangan.
Central Post Office
Ah...tak terasa hari sudah menjelang siang. Saatnya perut harus diisi. Mata kami jelalatan melihat kiri kanan sepanjang jalan mencari tempat makan yang murah meriah tapi asyik. Namun sepertinya daerah seputar Basilica dan Central Post Office jarang sekali  terdapat tempat makan sehingga kami terus berjalan mencari dan akhirnya langkah kaki mengantar kami tiba di Diamond Plaza yaitu pusat perbelanjaan ukuran menengah di pusat HCMC. Buru-buru kami segera kami naik ke lantai 3 di mana terdapat food court di situ dengan pilihan berbagai kuliner lokal Vietnam, Jepang dan Barat. Setelah berputar beberapa kali di beberapa gerai, gue menjatuhkan pilihan yaitu Com Chien Hai Sa alias Seafood Fried Rice, nasi goreng dengan topping aneka sea food dan dilengkapi dengan semangkuk sup dan kim chi (acar sayuran ala Korea). Hm...tidak salah gue memilih menu ini karena rasanya yang memang mak nyus. Berapa harga yang gue bayar? VND 65,000 (sekitar Rp  27,300) tidak mahal-mahal amat untuk ukuran harga di food court mall. Untuk minum biasanya kami membawa sendiri air mineral yang telah kami beli sebelumnya di mini market dan kami bawa dalam perjalanan kami sehingga kami tidak perlu membeli minuman lagi pada saat makan. Sekali lagi, lumayan bisa ngirit hehehhe.
Com Chien Hai Sa alias Nasi Goreng Sea Food
Di ujung jalan tempat kami makan, Reunification Palace (juga dikenal dengan nama Independence Palace) sudah terlihat di depan mata seolah-olah sudah memanggil untuk didatangi sehingga tanpa berlama-lama selesai makan kami segera mengunjungi Istana ini hanya dengan berjalan kaki saja. Harga tiket masuknya VND 30,000 (sekitar Rp 12,600) dan jam bukanya pukul 07.30-11.00, 13.00-16.00 setiap hari.
Reunification Palace

Tips #7 Ada baiknya jika ingin mengunjungi museum atau objek wisata lain di Vietnam, dicek terlebih dahulu hari dan jam operasionalnya karena ada beberapa objek wisata yang tutup pada hari tertentu serta jam buka yang terbatas.

Istana ini dibangun pada tahun 1962 dan selesai tahun 1966 yang dirancang oleh arsitek lokal Vietnam.  Pada awalnya Istana ini menjadi tempat tinggal sekaligus kantor bagi presiden Vietnam Selatan pada masa Perang Vietnam (sebelum tahun 1976 negara Vietnam terbagi menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan). Istana ini juga menjadi saksi bagi kejatuhan Saigon (nama HCMC dulu) yang menandai akhir dari Perang Vietnam pada tanggal 30 April 1975 di mana ketika itu tentara dari Vietnam Utara merangsek masuk komplek istana dengan tank-tank dan menghancurkan pintu gerbang istana (sumber : Wikipedia).

Sebelum masuk ke dalam bangunan istana, pengunjung dipersilahkan naik ke kendaraan yang terbuka di sisi kanan kirinya dengan kapasitas 8-10 orang (gratis tentunya!) di depan gerbang istana dan dihantar berkeliling kompleks istana yang sangat luas sekitar 5 menit dan mendapat penjelasan melalui pengeras suara yang telah direkam sebelumnya. Selain bangunan istana, di dalam kompleks ini juga terdapat wisma bagi tamu, lapangan tennis, taman dll

Sebagai salah satu landmark  HCMC, bangunan istana ini terdiri dari 5 lantai dan kita bisa masuk untuk melihat berbagai ruang yang terdapat di dalamnya tetapi tidak diperkenankan untuk masuk ke ruang tersebut, hanya bisa melongok dari luar karena diberi pembatas sebagai tanda pengunjung tidak boleh masuk. Ruang rapat presiden dengan para menteri, ruang tempat presiden menerima tamu negara, ruang tidur, ruang makan adalah beberapa ruang yang bisa kita saksikan. Sebenarnya tersedia jasa tour guide secara gratis yang disediakan oleh pihak istana namun hanya pada jam-jam tertentu saja dan pada saat kami tiba jadwal tersebut telah lewat sehingga terpaksa kami berkeliling sendiri sambil menduga-duga dari keterangan yang tertulis pada papan display.
Ruangan Dalam Istana


Ruangan Dalam Istana

Tidak lama kami berada di sini dan segera kami berpindah ke War Remnants Museum. Dengan langkah kaki yang terseok-seok karena telah setengah hari kami berjalan kaki bahkan salah satu teman kami lecet pada kakinya, namun semangat tetap bergelora pada diri kami untuk menuju objek berikutnya. Dengan jumlah sepeda motor yang minta ampun luat biasa banyaknya membuat HCMC menjadi lautan sepeda motor dan kamipun  harus berhati-hati dalam menyeberang jalan kalau tidak mau ditabrak oleh kendaraan sejuta umat ini. 
Kendaraan Sejuta Umat

Tips #8 Karena jalanan yang begitu padat di HCMC membuat pejalan kaki agak kesulitan untuk menyeberang di beberapa persimpangan jalan apalagi buat sebagian orang-orang yang memiliki mental “penakut” atau syndrom untuk menyeberang. Oleh karena itu pada saat menyeberang kita harus “pede” tetapi mata tetap harus waspada. Jalan saja terus dan jangan ragu-ragu, pengendara sepeda motor akan memberi kita kesempatan untuk menyeberang. Sikap ragu-ragu atau maju mundur yang kita perlihatkan dalam menyeberang malah  akan menuai teriakan atau makian dari pengendara sepeda motor.

Oh yah sebelum ke War Remnants Museum kami mampir dulu ke Golden Dragon Water Puppet Theatre. Untuk nonton film di bioskop? Bukaannn....melainkan untuk membeli tiket pertunjukan Water Puppet Show yaitu kesenian wayang/boneka khas Vietnam yang telah ada sejak abad 11. Katanya sih tidak sah kalau ke Vietnam belum menonton pertunjukan ini. Gue pikir ya sudahlah, daripada penasaran dan terbersit rasa ingin tahu akhirnya kami memutuskan untuk menonton. Namun dari 5 orang hanya 2 orang yang berminat untuk nonton pertunjukan tersebut sedangkan 3 rekan cewek kurang tertarik untuk menontonnya. Kami membeli tiket untuk pertunjukan jam 5 sore dengan harga tiket per orang  VND 120,000 (sekitar Rp 50,400), hitung-hitung sama dengan harga sekali menonton film di bioskop di Jakarta.

Jarak dari Golden Dragon Water Puppet Theater dengan War Remnants Museum sangat dekat hanya sekitar 10 menit yaitu di 28 Vo Van Tan Str, District 3 sehingga dengan waktu singkat kami dapat tiba di museum. Setelah membeli tiket dengan harga VND 15,000 (sekitar Rp 6,300) kami segera masuk ke halaman museum namun tidak langsung masuk ke dalam gedung museum tetapi berfoto-foto sejenak di halaman museum hehehehe.
War Remnants Museum

Begitu melangkah masuk ke halaman museum kita langsung dihadang dengan sejumlah koleksi museum berupa peralatan militer berat seperti helikopter UH-1 “Huey”, tank M-48 dll. Museum ini terdiri dari 4 lantai dan koleksinya berupa foto-foto, potongan berita surat kabar, benda-benda serta peralatan perang seperti senjata, bom dan granat serta serpihan-serpihan kendaraan berat yang digunakan selama Perang Vietnam. Seperti kita ketahui Perang Vietnam yang berlangsung dari tahun 1957-1975 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar pada abad-20. Awalnya Vietnam terdiri dari 2 negara yaitu Vietnam Utara yang berhaluan komunis serta Vietnam Selatan yang berhaluan nasionalis. Seiring dengan era perang dingin pasca berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan perseteruan Blok Barat yang digawangi oleh Amerika Serikat serta Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet (saat itu) membawa Vietnam masuk ke dalam kancah peperangan sebagai akibat perebutan pengaruh antara 2 negara besar tersebut.
Koleksi Senjata
Koleksi Bom

Serpihan Alat-alat Perang
Bangkai Alat Perang

Sisa-sisa Granat
Museum ini sangat menarik dan sekaligus merinding kalau kita benar-benar menyaksikan semua koleksinya yang dipajang di setiap lantai. Kita akan dibawa ke masa lalu untuk menyaksikan serta merasakan apa yang terjadi pada masa itu, sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan serta menyisakan kesedihan mendalam bagi mereka yang menjadi korban dalam perang tersebut.
Foto-foto Memilukan
Korban Perang
Semasa perang Vietnam, korban yang meninggal sebanyak 3 juta jiwa dan 2 juta diantaranya  adalah rakyat sipil. Perang selalu membawa penderitaan dan kesengsaraan bagi umat manusia. Perang juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan serta budaya manusia dan pihak yang menderita serta sengsara akibat perang sudah pasti adalah rakyat sipil yang tidak bersalah. Akhir dari perang ini yaitu Amerika harus menanggung malu yang luar biasa karena menderita kalah setelah perang dinyatakan berakhir pada tanggal 30 April 1975. Buntut dari berakhirnya perang Vietnam yaitu bersatunya 2 negara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan menjadi satu negara yaitu Republik Sosialis Vietnam pada tahun 1976.

Tak terasa waktu hampir menuju pukul 5 sore dan kami buru-buru kembali ke Golden Dragon Water Puppet Theater untuk menyaksikan Water Puppet Show. Konon pertunjukan ini sudah dimainkan sejak abad-11 yang berasal dari desa di Delta Sungai Merah di Vietnam Utara dan masih terus dimainkan hingga saat ini menjadi pertunjukan yang populer.
Water Puppet Show

Pertunjukan Water Puppet ini dimainkan pada sebuah panggung berupa kolam yang berisi air dan boneka tersebut dimainkan di air tersebut dan digerakkan dengan tenaga mesin dari dasar kolam. Dalang dari masing-masing boneka yang terbuat dari kayu ini  bersembunyi di belakang panggung dan pertunjukan Water Puppet dimainkan dengan dengan diiringi musik dan lagu khas Vietnam di mana para pemain musik yang merangkap sebagai penyanyi duduk di sisi kiri dan kanan kolam.
Para Penyanyi dan Pemain Musik

Namun sayangnya pertunjukan yang berdurasi 45 menit ini seluruhnya menggunakan Bahasa Vietnam tulen, hanya kata pengantar dan penutup saja yang disampaikan dalam Bahasa Inggris, sisanya terpaksa penonton warga non-Vietnam cukup hanya menikmati musik, nyanyian serta hiburan dari gerak sang boneka karena tidak mengerti jalan ceritanya. Namun bila melihat adegannya, inti cerita yang dapat gue tangkap menceritakan tentang keseharian dari kehidupan rakyat Vietnam di pedesaan yang sederhana dan bersahaja mulai dari bercocok tanam, beternak dll. Walaupun kami tidak mengerti bahasa yang disampaikan namun pertunjukan secara umum cukup bagus dan yang penting memiliki pengalaman seru menonton pertunjukan Water Puppet.
Suasana Pertunjukan
Kurang afdol berkunjung negara Vietnam namun tidak mencicipi kopi Vietnam yang  ondang itu. Maka kamipun meluncur ke Trung Nguyen Cafe di seberang Diamond Plaza untuk menikmati kopi Vietnam yang tersohor itu. Suasana cafe malam itu cukup ramai dengan suasana yang nyaman. Sengaja kami memilih tempat duduk di teras luar untuk menikmati suasana HCMC di malam hari.

Gue memilih kopi Sang Tao 3 yaitu kopi bubuk murni kental (tentu pahit rasanya!) jenis Arabika 100% yang diletakkan dalam pot kecil dan ditaruh di atas gelas kecil dan dialasi dengan saringan tipis. Jadi kita harus menunggu kopi tersebut menetes habis disaring ke dalam gelas baru bisa diseruput.  Harga  kopi tersebut VND 45,000 (sekitar Rp 19rb),  harga yang cukup murah untuk segelas kopi namun ukuran gelasnya juga kecil dan kopinya juga sedikit hehee. Sebenarnya kopi ini mempunyai cita rasa  khas yang berbeda dengan rasa kopi lainnya namun yang membuat gue kurang suka yaitu kopi tersebut sudah keburu dingin pada saat selesai menetes habis disaring sehingga kenikmatannya berkurang pada saat diminum ketimbang  pada saat masih panas tentu sensasinya akan berbeda.       
Peralatan Minum Kopi Vietnam
Satu jam lebih kami habiskan waktu di kafe ini sebelum kami memutuskan untuk kembali ke hotel dan memburu kuliner di sekitar hotel tempat kami menginap. Setelah menyusuri jalan tidak jauh dari hotel, kami berhenti pada sebuah tempat makan di pinggir jalan yang menyediakan bermacam-macam makanan dengan sistem prasmanan, yaitu kita memilih menu yang kita suka. Meja dan kursi tempat makannya pun cukup unik yaitu berupa meja dan kursi kecil dan ini menjadi ciri khas tempat makan pinggir jalan di Vietnam. Bagi yang memiliki ukuran tubuh yang relatif besar gue rasa agak sulit untuk beradaptasi makan di pinggir jalan karena ukuran tubuh dan tempat duduk yang kurang sebanding sehingga membuat kurang nyaman pada saat duduk hehehehe. Oh ya malam itu gue memilih menu nasi putih beserta telur mata sapi dan daging ikan yang dibalur tepung yang menyerupai otak-otak + minuman es tebu dengan harga VND 36,000   (sekitar Rp 15,200) saja.
Makan Malam

Hari ke-3 tanggal 16 February 2012

Pagi ini dibuka dengan kejadian yang tidak mengenakkan karena kamar gue akan “digusur” alias dipindahkan oleh pihak hotel dari lantai 5 ke lantai 2.  Saat itu gue sengaja tidak sarapan di hotel dan mencari sendiri sarapan di luar  dan kepingin untuk mencoba pho yang dijual di dekat hotel. Saat baru memulai sarapan, gue mendapat SMS dari temen gue satu kamar yang meminta  segera kembali ke hotel untuk  membereskan barang-barang karena kamar akan dipindahkan ke lantai 2.

Sontak selera makan gue langsung hilang. Apa-apan ini main dipindahkan seenaknya saja? Begitu pikir gue saat itu. Segera gue kembali ke hotel untuk mencari tahu duduk persoalannya. Ternyata hotel  kedatangan rombongan tamu dan sepertinya mereka meminta untuk ditempatkan di lantai yang sama dengan mengorbankan kami yang akan “digusur” ke lantai 2.

Walaupun akan dipindahkan ke lantai 2 yang artinya kami tidak perlu bersusah payah naik turun tangga karena hanya 2 lantai namun gue menolaknya. Karena sejak awal kami sudah booking untuk 3 malam dan tidak ada alasan pihak hotel untuk memindahkan tanpa persetujuan kami terlebih dahulu. Apalagi saat itu gue harus segera membereskan barang-barang yang masih berantakan di kamar dengan tergesa-gesa yang jelas tidak cukup waktu karena akan segera berangkat city tour ke Cao Dai Temple dan Cu Chi Temple, agenda kami pada hari itu. Selain itu gue pikir tinggal 1 malam lagi menginap di hotel ini dan tidak masalah jika harus tetap tinggal di lantai 5.  Akhirnya komplain gue diterima oleh pihak hotel dan kami tetap tinggal di kamar yang sama.

Usai sarapan pagi pukul 08.00 kami segera menuju travel agent di dekat hotel untuk mengikuti full day tour ke Cao Dai Temple dan Cu Chi Tunnel. Paket ini telah kami beli 2 hari sebelumnya dengan harga VND 140,000 (sekitar Rp 59rb) per orang. Paket ini hanya termasuk transportasi pulang pergi serta pemandu lokal  berbahasa Inggris. Tepat pukul 08.30 kami berangkat dengan anggota rombongan berjumlah sekitar 10 orang yang berasal dari berbagai negara.  

Tujuan pertama hari itu yaitu mengunjungi Kuil/Pagoda Cao Dai. Kuil ini terletak di kota Tay Ninh di sebelah barat daya HCMC. Perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu selama kurang lebih 3.5-4 jam dengan satu kali pemberhentian. Menjelang tiba di Kuil Cao Dai, sang pemandu memberikan penjelasan mengenai kuil tersebut di dalam mobil. Sekitar pukul 11.45 kami tiba di lokasi dan segera berjalan kaki menuju halaman kuil karena kendaraan tidak boleh masuk ke halaman kuil dan harus diparkir di sisi luar daripada kuil.
Cao Dai Temple
Gue baru tahu ternyata Cao Dai adalah nama salah satu agama yang terdapat di Vietnam dan telah ada sejak tahun 1926. Para pengikutnya disebut dengan Caodaiists. Cao Dai sendiri memiliki makna “Menara yang Tinggi” yang merupakan simbol surga dalam kepercayaan mereka.

Cao Dai merupakan agama yang merupakan perpaduan antara Budha, Tao dan Kristen/Katolik atau dengan kata lain merupakan perpaduan antara agama Timur dan Barat. Penyatuan aliran kepercayaan di dalam Cao Dai ini disebut sebagai Tiga Pengajaran, Pengajaran Buddha, Pengajaran Orang Bijak, dan Pengajaran Orang Kudus. Pengikut Agama Cao Dai diperkirakan berjumlah 3 juta orang, bahkan diperkirakan sebanyak 8 juta orang yang tersebar di Vietnam sendiri serta di luar negeri yaitu di AS, Eropa dan Australia ( sumber : Wikipedia ).

Ritual ibadahnya dilaksanakan 4 kali dalam sehari yaitu pada pukul 6 pagi, 12 siang, 6 sore dan 12 malam (berat juga yah ibadahnya tengah malam hehehe). Ketika kami tiba di sana sebelum pukul 12 siang sang pemandu buru-buru menyuruh kami seandainya mau berfoto di alun-alun/lapangan yang menghadap menara utama kuil karena jam 12 tepat pada saat ibadah dimulai tidak diperkenankan untuk berfoto di lapangan kuil yang menghadap menara utama sampai ibadah selesai.

Uniknya ritual ibadah mereka terbuka untuk umum dan boleh disaksikan oleh siapa saja tanpa dipungut bayaran alias gratis sehingga menjadi salah satu atraksi wisata yang menarik. Wisatawan diperkenankan untuk masuk ke dalam kuil dan harus melepaskan alas kaki terlebih dahulu di halaman kuil serta harus membersihkan kaki pada keset kaki sebanyak 8-9 keset (lupa jumlah persisnya) yang disusun secara vertikal menuju pintu masuk kuil.

Begitu tiba di pintu masuk kuil, kami bertemu dengan para Caodaiists yang sedang  duduk berkumpul di dalam kuil menanti ibadah dimulai. Wisatawan boleh memilih untuk menyaksikan ritual ibadah dari lantai dasar atau di lantai 2 (disediakan lorong atau koridor untuk memandang ke bawah). Gue sendiri bersama teman-teman memilih naik ke lantai 2 agar bisa memandang ke bawah dengan leluasa. Wisatawan diperkenankan untuk mengambil gambar dan berfoto sepuasnya termasuk mengambil gambar pada saat ibadah dilaksanakan.
Sedang Menunggu Ibadah Dimulai

Tak berapa lama ibadah dimulai. Umat pria masuk dari sebelah kanan dan umat wanita masuk dari sebelah kiri. Itulah Cao Dai yang sangat dipengaruhi Budha. Setelah masing-masing umat mengambil posisi berdiri di tempat yang telah ditentukan kemudian mereka duduk dan memulai melantunkan doa-doa. Sayangnya kami tidak bisa menyaksikan ritual ibadah mereka lebih lama karena kami hanya diberi waktu sekitar 30 menit oleh sang pemandu dan harus segera kembali ke tempat parkir untuk bergegas makan siang bersama di salah satu restoran.
Persiapan Ibadah
Memasuki Ruang Ibadah

Ibadah Dimulai

Restoran yang kami tuju sebagai tempat makan siang yaitu Lan Phuong yang letaknya tidak terlalu jauh dari Kuil Cao Dai. Suasana restoran siang itu sangat ramai kebanyakan pengunjungnya adalah yang barusan dari Kuil Cao Dai juga. Gue memilih menu sup sayuran yang dicampur dengan daging ayam. Namun setelah pesanan makanan datang ternyata yang disuguhkan adalah sup sayuran dengan campuran daging babi. Huuh....rasanya mangkel karena walaupun gue tidak haram untuk mengkonsumsi daging babi namun pada saat mencatat di kertas pesanan, gue udah menulis “With Chicken” dengan huruf besar dan gue bacain di depan pelayannya namun masih salah juga ketika diantar. Ya sudahlah...gue gak mau merusak selera makan pada siang itu karena memang sedang lapar hehehehe akhirnya sang daging babi dengan sukses gue oper ke teman gue yang bisa menyantapnya. Harga yang harus gue bayar untuk makan siang + minuman teh dalam kemasan botol sebesar VND 85,000 (sekitar Rp 35,700).  
Restoran
Menu yang Salah Buat

Cu Chi Tunnel menjadi tujuan kami berikutnya. Tempat ini merupakan objek yang gue tunggu-tunggu karena sangat penasaran sejak dari Jakarta. Kurang lengkap ke Vietnam kalau tidak mengunjungi lokasi ini. Perjalanan dari Cao Dai ke Cu Chi Tunnel sekitar 2 jam dan selama di perjalanan diputar film dokumenter tentang Cu Chi Tunnel dan Perang Vietnam melalui DVD player yang terdapat di dalam mobil. Hamparan perkebunan karet mewarnai pemandangan di kiri kanan jalan menuju Cu Chi Tunnel. Terletak 70 KM di sebelah barat laut HCMC tepatnya di Distrik Cu Chi tempat ini menawarkan wisata sejarah yang sangat menarik sekaligus mengerikan dan seolah-olah mesin waktu diputar untuk kita dibawa kembali di tahun 70-an pada masa Perang Vietnam.

Saat ini Situs Cu Chi mempunyai 2 area yang masih terawat dengan baik yaitu yaitu Ben Duoc dan Ben Dinh. Konon panjang terowongan ini mencapai 200 KM di mana setiap terowongan saling terhubung satu dengan yang lain..

Setelah membayar tiket masuk dengan harga VND 80,000/orang (sekitar Rp 34rb), rombongan kami dibawa oleh pemandu untuk masuk ke dalam komplek wisata yang berupa terowongan lebar yang sudah dibuat modern dari beton (pintu masuknya ternyata berada di bawah tanah). Setelah melewati petugas pemeriksaan tiket kamipun  tiba di dalam hutan tempat para tentara Viet Cong melancarkan perang melawan tentara Amerika dulu. Perhentian pertama yaitu sebuah lubang persegi empat yang memiliki penutup yang berfungsi sebagai lubang intip dan ukurannya hanya cukup untuk ukuran tubuh manusia normal yang di atasnya ternyata disamarkan dengan daun-daun sehingga kita tidak menyangka kalau di bawahnya terdapat lubang persembunyian dan terowongan ini terhubung sampai ke Sungai Saigon. Setelah diperagakan oleh petugas penjaga hutan, salah seorang peserta diberi kesempatan untuk mencoba masuk ke dalam lubang tersebut dengan kondisi gelap gulita dan akan keluar di lubang yang lain.
Lobang Intip
Perhentian selanjutnya yaitu kami diperlihatkan berbagai jebakan yang dibuat oleh tentara Vietnam yang berupa lobang yang dibawahnya dibuat penancap yang terbuat dari bambu untuk menjebak tentara Amerika dan berbagai jebakan-jebakan lain dengan berbagai versi dan bentuk. Ngeri untuk dibayangkan kalau sampai ada yang tentara yang terjebak dan jatuh ke lubang ini maka akan tewas seketika.
Jebakan
Jebakan

Tentara Viet Cong juga membangun bunker-bunker hingga mencapai 4 tingkat di bawah tanah. Di bunker-bunker itulah mereka tinggal dan melakukan perang gerilya melawan tentara Amerika. Di dalam bunker ini, selain digunakan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai dapur umum, ruang pertemuan, tempat merakit senjata dll. Mereka membuat lubang-lubang kecil di atas permukaan tanah untuk sirkulasi udara dan disebut “Rumah Semut”. Untuk mendeteksi keberadaan bunker tersebut, tentara Amerika menggunakan anjing pelacak untuk mengendus “Rumah Semut” tersebut. Setelah dipastikan di bawah “Rumah Semut” terdapat bunker tempat pasukan Viet Cong bersembunyi, tentara Amerika akan melemparkan bom napalm untuk membunuh mereka. Namun tentara Viet Cong juga tidak kekurangan akal mereka menaburkan bubuk merica atau bubuk lain untuk menetralisir penciuman anjing pelacak sehingga keberadaan mereka tidak terdeteksi.
"Rumah Semut"

Akhirnya kami diberi kesempatan untuk masuk ke dalam salah satu terowongan yang disediakan khusus buat turis. Terowongannya sangat sempit dan hanya cukup untuk ukuran manusia normal. Ada beberapa wisatawan bule dengan ukuran tubuh besar yang menolak untuk masuk karena khawatir nanti bisa masuk tapi tidak bisa keluar lagi hehehe. Untuk masuk ke dalam terowongan kami harus menuruni sebuah bunker dan langsung terhubung  dengan terowongan sempit dan lembab serta gelap (hanya diberi penerangan seadanya). Dengan berjalan membungkukkan badan bahkan di beberapa titik harus berjalan merayap kami menembus terowongan dengan nafas ngos-ngosan dan akhirnya kami tiba di titik pintu keluar terdekat. Akhirnya kesampean keinginan gue untuk merasakan masuk ke dalam Cu Chi Tunnel.       
Bunker Bawah Tanah
Yang Gemuk Jangan Coba-coba Masuk!
Kami sempat diajak masuk ke beberapa bunker diantaranya bunker tempat pembuatan senjata, dapur umum, ruang makan, ruang tidur, tempat pembuatan sepatu dan sandal serta ruang pertemuan. Wisatawan juga ditawarkan untuk mencoba menggunakan senjata yang digunakan pada masa perang Vietnam dulu (menembak sungguhan) yaitu M16, AK47 dan M60 dengan membayar biaya terpisah. Juga terdapat toko-toko yang menjual suvernir dan bebagai pernak-pernik lain yang berhubungan dengan Cu Chi Tunnel. Oh ya, kami juga sempat disuguhkan makanan berupa singkong rebus yang masih hangat yang dicocol dengan gula pasir dicampur dengan kacang tanah yang ditumbuk dan ini merupakan makanan utama tentara Viet Cong pada masa itu. Rombongan kami sempat berkomentar kalau makanan ginian mah banyak di tempat kita dan sudah tidak asing lagi hehehhe.

Menyaksikan Cu Chi Tunnel secara langsung membawa gue dalam suatu perenungan begitu beratnya perjuangan para tentara Viet Cong dalam berjuang melawan tentara Amerika sekaligus gue salut melihat ketangguhan, keuletan dan semangat pantang menyerah yang ditunjukkan oleh para tentara Viet Cong. Dengan segala keterbatasan, namun mereka mampu membuat infrastruktur berupa bunker dan terowongan pada masa itu serta merakit sendiri senjata yang digunakan untuk berperang. Sungguh hebat..!

Sekitar pukul 4 sore kami mengakhiri wisata sejarah di Cu Chi Tunnel ini dan diantar kembali ke HCMC, namun kami tidak segera kembali ke hotel tempat menginap melainkan minta didrop ke Ben Thanh Market. Di sana kembali kami berbelanja beberapa oleh-oleh yang belum sempat dibeli kemarin. Gue sempat membeli Dragon Pearl Tea seharga VND 80,000/pack (sekitar Rp 33,600 ). Di dalam pasar tersebut gue juga  sempat tertarik dengan buah lengkeng dengan penampakan yang cukup besar ukurannya. Akhirnya setelah tawar menawar harga dikunci padaVND 50,000/kg (sekitar Rp 21rb). Setelah dicoba ternyata rasanya memang sangat manis namun daging buahnya sangat tipis dan bijinya pun besar, Huuhh....tertipu aku!
Lengkeng Vietnam
Perjalanan hari ini belum berakhir dan Saigon Opera House yang sangat cantik di malam hari membawa kami berhenti sejenak untuk menikmati keindahannya. Bangunan yang berarsitektur Perancis ini dibangun tahun 1897. Kami sempatkan untuk berfoto di depan gedung tersebut karena memang bagus menjadi objek foto di malam hari. Gedung opera ini setelah tahun 1957 digunakan sebagai gedung majelis rendah oleh pemerintah Vietnam Selatan (kala itu). Setelah kejatuhan Saigon pada masa perang Vietnam pada tahun 1975 gedung ini dipakai sebagai theatre  ( sumber : wikipedia)
Saigon Opera House
Puas berfoto-foto di depan Gedung Opera, perut mulai terasa lapar dan kami mulai bergerak mencari tempat makan malam itu. Pilihan jatuh di salah satu penjual makanan di pinggir jalan yang menjual chicken and beef rice. Gue memilih beef rice + egg dengan harga VND 30,000/porsi (sekitar Rp 12,600). Dengan kondisi perut yang lapar saat itu, semua makanan apapun yang masuk ke dalam perut terasa enak dan lezat hehehehe.

Tiba di hotel kami harus berkemas-kemas kembali karena keesokan harinya kami akan check out dari Hotel Luan Vu dan melanjutkan perjalanan ke  Ha Noi di Vietnam bagian utara dan terbayang sudah di pikiran gue petualangan-petualangan seru berikutnya telah menanti. Ah...Vietnam memang bukan hanya HCMC dan seolah tiada habisnya untuk dijelajahi.

Bersambung bagian 2........................

5 comments:

  1. ko, bdskn referensi dr mei chow, tulisan ko2 berguna buangettttt....btw, ak nanya dunk....itu luan vu hotelnya booknya lewat mana? ada emailnya? pas buka web nya eror ga bisa...
    tq.. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tempo hari kita booking melalui email hotel. Enaknya booking tersebut tidak diminta DP. Coba cek ke http://www.luanvuhotel.com/. Anyway thanks yah udah mampir.

      Delete
  2. Tulisan nya bagus, boleh kita kontak ini email saya tatang.kusdinar@gmail.com
    Mau tentang Hanoi

    ReplyDelete