Saturday, July 14, 2012

AYUBOWAN SRI LANKA Part 3 : Mimpi itu Terwujud di Dambulla - Sigiriya



24 Mei 2012 Pukul 06.30 pagi gue sudah nongkrong di salah satu kedai di dekat penginapan untuk menikmati sarapan pagi setelah sebelumnya check out dari penginapan. Sarapan pagi gue pagi itu berupa pastry yang terdiri roti berisi sosis dan muffin serta segelas teh manis yang ditebus dengan harga Rs 85 (Rp 6,400).



Dengan berjalan kaki gue berjalan menuju Clock Tower untuk mencari bis jurusan Goodshed yang merupakan terminal utama dan antar kota di Kandy. Dengan membayar Rs 9 (Rp 675) gue tiba di Goodshed dan bertanya kepada warga lokal bus yang menuju kota Dambulla. Akhirnya gue baik bus jurusan Sigiriya yang ternyata  melewati Dambulla dengan membayar ongkos sebesar Rs 94 (Rp 7,000). Beruntung bus tidak ngetem terlalu lama menunggu penumpang dan segera berangkat menuju Sigiriya. Seperti biasa gue mengambil posisi duduk di kursi paling depan biar gampang untuk bertanya-tanya kepada sopir.

Bus melaju dengan kecepatan tinggi sembari menaikkan dan menurunkan penumpang di sepanjang perjalanan. Niat hati mau tidur di tengah perjalanan, namun gue urungkan pada akhirnya. Ya iyalah siapa juga yang berani tidur dengan kondisi bus yang melaju dengan kencang dengan ngebut gak kira-kira seperti itu. Gue perhatikan rata-rata sopir bus antar kota di Sri Lanka perilakunya seperti itu. Namun buat warga lokal mungkin hal tersebut sudah biasa. Ah yah sudahlah gue hanya bisa pasrah dan berdoa sambil berharap semoga tidak terjadi apa-apa terhadap bus ini.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam akhirnya gue tiba di kota Dambulla sebuah kota kecil dan bersahaja yang terletak di sebelah utara kota Kandy. Di kota ini gue belum melakukan pemesanan tempat penginapan sama sekali karena sangat sulit mencari penginapan murah di kota Dambulla melalui internet. Gue berharap bisa go show dan mendapatkan penginapan dengan tarif yang bersahabat. 

Pemandangan Kota Dambulla


Laksana seorang musafir gue berjalan menyusuri kota dengan memanggul ransel gue berharap menemukan penginapan di jalan yang  dilalui. Akhirnya sepasang mata gue menatap sebuah tempat di salah satu sudut jalan dengan tulisan pada papan namanya :  hotel dan bakery. Asumsi gue tersedia tempat penginapan di situ. Dengan berbunga-bunga gue memasuki tempat tersebut namun gue sedikit curiga karena penampakannya seperti tempat makan. Mana hotelnya pikir gue.

Setelah bertanya kepada seorang perempuan di balik etalase kaca ternyata memang tidak ada penginapan di situ hanya tempat makan yang menjual makanan kecil  saja alias snack. Ketika gue tanya kok memasang papan nama dengan tulisan hotel, beliau hanya tersenyum tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Ah aneh-aneh saja kota ini pikir gue sembari terus berjalan.
Gue sempat menemui beberapa tempat dengan embel-embel yang sama dan gue tidak mau tertipu lagi untuk menghampirinya. Namun Tuhan sungguh baik, setelah berjalan beberapa ratus meter dengan kondisi berpanas ria gue melihat sebuah papan nama : SUJATHA LODGE yang masuk ke dalam sebuah jalan kecil sejauh 50M. Tanpa pikir panjang gue segera meluncur ke sana dan mendapati sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat tinggal.



Rumah tersebut milik keluarga Priyantha Raj. Kebetulan mereka mempunyai 2 blok di mana satu blok buat ditempati keluarga besarnya dan satu blok lagi dijadikan tempat penginapan dengan jumlah beberapa kamar. Masih tersisa sekitar 3 kamar yang bisa gue pilih dengan tarif berbeda sesuai dengan letak kamar. Kamar di bawah dibuka dengan harga Rs 1,500 (Rp 112,500) dan lantai 2 sebesar Rs 2,500 (Rp 187,500). Beda kamar tersebut yaitu di lantai 2 terdapat balkon sehingga bisa dipakai buat bersantai dan tempat tidurnya dilengkapi dengan kelambu untuk mengusir nyamuk sedangkan di lantai bawah tidak ada. 

Rumah yang dijadikan Tempat Penginapan


Tempat Tinggal Keluarga Raj


Karena pertimbangan gue hanya menginap di situ satu malam saja gue putuskan untuk mengambil kamar di lantai bawah saja. Terjadilah tawar menawar harga dengan sang pemilik rumah dengan sengitnya dan akhirnya penawaran harga berhenti pada harga Rs 1,200 (Rp 90,000). Sebuah kamar yang sederhana namun cukup mengakomodir kebutuhan gue yang cuma satu malam saja di Dambulla.

Melewatkan Malam di Dambulla di Kamar ini


Baiklah kebutuhan akan kamar sudah terpenuhi, sekarang gue bersiap-siap menuju Dambulla Cave Temple yaitu sebuah kuil Budha eksotis yang terletak di bawah sebuah bukit batu. Ketika ngobrol-ngobrol dengan bapak Priyantha ternyata mereka sekeluarga juga akan menuju kuil tersebut untuk melakukan upacara keagamaan dan gue pun ditawarin untuk berangkat bersama menuju lokasi. Siapa sih yang sanggup menolak tawaran gratis seperti ini? Segera gue mengiyakan tawaran Pak Priyantha lumayan kan bisa menghemat ongkos.

Pukul 11 siang gue beserta keluarga besar Pak Priyantha meluncur menuju The Golden Temple. Awalnya gue sendiri sempat bingung, ketika gue mengatakan kepada Pak Priyantha bahwa gue akan pergi ke Dambulla Cave Temple. Tapi setelah tiba di lokasi kok namanya The Golden Temple? Gue pikir ada temple lain selain Dambulla Cave Temple. Ternyata selidik punya selidik Lonely Planet dan Wiki Travel yang menjadi referensi gue masih menggunakan istilah Dambulla Cave Temple sedangkan nama resminya The Golden Temple.



Warga lokal tidak perlu membayar untuk masuk ke komplek kuil sedangkan bagi turis asing dikenakan biaya sebesar Rs 1,300 (Rp 97,500). Untuk kategori kuil harga tiket masuk ini menurut gue termasuk (sangat) mahal.

Memasuki halaman kuil kita akan berhadapan dengan bangunan berupa museum Budha yang memiliki halaman luas di depannya dan di atasnya terdapat patung Budha Raksasa yang berlapis emas dengan ketinggian lebih kurang 30 M. Bangunan museum dan patung Budha ini dibuat pada tahun 1988 dan selesai tahun 2001.

Patung Budha Raksasa




Komplek  ini memiliki 2 kuil yaitu Rock Temple dan Golden Temple. Untuk menuju Rock Temple yang dinyatakan sebagai UNESCO World Heritage tahun 1991 ini kita harus naik menyusuri anak tangga menuju sebuah bukit  selama kurang lebih 15-20 menit. Cukup lelah memang apalagi di sepanjang anak tangga banyak monyet-monyet liar yang berkeliaran. Namun untungnya mereka tidak mengganggu atau membuat ulah terhadap manusia.







Tangga Menuju Puncak Bukit



Setiba di puncak bukit tersaji pemandangan kota Dambulla yang sangat indah dan kota Sigiriya pun terlihat dari kejauhan. Sebuah bukit batu yang berwarna kehitaman berdiri di depan gue dalam posisi memanjang. Bila dilihat sekilas siapapun tidak akan menyangka kalau di dalam bukit batu tersebut terdapat mahakarya yang luar biasa yang telah tercipta sejak berabad-abad yang lalu.

Dambulla dari Ketinggian

Kuil di Bawah Bukit Batu



Di dalam bukit batu tersebut terdapat 5 gua utama yang dipercaya telah ada sejak abad ke-1 dengan berbagai ukuran yang terdiri dari Cave of the Divine King, Cave of the Great King, Cave of Great New Monastery, The Western Temple dan Devana Alut Viharaya. Dari ke-5 gua tersebut, Cave of the Divine King adalah gua yang terbesar. Di dalam gua ini banyak terdapat patung Budha dengan berbagai ukuran dan berbagai posisi : bersemedi, berdiri dan yang terbesar adalah patung Budha dalam posisi berbaring. Juga terdapat stupa dan yang membuat gue takjub adalah lukisan dan ornamen yang dibuat secara handmade pada langit-langit gua yang menceritakan kehidupan Sang Budha. Gue kagum ternyata keahlian dan seni dalam membuat patung serta lukisan/ornamen di dalam gua tersebut sudah berkembang pada masa itu dan masih terpelihara hingga saat ini.

Patung Budha di Dalam Gua


Setelah menikmati pemandangan kota Dambulla dari ketinggian, kembali gue harus menuruni anak tangga untuk menuju The Golden Temple. Sepanjang perjalanan para penjaja  suvernir banyak yang menawari dagangan mereka dan gua tolak dengan halus tawaran tersebut.  Tetapi ada seorang pedagang yang terus membuntuti gue turun dengan menawarkan suvernir berupa kalung dengan liontin berupa batu alam yang menurut beliau digali/ditambang  sendiri dari tanah. Karena memang tidak berminat gue abaikan tawaran pedagang tersebut tetapi beliau terus mencoba membujuk dengan memperagakan  batunya yang  digosok di lantai dan  dibakar untuk membuktikan keasliannya.

Dibuka dengan harga Rs 500 (Rp 37,500), turun ke Rs 400 (Rp 30,000) hingga Rs 100 (Rp 7,500) namun tetap gue tidak bergeming. Gue berpikir kalau memang asli, kok harganya bisa turun drastis hingga melorot menjadi Rs 100? Ah ada-ada saja trik penjual untuk memikat dan sekaligus menjebak calon pembeli.  

Komplek The Golden Temple sendiri memadukan patung Budha Raksasa dengan ketinggian 30M serta Museum Budha yang berisikan kisah perjalanan hidup Pangeran Sidharta mulai dari lahir, menjadi pangeran, bertapa hingga memperoleh kesempurnaan sebagai Budha hingga wafat yang digambarkan dalam bentuk diorama pada dinding. Kita juga dapat menyaksikan koleksi patung Budha hasil sumbangan dari berbagai negara dalam berbagai ukuran.

Museum Budha

 

Gue buru-buru harus segera kembali ke penginapan karena sudah membuat janji dengan sopir tuktuk untuk mengantar gue ke Sigiriya Archeological Park. Perjalanan kembali ke tempat penginapan dicapai dengan bus dengan ongkos hanya Rs 10 (Rp 750). Setiba di penginapan sopir tuktuk sudah menunggu. Tuktuk ini khusus gue sewa dengan membayar Rs 1,500 pp (Rp 112,500) untuk menuju Sigiriya yang berjarak sekitar 10 KM dari kota Dambulla dan ditempuh selama lebih kurang 30 menit. 

Setiba di Sigiriya gue membeli tiket masuk seharga USD 30 (Rp 282,000) dan mendapatkan DVD kecil tentang Sigiriya dalam 6 bahasa. Ini merupakan tiket masuk objek wisata termahal di Sri Lanka dan ke-2 termahal yang pernah gue beli setelah Universal Studio Singapore (Rp 370,000). Sigiriya terletak di Distrik Matale dan ancient city di Sigiriya ini ditetapkan sebagai UNESCO World Heritage tahun 1982.  

Setelah membayar tiket, di pintu masuk seseorang yang mengaku sebagai pemandu resmi (dengan menunjukkan ID cardnya) menawarkan diri untuk menjadi guide buat gue. Semula gue enggan namun setelah berpikir gue ingin tahu lebih banyak tentang Sigiriya akhirnya menerima  tawarannya dengan bayaran sebesar USD 20 (Rp 188,000).

Memasuki gerbang Sigiriya kita akan melewati sebuah kanal yang bentuknya masih terlihat jelas dan kita seakan-akan dibawa ke masa ribuan tahun silam ketika Sigiriya masih berupa sebuah kerajaan yang didirikan oleh Raja Kashyappan I ( 477 – 495 SM ). Di depan kanal terhampar taman yang merupakan bagian dari komplek istana raja. Raja Kashyappan I sendiri memiliki 2 komplek istana yaitu istana musim panas yang letakanya di bawah bukit batu serta istana musim dingin yang letaknya di puncak bukit batu Sigiriya.

Terdapat 3 taman yang  terhampar di depan kanal yaitu water gardens, cave and boulder gardens serta terraced gardens yang saling terhubung satu dengan yang lain. Taman-taman ini dipercaya sebagai  taman yang memiliki lanskap taman tertua di dunia. Sisa-sisa reruntuhan sistem irigasi taman-taman ini masih bisa disaksikan di sini.

Taman di Sigiriya Archeological Park


Setelah menyusuri taman-taman di bekas reruntuhan istana, kami berjalan menuju bukit batu Sigiriya dan dalam waktu singkat telah berhadapan dengan Sigiriya Rock yang berdiri dengan gagahnya dan terbentang menjulang. Ah.....akhirnya mimpi gue tercapai mengunjungi Sigiriya dan menyaksikan langsung Sigiriya Rock. Ibarat seorang muslim yang menjalankan ibadah haji di Tanah Suci, belum sah rasanya kalau belum mengunjungi bangunan Kabah. Demikian juga kalau traveling ke Sri Lanka belum sah rasanya kalau belum mengunjungi Sigiriya. Gue bersyukur kalau Tuhan masih memberikan kesempatan untuk mewujudkan satu persatu mimpi gue.

Mimpi itu Tercapai di Sigiriya Rock


Sigiriya Rock ini tingginya sekitar 200 M dan terletak pada ketinggian sekitar 370 M di atas permukaan laut. Terdapat 3 komplek bangunan batu yang membentuk Sigiriya Rock ini yaitu Elephant Rock, Lion’s Rock, dan Cobra Rock . Dinamakan demikian karena bentuknya mirip dengan satwa-satwa tersebut.   

Komplek Bangunan Batu yang Begitu Indah


Untuk mencapai gerbang Lion’s Rock  hingga menuju puncak Sigiriya Rock tentunya kita harus mendaki menyusuri anak tangga yang telah disediakan. Hm.....benar-benar harus siap stamina untuk menaiki anak tangga tersebut karena ada beberapa bagian anak tangga yang bentuknya nyaris tegak lurus dan sangat terjal untuk didaki yang tentunya sangat menguras tenaga.  Sedangkan Elephant Rock dapat dicapai tanpa harus mendaki dan Cobra Rock dicapai pada rute yang berbeda saat menuruni bukit.

Perjalanan menyusuri puncak bukit Sigiriya diantaranya harus melewati sisi punggung bukit yang telah dipasang anak tangga yang dibuat secara manual. Saat itu angin berhembus sangat kencang di atas bukit sehingga tangga yang dipijakpun bergoyang. Hm....agak deg-degan juga apalagi kondisi tangga sangat sempit dan harus dilalui 2 arah oleh para pengunjung.



Setelah menyusuri beberapa bagian anak tangga akhirnya tiba di salah satu gua yang sangat sempit dan di dalamnya terdapat galeri lukisan yang dibuat secara handmade pada langit-langit serta dinding gua.  Raja pada masa itu memiliki 500 orang istri dan satu persatu istrinya tersebut dilukis pada langit-langit serta dinding gua tetapi lukisan wanita yang masih tersisa hanya sekitar 20-an lukisan. 



Selepas turun dari gua tersebut pengunjung berjalan melewati dinding kaca (Mirror Wall). Disebut demikian karena dinding atau tembok tersebut terbuat dari porselen yang sangat mengkilap sehingga menyerupai kaca dan di tembok tersebut banyak terdapat tulisan-tulisan yang berisi puisi yang ditulis oleh raja sendiri. Tembok tersebut diberi pembatas sehingga pengunjung tidak diperkenankan untuk mendekat apalagi menyentuhnya.

Akhirnya setelah melanjutkan perjalanan gue tiba di Lion’s Gate yang merupakan bagian dari Lion’s Rock. Lion’s Rock yang sekarang masih tersisa berupa tapak kaki sang singa sedangkan bagian yang lain telah musnah. Kembali gue harus menyusuri anak tangga yang semakin menyempit untuk menuju puncak Sigiriya Rock. Akhirnya setelah berjuang mendaki selama 1.5 jam gue tiba di puncak Sigiriya Rock. Ah.....perasaan letih, capek dan pegal terbayar lunas dan tidak berarti apa-apa begitu gue tiba di puncak Sigiriya Rock.

Apakah Diriku Terbang di Puncak Bukit Sigiriya?


Diiringi dengan angin yang berhembus kencang di atas puncak bukit,   gue terpaku menyaksikan pemandangan yang spektakuler dan begitu indah serta tak henti-hentinya berdecak kagum memandang Sigiriya yang terhampar di hadapan gue dalam posisi 3600. Begitu indah dan luar biasa dan rasanya ingin berlama-lama di tempat ini. Kota Dambulla dengan Patung Budha raksasanya di Golden Temple tampak dari kejauhan.

Dari puncak bukit ini kita juga dapat memandang sisa-sisa hall atau tempat raja dan permaisuri serta selirnya yang berjumlah 500 orang mengadakan pesta dansa dan diakhiri dengan mandi bersama di sebuah kolam yang besar yang masih tersisa hingga sekarang.
Setelah puas menikmati puncak bukit Sigiriya gue turun melalui jalur berbeda dengan jalur pada saat mendaki untuk menuju Cobra Rock. Waktu yang ditempuh untuk turun lebih cepat pada saat naik yaitu sekitar 30 menit. Jadi untuk mendaki Sigiriya Rock ini serta turun kembali dibutuhkan waktu sekitar 2 jam.

Menjelang sore gue kembali ke Kota Dambulla dengan diantar kembali oleh tuktuk yang menunggu gue hingga selesai mendaki Sigiriya Rock dan mengakhiri kegiatan gue di kota Sigiriya serta Dambulla.

Bersambung..............

2 comments:

  1. Aku jd pgn mengunjungi Sigiriya waktu lagi naik taxi, dan krn jalanan macet parah, iseng2 dengerin siaran radio yg lagi di putar si supir.. Wisata ke Sigiriya... sjk itu lgs cari tau seperti apa tempatnya, termasuk yg katanya Adam's foot di daerah Kandy. Ada kesana juga ga mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tidak ke Adam's Peak (nama tempatnya, di mana terdapat telapak kaki Budha) karena keterbatasan waktu.

      Delete