Magandang Umaga, Mabuhay ng Pipilinas. Sapaan awak kabin maskapai Cebu Pacific yang berarti
“Selamat Pagi, Selamat Datang di Filipina” membangunkan tidur gue pagi itu.
Tidak terasa sejak bertolak dari Jakarta dan sekitar 4 jam di udara, sekarang
bersiap-siap untuk mendarat di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila, Filipina.
Gue paksakan mata untuk terbuka dan
mengintip penunjuk waktu pagi itu yang menunjukkan pukul 05.40. Untuk pertama
kalinya gue terbang bersama Cebu Pacific dan kesan pertama yang gue rasakan
lumayan bagus untuk pelayanannya.
Tidak gampang untuk
mengumpulkan nyawa pagi itu karena gue tidur sangat lelap. Namun sesaat setelah
mendarat nyawa gue telah menyatu kembali dengan raga ini. Suasana Terminal 3
Bandara Internasional Ninoy Aquino Manila pagi itu relatif sepi karena tidak
banyak pesawat yang mendarat dan itu memberikan keuntungan tersendiri karena
berarti tidak perlu antri panjang untuk melewati imigrasi.
Tempat penukaran
uang berjejer di pintu keluar dan setelah membandingkan satu dengan lannya
nilai tukarnya relatif tidak jauh berbeda. Sisa Dollar Singapore yang masih gue
miliki di perjalanan sebelumnya gue tukar dengan Peso Filipina. Satu urusan
lagi yang harus gue selesaikan sebelum bertolak keluar yaitu membeli kartu
perdana lokal untuk mengaktifkan blackberry selama berada di Filipina. Ada
2 pilihan kartu perdana yaitu Smart Card
dan Globe Card. Karena counter yang
gue jumpai hanya Globe Card akhirnya
gue memilih kartu perdana tersebut yang dijual dengan harga PHP 300 dan top up PHP 100 total PHP 400 (sekitar Rp
100rb) yang gue bayarkan dan blackberry
langsung aktif seketika dalam hitungan detik.
Kota Manila tidak
ubahnya mirip dengan Jakarta dalam urusan transportasi. 11 12 lah kira-kira.
Jangan berharap tersedia MRT atau kereta cepat dari bandara yang tersambung
dengan pusat kota. Bus? Sebenarnya tersedia namun pilihan rutenya sangat
terbatas dan tidak ada yang langsung menuju ke area tempat gue menginap (area
Malate) sehingga bus pun tidak dapat gue andalkan. Bagaimana dengan angkutan
tradisional Jeepney? Aah...malah
lebih ribet apalagi dengan bawaan ransel segede ukuran kambing pasti akan lebih
menyengsarakan saat dibawa masuk ke dalam Jeepney
dan harus pindah-pindah rute sampai beberapa kali. Ojek motor? Ya kali ada ojek
di Manila, emangnya Jakarta hehehee. Trus harus naik apa dong? Tak ada pilihan
lain mau gak mau gue harus naik taksi. Tak apalah sesekali bergaya naik taksi
dari bandara menuju pusat kota karena menurut info dari teman-teman yang sudah
pernah ke Manila sebelumnya tarif taksi di sini tidak terlalu mahal dan
terbilang masih masuk akal.
Untung di Terminal 3
NAIA (Ninoy Aquino Intl. Airport) ini
terdapat pangkalan taksi yang menggunakan argo resmi jadi lupakan kisah tawar
menawar dengan supir taksi dan setidaknya kekhawatiran gue terhadap praktik scam di bandara tidak terjadi.
Setelah diberi
secarik kupon oleh petugas di pangkalan taksi sesuai dengan antrian akhirnya
taksi bandara berwarna kuning itupun melaju membelah kota Manila menuju pusat
kota. Namun saat gue menyerahkan kupon
taksi kepada supir serangkaian kalimat Bahasa Tagalog terucap dari sang sopir
yang mengira gue pinoy (sebutan untuk
warga Filipina). Setelah gue jawab dalam bahasa Inggris baru sang sopir
menyadari kekeliruannya.
Tak heran karena
secara fisik wajah orang Indonesia hampir mirip bahkan sama dengan wajah orang
Filipina sehingga ketika berada di Manila tak ubahnya sedang berada di Jakarta
karena kemiripan tersebut.
Pagi itu suasana
kota Manila masih relatif sepi. Mungkin saat gue tiba bertepatan dengan akhir
pekan di hari Sabtu (14 Sept 2013). Kesibukan warga berangkat kerja di pagi
hari tidak begitu terasa karena mungkin sebagian dari mereka juga ada yang
libur di hari Sabtu. Namun kondisi kota Manila hampir sama dengan Jakarta. Lalu
lintas yang semerawut ditambah dengan bunyi klakson Jeepney yang memekakkan telinga di sana sini, juga terlihat
beberapa perkampungan kumuh di beberapa sudut di kota yang bernama resmi Metro
Manila ini.
Jarak dari bandara
ke tempat penginapan gue di daerah Malate tidak terlalu jauh dan hanya
membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapainya. Malate merupakan salah
satu distrik turis di Manila bersama dengan area Ermita. Kedua area tersebut
letaknya berdekatan. Di kedua area inilah para backpacker biasanya menginap. Bagi wisatawan yang berkantong tebal
atau untuk urusan bisnis biasanya memilih area Makati (Seperti
Sudirman-Thamrinnya Jakarta) yamg merupakan pusat bisnis, keuangan serta
perdagangan di Kota Manila.
Di area Malate dan
Ermita banyak tersebar penginapan dengan harga yang terjangkau oleh para backpacker, restoran dengan
bermacam-macam jenis makanan, bar, kafe,
convenience store, jasa penukaran uang dll sehingga semua kebutuhan bagi
para wisatawan tersedia di area ini.
Where2Next Hostel di Adriatico Street tempat
gue menginap terselip di antara bar dan money
changer yang mengapit di sisi kanan dan kirinya. Agak sedikit sulit memang
mencari letak hostel ini karena papan namanya relatif kecil sehingga luput dari
pandangan mata. Setelah menebar pandangan ke setiap sisi kiri kanan jalan
akhirnya hostel tersebut ditemukan setelah mengurut nomor bangunan di jalan
tersebut.
Tampak Depan Hostel |
Namun sayang saat
gue tiba di hostel tersebut pukul 8 pagi belum dapat melakukan check-in dan sesuai peraturan check-in dilakukan pukul 12 karena
mereka akan beres-beres terlebih dahulu. Akhirnya gue menawar untuk check-in pukul 10 dan diperkenankan. Tas
backpack gue titip di hostel dan
petualangan di Kota Manila gue mulai.
**********
Adriatico Str
Malate masih belum menunjukkan geliatnya pagi itu. Hanya sedikit terlihat
aktivitas warga di sepanjang jalan yang gue lalui. Maklum denyut jalan tersebut
baru terasa menjelang sore hingga lewat tengah malam.
Gue harus menerima
kenyataan kalau gue melakukan perjalanan ke Filipina di Bulan September yang
ternyata sudah memasuki musim hujan. Baru berjalan beberapa ratus meter, hujan
menyergap langkah gue dan terpaksa harus berteduh untuk beberapa saat.
Beruntung gue berteduh di sebuah restoran cepat saji lokal dengan jaringan
terbesar di Filipina yaitu Jollibee. Setidaknya sambil menunggu
hujan reda gue sarapan pagi dulu di gerai ini. Gue teringat restoran cepat saji ini sempat
memperluas jaringannya dengan membuka gerainya di salah satu pusat perbelanjaan
di Jakarta Barat beberapa tahun silam namun nampaknya kurang mendapat respon
yang bagus dari warga Jakarta sehingga tidak bertahan lama dan akhirnya harus
menutup gerainya.
Menu makanan di Filipina
sebagian besar mengandung unsur daging babi ( Tagalog : baboy). Daging babi
merajalela di seantero Manila. Bagi non-muslim harus hati-hati dalam memesan
makanan. Sebaiknya ditanya lebih dahulu kepada penjual agar tidak salah saat
memesan.
Di Jollibee pun tidak luput dari unsur baboy. Gue sendiri sebenarnya tidak terlalu
suka dengan baboy namun apa daya
pilihan menu sphagetti pada pagi itu
mengandung baboy. Ditambah dengan
menu kentang goreng dan jus nanas gue hanya membayar PHP 82 (Rp 20,500). Cukup
murah. Oh ya di Filipina jus nanas merupakan minuman populer dan merupakan
minuman rakyat. Mulai dari pinggir jalan hingga restoran besar minuman ini
gampang ditemui.
Murah dan Enak |
Sepertinya hujan
sudah mulai reda dan gue dapat melanjutkan menjelajahi Kota Manila kembali. Suara
klakson Jeepney yang melintas nyaris mengejutkan gue. Jeepney memang raja jalanan. Angkutan tradisional Filipina yang
berupa mobil jeep dengan bentuk badan yang panjang dan dapat memuat penumpang
hingga 15-20 orang ini menguasai jalan-jalan di kota Manila.
Secara tidak sengaja
mata gue melihat sebuah gereja tua di sekitar Jollibee dan dengan penuh rasa ingin tahu gue mampir ke gereja
tersebut yang ternyata adalah Malate
Church. Dari prasasti yang terdapat di depan gereja tertulis gereja
tersebut telah ada sejak tahun 1588. Saat gue melongok ke dalam sedang ada
kegiatan ibadah yang dilaksanakan oleh umat katolik.
Malate Church dan Jeepney yang Melintas |
Lepas dari Adriatico Str gue sampai di jalan raya
yang akhirnya gue tahu kalau itu Roxas
Boulevard yang merupakan salah satu jalan utama di Manila. Jalur pejalan
kaki di sisi Roxas Boulevard cukup
lebar dan langsung berhadapan dengan Teluk Manila yang sangat indah terlebih
menjelang senja sehingga lokasi ini dimanfaatkan warga lokal untuk bersantai,
joging dan aktivitas lainnya. Kedutaan Besar Amerika Serikat pun terletak di Roxas Boulevard ini dan kompleks
kedutaan letaknya memanjang dan sangat luas.
Manila Bay |
Hanya berjalan kaki
sekitar 20 menit gue tiba di Rizal Park
yang juga dikenal dengan nama Luneta Park.
Taman ini didedikasikan bagi Dr. Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina yang
dieksekusi mati tahun 1896 saat Filipina masih dijajah oleh Bangsa Spanyol. Rizal Park juga menjadi “Kilometre Zero” di Manila.
Rizal Park |
Taman ini sangat
luas yang mencapai 58 ha dan menjadi atraksi turis yang datang ke Manila. Jika
malas untuk jalan kaki tersedia angkutan kereta yang ditarik oleh kuda seperti
delman di Indonesia yang bernama kalesa
yang akan membawa pengunjung berkeliling taman. Persis di pintu masuk taman
terdapat Rizal Monument. Sayangnya
pengunjung tidak diperkenankan untuk mendekati area monumen karena diberi
pembatas. Pengunjung hanya dapat berfoto dari kejauhan. Terdapat 2 orang
pasukan penjaga di sisi kiri dan kanan monumen dan pada jam-jam tertentu
dilakukan upacara pergantian pasukan jaga yang menjadi daya tarik bagi para
wisatawan.
Pergantian Pasukan Jaga |
Selain Rizal Monument, di dalam Rizal Park sendiri dapat dilihat
beberapa spot diantaranya National Museum
of the Filipino People, Open Air
Auditorium, Chinese and Japanese
Gardens, Museum of Philippine History,
Relief Map of the Philippines –
sebuah danau kecil yang menampilkan replika dari kepulauan Filipina, dan patung
setengah badan beberapa pahlawan nasional di Filipina. Juga dapat disaksikan
diorama tentang hukuman mati terhadap Dr. Jose Rizal di Rizal Park ini. Sayang saat gue berkunjung ke sana sedang dilakukan
pekerjaan renovasi di sana sini sehingga terdapat beberapa bagian taman yang
ditutup.
Chinese Garden |
Patung Pahlawan Nasional Filipina |
******
Saatnya kembali ke Where2Next Hostel untuk check-in dan.....mandi. Maklum semaleman
belum mandi sejak berangkat dari Jakarta malam sebelumnya. Kamar gue letaknya
di lantai 3 dan jenis kamar dormitory
untuk 6 orang. Saat gue masuk hanya terdapat 1 orang tamu seorang backpacker asal Canada. Namun sayangnya
saat gue masuk beliau ternyata sedang bersiap-siap untuk check-out setelah menjelajahi Filipina selama.......2 bulan!!
Hm.....
Kamarnya Bersih |
Kamar yang gue
tempati cukup nyaman dengan tarif sebesar PHP 1,200 (Rp 150rb) per malam.
Selain kamarnya yang bersih, terdapat AC dan kamar mandi di dalam kamar, juga
tersedia loker.
Kamar Mandinya Juga Bersih |
Seperti halnya
kota-kota lain di dunia, Manila juga mempunyai kawasan kota tua yang bernama
Intramuros. Letak Intramuros tidak begitu jauh dari Rizal Park jadi gue jalan kaki kembali menuju Intramuros. Di tengah
perjalanan lagi-lagi hujan mengguyur sehingga gue harus lari-lari tampan
kembali mencari tempat berteduh. Beruntung di sekitar tempat situ terdapat
gerai 7 Eleven. Cukup dengan membeli minuman sebotol gue mendapat bonus tempat
duduk gratis sambil menunggu hujan reda.
Memasuki kawasan
Intramuros di Gen. Luna Street kita
seolah-olah dibawa oleh mesin waktu kembali ke masa lalu saat Filipina masih di
bawah penjajahan Spanyol. Kawasan Intramuros masih memperlihatkan geliatnya
siang itu dengan berbagai aktivitas warganya. Gedung-gedung tua yang menjadi
ciri khas dan indentitas Intramuros masih tegak berdiri dan tidak tersapu oleh
jaman.
Kaki gue terus
melangkah dan tiba di suatu tempat yang menurut gue sangat “Spanyol” banget.
Duduk santai di tengah taman yang dikenal dengan Plaza de Roma sambil memandang Manila
Chatedral di samping kiri Plaza dan memperhatikan perilaku pengunjung di
sekitar sungguh memberikan nuansa yang sungguh berbeda. Gue seolah-olah lupa
bahwa gue sekarang sedang berada di Manila bukan di Spanyol.
Plaza de Roma
menjadi pusat berkumpul para wisatawan di Intramuros dan patung Raja Spanyol yaitu Raja Carlos IV yang
berada di tengah plaza menjadi ikonnya. Wisatawan dengan berbagai gaya dan
aksinya berfoto di sana sini.
Manila Cathedral yang bernama resmi Minor
Basilica of the Immaculate Conception telah berdiri sejak 1571. Di usianya
yang telah mencapai 442 tahun, katedral ini telah menjalani restorasi sebanyak
8 kali hingga saat ini karena berbagai sebab yaitu kebakaran, gempa bumi,
taifun dll. Saat gue ke sanapun sedang dilakukan renovasi di bagian luar
katedral sehingga ditutup buat kunjungan wisatawan.
Manila Cathedral yang Megah |
Persis di depan Plaza de Roma terdapat Palacio del Gobernador yang awalnya merupakan
tempat kediaman dan kantor Gubernur Jenderal Spanyol. Sekarang bangunan 8
lantai tersebut sekarang digunakan sebagai kantor administrasi Intramuros.
Awalnya gue sangat
kepingin untuk menaiki kalesa yaitu
sejenis kereta yang ditarik kuda yang banyak mangkal di sekitar Manila Chatedral. Rasanya gimana gitu
mengelilingi Intramuros menikmati aura kota tua sambil naik kereta kuda. Namun
begitu tahu tarifnya sebesar PHP 350 (Rp 87,500) per ½ jam gue langsung
membatalkan niat gue. Ya kali kalau 2 jam saja gue harus membayar Rp 350rb!
Kalesa |
Akhirnya gue beralih
ke tricycle yaitu angkutan roda 3
sejenis becak. Tricycle ada yang
ditarik tenaga manusia, ada juga yang menggunakan tenaga mesin. Khusus yang
beroprasi di Intramuros kebanyakan yang ditarik tenaga manusia. Salah seorang
sopir tricycle membuntuti sejak gue
datang dan terus menawarkan jasanya namun gue belum bergeming untuk menerima
tawarannya. Bahkan saat gue bersantai di Plaza
de Roma pun beliau terus menunggui gue.
Akhirnya gue
putuskan untuk menggunakan tricycle
saat menjelajah Intramuros dan gue berjalan agak menjauh dari posisi gue saat
itu untuk mencari tricycle yang
kebetulan sedang lewat. Pengemudi tricycle
menawarkan harga PHP 300 (Rp 75rb) selama ½ jam. Gue pikir sebentar amat cuma ½
jam mana keburu untuk keliling Intramuros.
Akhirnya gue tawar
PHP 250 (Rp 62,500) selama 1 jam dan abang tricycle
pun menyetujuinya. Tanpa menunggu lama
gue langsung masuk ke dalam tricycle yang ternyata space nya sangat sempit dan hanya muat untuk maksimal 2 orang.
Abang tricycle pun tancap gas
menggowes tricycle nya.
Ternyata kawasan
Intramuros ini sangat luas dan rasanya tidak memungkinkan untuk melihat semua
objek dan menjelajahi seluruh area dengan berjalan kaki. Berkeliling kawasan
Intramuros serasa ditarik mundur oleh mesin waktu beberapa ratus tahun silam.
Puluhan gedung-gedung tua masih dipertahankan sesuai dengan aslinya, bahkan ada
yang masih dipergunakan hingga sekarang berupa sekolah, gereja, perkantoran
komersil, kafe, penginapan dll.
Saat tricycle melewati Intendencia, gedung tua bekas
kantor bea cukai pada masa kolonial Spanyol gue sengaja meminta supir tricycle untuk berhenti sejenak agar gue
dapat memanjakan mata gue melihat gedung yang sangat artistik ini dengan puas.
Bangunan Intendencia |
Fort Santiago
tak pelak menjadi spot paling populer di Intramuros. Komplek benteng yang telah
ada sejak tahun 1571 menjadi titik sejarah penting di Manila. Benteng ini
sempat mengalami kerusakan pada masa Perang Dunia II. Di dalam benteng ini juga
terdapat penjara tempat dimana Dr. Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina
pernah ditahan sebelum menjalani eksekusi mati di Luneta Park tahun 1896 saat Filipina berada di bawah penjajahan
Spanyol.
Gerbang Fort Santiago |
Rumah tempat Dr.
Jose Rizal pernah ditahan sekarang menjadi museum yang disebut Rizal Shrine. Di tempat ini masih dapat dilihat jejak kehidupan Dr. Jose Rizal saat
beliau menjalani profesi sebagai seorang dokter dan perjuangannya melawan
kolonial Spanyol.
Rizal Shrine |
Hujan deras
mengguyur kawasan Intramuros dan beruntung gue bisa berteduh sambil melihat
koleksi yang ada di Museum Rizal Shrine
ini. Bau tanah yang khas setelah hujan selesai menyeruak masuk ke dalam Rizal Shrine seolah memberikan suasana
mencekam. Sungai Pasig yang membelah kawasan Intramuros dan kawasan Binondo (China Town di Manila) dapat disaksikan dari Rizal Shrine.
Gerimis kecil
mengiringi kepergian gue dari Fort
Santiago. Sesaat gue melihat sejumlah pekerja masih bekerja dalam proyek
restorasi di beberapa sisi di gerbang utama Fort
Santiago. Supir tricycle masih
lincah menggowes tricyclenya saat gue
memintanya untuk berhenti di alun-alun kecil yang menarik perhatian gue.
Ternyata alun-alun
kecil itu adalah Plazuela De Santa Isabel.
Di alun-alun ini dibangun sebuah monumen untuk memperingati 100 ribu orang yang
terdiri dari wanita, pria dan anak-anak
yang telah gugur saat perang di bulan Feb-Mar 1945. Tampak rombongan
turis Jepang terlihat bergerombol dan berfoto di depan monumen.
Tak disangka di
balik kota tua yang bersahaja ini terdapat hotel di dalam komplek Museum Casa Manila. Menyusuri lorong yang terdapat di Casa Manila menuju White Knight Hotel Intramuros sambil melewati kafe, toko suvernir dan
berhenti di satu titik yang terdapat air mancur kecil di sebuah taman di tengah
Casa Manila sungguh menggelorakan
emosi gue. Sungguh gue sangat kagum dengan usaha pemerintah kota Manila yang
sungguh serius menjaga serta merawat kawasan ini sehingga masih dapat
disaksikan dengan utuh bangunan yang telah berusia ratusan tahun ini.
Di Intramuros ini
kita juga masih dapat menyusuri jejak peninggalan Bangsa Spanyol yang masuk
dalam UNESCO World Heritage tahun
1993. Gereja San Agustin masih berdiri tegak dengan kokohnya hingga sekarang.
Bangunan bergaya barouqe ini
didirikan pada tahun 1586 dan penyelesaiannya membutuhkan waktu selama 21 tahun
saat diselesaikan tahun 1607. Gereja yang berdiri sekarang adalah gereja
generasi ke-3. Gereje generasi pertama didirikan tahun 1571 yang terbuat dari
nipa dan bambu namun terbakar habis tahun 1574 dan dibangun kembali gereja
generasi ke-2 namun kembali habis terbakar tahun 1583. Miguel Lopez de Legazpi
Gubernur Jenderal Spanyol pertama di Filiphina dimakamkan di dalam komplek gereja
ini.
Untuk masuk ke dalam
gereja ini tidak dipungut biaya namun untuk masuk ke dalam museum pengunjung
harus membayar sebesar PHP 100. Karena terburu-buru gue tidak sempat untuk
masuk ke dalam museum.
Tidak terasa 3 jam
sudah gue menjelajahi kota tua Intramuros. Dan kawasan China Town di Binondo,
seberang Sungai Pasig mengusik rasa penasaran gue untuk berkunjung ke sana. Gue
minta supir tricycle untuk sekalian
mengantar ke sana dengan tambahan ongkos karena seharusnya gue diantar kembali
ke gerbang masuk Intramuros di bundaran Plaza
de Roma.
Jalan menuju kawasan
China Town tidak bersahabat bagi
kendaraan yang menggunakan tenaga manusia karena struktur jalannya naik turun
dan supir tricycle sempat 2x meminta
gue untuk turun karena beliau sudah ngos-ngosan menggowes tricyclenya saat jalan mendaki.
Akhirnya gue tiba di
Binondo dan saat akan membayar ongkos tricycle
gue kaget bukan kepalang karena si supir menulis pada secarik kertas jumlah
yang harus gue bayar saat itu sebesar PHP 3,500!! Dengan raut muka heran gue
menatap wajah supir tricycle dan
bertanya darimana hitungan sebesar itu??
Beliau menjelaskan
bahwa harga saat deal awal sebesar
PHP 250 adalah harga untuk ½ jam dan beliau tidak memberitahukan ke gue sejak
awal untuk selanjutnya berlaku kelipatan setiap ½ jam. Jelas-jelas gue merasa dijebak
dan ditipu saat itu. Nah karena gue telah ditemani selama 3 jam dan ongkos
tambahan ke Binondo jadi gue harus membayar PHP 3,500. Begitu argumentasi sang
sopir.
Whaat??? Gue
setengah berteriak...kalau dalam hitungan matematika jumlah yang harus gue
bayar untuk 3 jam sebesar PHP 1,500 + ongkos tambahan ke Binondo maksimal gue
membayar PHP 1,700. “Sekarang Anda
meminta PHP 3,500?” Teriak gue dengan marahnya...
Negosiasi pun
terjadi. Supir menurunkan menjadi PHP 3,000 dan gue masih menolak untuk
membayar. Gue bersikukuh hanya akan membayar PHP 1,500 dan tarif itupun menurut
gue masih termasuk mahal. Akhirnya sopir menurunkan kembali harganya menjadi
PHP 2,500 dan gue masih dengan nada marah menolak tawarannya. Harga kembali
meluncur turun menjadi PHP 2,000 dan dengan kesalnya gue menyetujuinya karena
gue sudah males untuk negosiasi kembali. Hufft...Rp 500rb melayang hanya untuk
keliling selama 3 jam. Benar-benar menjadi pelajaran berharga buat gue untuk
selalu berhati-hati dalam tawar menawar harga karena traveling kemanapun faktor scam
terhadap turis asing pasti selalu ada.
Semangat gue sudah
drop untuk menjelajahi kawasan Pecinan di Kota Manila yang sore itu suasananya masih padat dan ramai. Sama halnya dengan
kawasan Pecinan di kota-kota lain di seluruh dunia, kawasan Binondo dipenuhi
dengan pertokoan, kantor, bank dan tentunya
restoran yang tidak hanya menyajikan masakan khas China namun masakan lokalpun
bertebaran di sana sini.
Keinginan gue untuk
mencari makanan khas Filiphina Balut
yaitu telur rebus yang masih berisi embrio unggas tidak kesampaian. Gue
berjalan ke sana kemari masuk keluar gang untuk mencari Balut tersebut namun tetap tidak menemukannya. Sempat mendapat
informasi dari teman kalau ada yang menjualnya di sudut gereja di ujung jalan
namun setelah gue datangin tidak ada tanda-tanda penjual Balut di situ.
Lelah sudah berjalan
ke sana kemari akhirnya kaki gue arahkan untuk masuk ke dalam sebuah restoran
untuk makan malam. Setidaknya rasa kesal setelah dijebak dan ditipu oleh supir tricycle tadi sore sedikit terobati dengan makan
kenyang malam itu.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteada rekomendasi sim card untuk android ga, mas?
DeleteKalo SIM Card saya menggunakan provider Globe Telecom yg sangat bagus dipake dio Manila, bisa untuk android juga. Tapi kalo di Puerto Princessa sinyal yg lebih bagus milik competitornya yaitu Smart Communications.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete