Friday, December 28, 2012

Melaka Part 1 : Indahnya Sang Warisan Dunia




Masih terngiang dalam benak gue ketika kota Melaka dibahas pada mata pelajaran sejarah di bangku SMP. Sebuah kota pelabuhan yang pernah mengalami masa keemasan sebelum ditundukkan dan dijajah oleh Portugis. Hari itu tanggal 24 November akhirnya kaki gue menginjak kota Melaka, sebuah kota kecil di pesisir selatan Negara Malaysia yang hanya berjarak 2 jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur (KL).
 
Sebenarnya perjalanan ke Melaka ini tidak gue rencanakan sama sekali. Perjalanan pada mulanya dirancang hanya untuk mengitari KL dan sekitarnya saja. Berbekal dengan tiket Mandala yang gue peroleh dari sebagian hasil kompensasi tiket Mandala “versi lama” yang stop operasi tahun lalu gue berencana hanya akan menghabiskan akhir pekan di KL saja.

Namun 2 hari sebelum berangkat gue berpikir mengapa tidak mengunjungi Melaka saja karena gue pikir KL biasa-biasa saja sebagai  kota metropolis mirip Jakarta dan gue sudah 3x menjelajahi kota ini.  Dari perhitungan jarak Melaka sangat dekat dari KL dan 2 hari cukuplah untuk menjelajahi kota ini. Akhirnya keputusan diambil...goes to Melaka...

Browsing singkat tentang Melaka melalui internet sudah cukup bagi gue sebagai panduan untuk menjelajahi kota ini selama 2 hari tanggal 24 dan 25 November 2012. Sengaja gue pilih penerbangan Mandala rute Kuala Lumpur paling pagi (07.35) agar waktu gue maksimal dalam menjelajahi Melaka.

Pukul 10.30 waktu KL gue mendarat dan langsung membeli tiket bis “Aerobus” di counter di loket dalam terminal kedatangan LCCT setelah menyelesaikan urusan imigrasi . Harga tiket RM 8 (sekitar Rp 24.800) sekali jalan menuju stasiun KL Sentral. Sayangnya ketika gue tiba di pangkalan bus di terminal kedatangan kapasitasnya sudah penuh sehingga gue harus menunggu jadwal kedatangan bus berikutnya.    

Biasanya untuk menuju pusat kota Kuala Lumpur gue menggunakan moda kereta api menuju KL Sentral namun kali ini gue menggunakan bus sekedar untuk perbandingan. Perjalanan menuju Stasiun KL Sentral ditempuh sekitar 1 jam lebih dan setibanya di KL Sentral gue baru menyadari kalau gue baru saja mengalami disorientasi rute.
 
Untuk menuju Melaka dapat ditempuh dengan naik bis melalui Terminal Bersepadu Selatan (TBS). Terminal ini letaknya di samping Stasiun Bandar Tasik Selatan. Dari Stasiun KL Sentral dapat menggunakan KTM (Kereta Tanah Melayu) dengan tarif RM 1 (sekitar Rp 3.100). Nah di sinilah letak disorientasi yang gue sebutkan sebelumnya.

Sebenarnya dari LCCT kalau menggunakan kereta menuju KL Sentral akan berhenti/melewati  Stasiun Bandar Tasik Selatan (tarif RM 10.8) dan bisa langsung menuju Terminal Bersepadu Selatan (TBS) tanpa harus ke KL Sentral lagi. Namun gue mengambil rute mubazir dengan mampir ke KL Sentral terlebih dahulu dengan bis dan melanjutkan ke Stasiun Bandar Tasik Selatan menggunakan kereta.

Memasuki areal gedung Terminal TBS ini membuat gue terperangah. Betapa tidak, terminal ini sangat bersih, rapi dan sejuk layaknya seperti bandar udara. Pembelian tiket dapat dilakukan melalui loket yang tersedia dengan antrian yang tertib. Papan pengumuman yang berisi informasi jadwal kedatangan dan keberangkatan bis pun tersedia dengan lengkap. Ah.....jangan dibandingkan dengan terminal yang ada di Indonesia khususnya Jakarta.
Lobi TBS yang kinclong bisa buat ngaca :)
Papan Informasi Kedatangan dan Keberangkatan

Gue suka  membeli tiket di loket TBS ini karena sifatnya konsorsium jadi loket ini melayani pembelian tiket semua operator bis yang beroperasi di TBS. Kita tinggal menyebutkan rute yang akan kita tuju dan layar komputer di hadapan kita akan menampilkan nama bus, jam berangkat serta tarif tiket. Layaknya buku menu, kita tinggal memilih sesuai dengan selera kita (baca : budget kita).
Antri di Loket Tiket
Mungkin karena akhir pekan, tiket bis jurusan Melaka banyak dicari oleh penumpang dan beberapa jam keberangkatan sudah penuh. Akhirnya gue mendapatkan tiket untuk keberangkatan jam 14.15 menggunakan operator Metrobus dengan tarif tiket RM 9 (sekitar Rp 27.900). Tarif RM 9 ini adalah yang termurah untuk jurusan Melaka yang harganya bervariasi hingga RM 12.5 (sekitar Rp 38.750) yang dilayani oleh beberapa operator bis.
Tiket Metrobus

Masih cukup waktu bagi gue untuk makan siang sambil menunggu keberangkatan bis pukul 14.15. Menyusuri bagian dalam terminal dan naik ke lantai 2 kita akan menemui beberapa restoran dan tinggal memilih makanan yang akan kita santap sesuai dengan budget.

Pandangan mata gue tertuju pada restoran Nasi Kandar TBS siang itu dan segera  memilih menu nasi briyani ayam dengan harga RM 7 (sekitar Rp 21.700). Dengan rasanya yang khas membuat nasi briyani ini sungguh nikmat menjadi teman santap gue siang itu.

Restoran Nasi Kandar
Nasi Briyani

Ruang tunggu di TBS inipun layaknya seperti ruang tunggu bandar udara dengan tempat duduk yang nyaman serta pintu keberangkatan yang tertata rapi. Keberangkatan bis pun sangat tepat waktu. Sepuluh (10) menit sebelum jam keberangkatan, melalui pengeras suara penumpang dipanggil untuk masuk ke dalam bis sesuai dengan nomor  platform yang telah ditentukan. Tepat pukul 14.15 bis pun melaju membelah kota Kuala Lumpur menuju Melaka. Ah...kapan Jakarta memiliki terminal serta sistem transportasi yang terpadu dan tepat waktu seperti ini.
Ruang Tunggu TBS yang Sangat Nyaman
Penampakan Metrobus

Gue sangat menikmati perjalanan ini sehingga 2 jam bukan menjadi waktu yang lama dan tak terasa bis tiba di kota Melaka dengan berhenti di Melaka Sentral yang merupakan bangunan terpadu antara terminal, pusat perbelanjaan, food court  serta pasar tradisional.

Terminal Melaka Sentral
Di bagian tengah bangunan Melaka Sentral terdapat sebuah counter berupa sebuah papan yang berisikan informasi mengenai tempat penginapan di Melaka lengkap dengan foto penginapan tersebut. Juga disediakan saluran telepon untuk menghubungi hotel yang bersangkutan. Jadi kita tinggal menyesuaikan dengan budget yang kita miliki dan melakukan pemesanan melalui telepon yang disediakan di situ.

Silahkan Booking Hotel dari Tempat ini

Gue sendiri tidak melakukan pemesanan penginapan melalui tempat tersebut karena tarifnya tidak sesuai dengan budget yang gue tetapkan. Tak ada pilihan lain terpaksa gue harus go show alias melakukan pemesanan kamar dengan mendatangi langsung tempat penginapan.

Segera gue melangkah keluar menuju sisi samping gedung Melaka Sentral tempat bis yang melayani rute dalam kota. Dari beberapa referensi disarankan untuk mengambil bis No.17 namun ketika gue menanyakan kepada petugas ternyata bis No.8 juga melalui kawasan yang akan gue tuju yaitu kawasan kota tua Melaka dengan gedung STADTHUYS nya. Tarif bis menuju ke sana RM 1.3 (Sekitar Rp 4.000) dan langsung dibayar kepada sopir pada saat naik. Tarif ditentukan dimana kita akan turun nantinya dan sang sopir akan bertanya lokasi kita turun. Jadi penentuan tarif berdasarkan jauh dekatnya jarak tujuan seperti mikrolet di Jakarta J. Jadi sebelum naik harus dipastikan kita tahu di mana akan turun nantinya.

Tapi jangan coba-coba untuk bertanya serta memberi tahu kepada sopir kalau kita akan turun di STADTHUYS karena mereka tidak mengerti. Akhirnya gue sodorkan gambar yang tertera pada buku panduan menjelajahi Malaysia dan ternyata mereka mengerti. Setelah di dalam bis selidik punya selidik ternyata kawasan kota tua Melaka dikenal dengan nama Bangunan Merah. Hm...pantas saja kalau sang sopir dan kenek tidak mengerti.

Dengan jarak yang tidak terlalu jauh bus memasuki kawasan kota tua Melaka. Begitu melalui Jalan Laksamana gue langsung teringat dengan suasana di Penang yang sarat dengan bangunan tua dan bersejarah. Di kiri kanan Jalan Laksamana masih nampak berdiri bangunan kuno yang dijadikan tempat makan, toko souvernir dll dan uniknya warna bangunan seragam yaitu merah bata.


Bangunan Kuno di Jalan Laksamana

Akhirnya gue tiba di alun-alun kawasan kota tua Melaka. Suasana siang itu sangat ramai karena di sini merupakan titik tempat berkumpulnya para wisatawan. Tapi gue belum akan menikmati suasana hiruk pikuk di situ dulu karena gue akan mencari hostel terlebih dahulu sebagai tempat gue menginap malam itu.

Dengan menyeberang jalan gue tiba di jalan Hang Jebat namun lebih populer dengan sebutan Jonker Street. Kawasan ini merupakan jantung dari kota Melaka karena di sinilah pusat kegiatan dan keramaian para turis. 
Jonker Street

Menyusuri hingga ujung  Jonker Street gue tiba di Jalan Tukang Emas (Goldsmith) untuk mencari Tang’s House calon hostel tempat gue menginap. Sayangnya hostel ini sudah penuh dan gue harus mencari hostel lain. Beruntung gue menemukan hostel lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari Tang’s House yaitu Hoya Jonker Guesthouse dan masih tersisa satu kamar single private.

Penginapan Hoya Jonker
Lobi Hostel

Salahnya gue terlalu percaya diri datang tanpa memesan kamar terlebih dahulu karena menurut informasi dari petugas Hoya Jonker biasanya tingkat hunian hostel maupun hotel di Melaka saat akhir pekan melonjak dan seiring dengan tingkat hunian yang melonjak harganya pun menjadi naik. Nasib baik masih menyertai gue masih mendapatkan kamar dengan harga per malam RM 35 (sekitar 108.500) di akhir pekan. Harga pada hari biasa hanya RM 30 (Rp 93.000).

Kamar yang gue tempati berupa private room dengan single bed. Sebuah kamar yang sederhana namun bersih dan cukup nyaman. Sebuah fan disediakan di dalam kamar dan yang paling penting adalah fasilitas WiFi yang sangat kencang. Kamar mandi terletak di luar kamar dan dipergunakan secara sharing dengan tamu lain.
Penampakan Kamar

Sore hari saat yang tepat untuk nongkrong, merasakan spirit serta menyaksikan pola tingkah laku para turis di alun-alun  STADTHUYS atau dikenal juga dengan sebutan “Dutch Square”.  Dari hasil penelusuran ternyata Stadthuys ini merupakan sebuah gedung atau bangunan tua yang letaknya berhadapan persis dengan alun-alun dan gedung ini bekas kediaman resmi Gubernur Belanda. Saat ini gedung tersebut dijadikan Museum Sejarah, Etnografi dan Sastra Melaka.
Dutch Square dengan latar Stadthuys

Oh ya Melaka bersama Penang ditetapkan sebagai World Heritage City oleh UNESCO pada tahun 2008 sehingga tidak heran banyak bangunan tua dan bersejarah di tempat ini. Dan berada di alun-alun ini serasa sedang berada di Eropa. Di depan alun-alun masih berdiri tegak Christ Church Melaka yang dibangun pada tahun 1753 pada masa Belanda menguasai Melaka. Entah mengapa warna bangunan di kawasan kota tua ini semuanya berwarna merah sebuah pertanyaan yang masih membuat gue penasaran.
Christ Church Melaka di Sore Hari

Menyusuri seputar alun-alun Stadthuys kita akan menjumpai becak hias berwarna-warni yang berjejer menunggu penumpang yang pada umumnya turis asing untuk mengelilingi kawasan kota tua Melaka. Becak ini didesain sedemikian rupa dengan bentuk dan warna yang menarik sangat eye-catching serta dilengkapi speaker yang memainkan musik yang berdentum. Saat gue lewat beberapa lagu Indonesia mengalun dari becak wisata ini seperti “Aku yang Tersakiti”-nya Judika, lagunya grup Ungu dan lagu-lagu Indonesia lainnya. Serta tak ketinggalan lagu Gangnam Style yang sedang nge-hits ikut menggelegar dari becak wisata tersebut.
Becak Eksotis

Memang lagu-lagu Indonesia merajai pasar Malaysia.  Saat naik bis dari TBS KL menuju Melaka lagu-lagu lawas Indonesia pun mengalun seperti “Ini Rindu” yang dipopulerkan oleh Farid Hardja bersama Hetty Koes Endang. Demikian pula ketika bus yang gue tumpangi dari Melaka Sentral menuju alun-alun Stadthuys lagu milik band Radja mengalun dengan lantangnya.

Namun untuk naik becak ini untuk dibawa berkeliling kota tarifnya tidak murah. Untuk 1 jam perjalanan dikenakan biaya sebesar RM 40 (sekitar Rp 124.000). Dan sudah pasti gue tidak berminat untuk menaiki becak ini hehehe.
Mau Coba?

Pengaruh Portugis dan Belanda yang pernah berkuasa di Melaka membawa pengaruh pada kehidupan beragama di sini. Tak pelak penyebaran agama kristiani menjadi misi mereka pula di Melaka sehingga tidak heran di Melaka banyak peninggalan gereja dengan usia tua ratusan tahun yang bertebaran di seantero Melaka.

Selain Christ Church Melaka, gue juga mampir ke Church of St. Francis Xavier sebuah gereja Khatolik yang letaknya di ujung jalan Laksamana. Gereja ini dibangun tahun 1849. Namun sayangnya pada saat gue tiba, di dalam gereja sedang dilaksanakan ibadah pada sabtu sore itu sehingga gue tidak dapat masuk untuk melongok isi dalamnya.
Church of St Francis Xavier

Hanya beberapa meter dari Stadthuys dengan berjalan kaki kita akan tiba di St. Paul Hill yaitu sebuah bukit kecil yang di atas nya terdapat reruntuhan bekas gereja St. Paul. Gereja Khatolik ini dibangun pada tahun 1521 yaitu saat Portugis berkuasa di Melaka. Saat ini kita masih dapat menyaksikan sisa-sisa reruntuhan berupa tembok gereja dan bekas makam seorang imam khatolik di tengah gereja (yang gue gak tahu namanya karena tidak ada keterangan yang tertera). Berada di ketinggian St. Paul Hill di saat senja benar-benar pengalaman yang mengesankan sembari menyaksikan hamparan kota Melaka di kaki bukit. 
Pintu Masuk Menuju St. Paul Hill
Reruntuhan Gereja St. Paul
Suasana Dalam Reruntuhan Gereja St. Paul

Begitu senja menyergap kota Melaka, suasana Jonker Street yang dilewati oleh Sungai Melaka mulai bergairah dan menampakkan geliatnya. Dan saat senja merupakan waktu yang tepat pula untuk berjalan santai menyusuri Sungai Melaka yang membelah kota Melaka. Broadwalk yang disediakan di sisi sungai benar-benar memanjakan para pejalan kaki dan selain itu juga disediakan pula tempat duduk  di sepanjang sungai untuk bersantai.

Broadwalk Sepanjang Melaka River

Atraksi yang tidak boleh dilewatkan yaitu Melaka River Cruise yaitu berlayar membelah Sungai Melaka dengan perahu.  Pemerintah Melaka benar-benar menjaga, memelihara dan mengelola sungai ini dengan baik sehingga dijual menjadi atraksi wisata yang menarik.

Sebenarnya Melaka River ini mirip-mirip dengan Kali Ciliwung di Jakarta dan sungainya pun tidak terlalu panjang. Yang membedakannya adalah sungai ini bersih dan di sepanjang sisi kiri dan kanan sungai bertebaran hotel-hotel dan kafe sehingga menyajikan nuansa yang menarik saat berlayar di Sungai Melaka.

Dengan membeli tiket seharga RM 15 ( sekitar Rp 46.500) di kounter yang letaknya di ujung broadwalk petualangan menyusuri Melaka River pun dimulai. Karena saat itu hari Sabtu dan biasanya di akhir pekan pengunjung membludak sehingga butuh antrian beberapa saat sebelum menaiki perahu.
Ticket Counter


Perahu yang gue naiki ukurannya sedang dengan kapasitas 20-30 orang. Lama perjalanan ditempuh  sekitar 45 menit pulang pergi. Sembari kapal melaju membelah Sungai Melaka, melalui pengeras suara kita akan diberikan informasi dalam Bahasa Melayu dan Inggris informasi tentang Sungai Melaka ini dan objek-objek yang dilalui sepanjang sungai.
Perahu Melaju Membelah Sungai

Sungguh cantik pemandangan di sisi kiri kanan Sungai Melaka di malam hari. Lampu hias warna warni yang dipasang di setiap jembatan penghubung sungai serta lukisan mural yang terpampang pada beberapa bangunan sepanjang sungai benar-benar memanjakan mata para wisatawan. Belum lagi bangunan tua yang dijadikan hotel serta kafe di sepanjang sungai.....ah sungguh romantis suasananya.
Suasana Kafe di Pinggir Sungai

Kembali ke kawasan Jonker Street suasana sudah sangat ramai. Oh ya di Jonker Street ini setiap malam di akhir pekan (Jumat s/d Minggu) diadakan night bazaar. Sepanjang jalan ini ditutup untuk semua kendaraan dan dikhususkan buat para pedagang yang menggelar dagangan mereka. 
Suasana Jonker Street di Malam Hari
   
Gue sangat senang dengan kegiatan night bazaar seperti ini yang juga pernah gue jumpai di negara lain seperti Vietnam dan Kamboja. Di ajang night bazaar ini gue berbaur dengan warga lokal menikmati aktivitas di pasar malam sambil melihat-lihat barang yang dijual walau terkadang gue tidak membeli sama sekali. Namun ada satu momen yang tidak pernah gue lewatkan yaitu memburu kuliner yang dijual pada acara tersebut.

Tiba-tiba mata gue tertuju pada penjual makanan yang menjual potato stick yaitu kentang yang diiris tipis-tipis dan ditusuk pada sebuah lidi mirip dengan sate kemudian dibakar. Selesai dibakar kita dapat memilih bumbu yang ditaburkan pada potato stick tersebut dengan pilihan original, chili powder, barbeque, black pepper, cheese powder dan mayonaise. Dengan harga per tusuknya RM 3 (sekitar Rp 9.300) potato stick ini sangat yummy
Potato Stick

Bergeser beberapa langkah gue menjumpai pedagang yang menjual berbagai rebusan yang dicelup dalam air mendidih. Sama halnya di Jakarta, pilihan yang tersedia beragam mulai dari bakso ikan, bakso daging, daging ikan, kepiting, cumi dll dengan pilihan saus yang juga beragam.  Harganya ditandai dengan warna yang ditorehkan pada pangkal lidi. Beda warna beda harga tentunya. Untuk 3 item yang gue ambil ditebus dengan RM 9 (sekitar Rp 27.900).


Masih kurang puas? Gue beralih ke penjual makanan  lain sembari melirik suvernir-suvernir lucu yang dipajang di pinggir jalan. Pilihan gue jatuh kepada Radish Cake yaitu lobak putih namun teksturnya sangat lembut yang ditumis dengan saus bumbu lada hitam. Rasanya ? menurut gue agak sedikit aneh namun tersamar dengan saus bumbu lada hitamnya.


Menutup rangkaian kuliner di night bazaar ini, gue masuk ke salah satu restoran yang menjual menu khusus khas Melaka yaitu Chicken Rice Balls yaitu nasi yang dibentuk bulat-bulat menyerupai bakso dengan tekstur nasi yang padat dan dikombinasikan dengan ayam rebus. Namun sayangnya malam itu ayam rebus sudah habis sehingga sang pemilik restoran menawarkan kepada gue alternatif berupa ayam kari yang langsung gue iyakan tanpa berpikir panjang lagi. Ternyata rasa ayam kari yang dimakan bersama rice balls itu sangat enak rasanya. Rasa kari yang gurih dan pas dengan bau yang tidak menyengat sungguh membangkitkan selera makan gue malam itu.
Curry Chicken Rice Balls

Saat perjalanan kembali ke hostel gue melewati jejeran penjual dimsum yang seolah-olah melambaikan tangannya memanggil gue untuk mampir.  Hati untuk tergoda untuk mampir namun apa daya kapasitas perut sudah maksimal sehingga dengan angkuhnya gue memalingkan wajah gue dari penjual dimsum tersebut.
 
Bersambung..............

12 comments:

  1. 1. Waiting room tbs lebih mewah dari pada waiting room bandara polonia medan *sedih*
    2. Melaka kayaknya lebih cocok dpt sebutan the red city.
    3. Rasa potato stick gimana mas? Apa sama aja kayak cemilan di indonesia gitu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha waiting room Polonia emang tragis deh udah gak layak lagi disebut bandara :)
      Bener...di mana-mana hampir sebagian besar bangunan di Melaka semuanya berwarna merah.
      Rasa Potato Stick sendiri gurih tapi tidak terlalu crunchy karena dibakarnya tidak sampai maksimal jd pas dimakan kentangnya agak terasa lembek gitu.

      Delete
    2. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
    3. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  2. bener-bener banyak membantu nih :) rencana aku mau solo trip ke melaca setelah puas berjelajah KL bulan kemarin
    thanks yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Melaka benar-benar layak untuk dikunjungi. Selamat merasakan spirit Melaka yang eksotis dan semoga enjoy di sana nanti :) Semoga membantu dan terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Salam.

      Delete
  3. Mana-mana bangunan yang berwarna merah itu adalah dibina oleh penjajah belanda. Ketika ia dibina sememangnya warna asal bngunan tu adalah berwarna merah. Jadi kita boleh tahu dengan mudah bahawa mana-mana bangunan yg berwarna merah adalah didirikan oleh penjajah Belanda.

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. huaaahhhh.....thanks bray *jadii merah muka gue* :) makaih dah berkunjung yee...

      Delete
  5. Blog yang sangat bagus, detil, dan sangat membantu. Setelah membaca blog ini, tahun depan kami sekeluarga berencana mengunjungi Melaka. Terima kasih sudah bersusah payah menulis dan berbagi. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda. Salam hangat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkunjung. Semoga informasinya membantu dan bermanfaat. Selamat menjelajahi dan menikmati Melaka.

      Delete