Wednesday, October 24, 2012

SOLO Part 1 : Mereka Menyebutnya The Spirit of Java



Udara panas terik menyengat seakan membakar kulit di siang hari itu tanggal 21 September 2012 sesaat setelah mobil jemputan dari hotel keluar area Bandara Adi Sumarmo Solo. Tujuan gue saat itu yaitu Fave Hotel di Jalan Adi Sucipto Solo.


Akhirnya trip ke Solo yang tertunda nyaris selama satu tahun lantaran maskapai penerbangan Mandala harus mengakhiri operasionalnya tahun lalu, terealisasi juga. Dan kali ini Garuda Indonesia menggantikan posisi Mandala untuk mengantar gue tiba di Solo. Beruntung gue mendapatkan tiket promo Garuda CGK-SOC yang sangat murah seharga Rp...... dan tiket kembali SOC-CGK gue peroleh secara gratis dengan menukar point GFF (Garuda Frequent Flyer).

Sekitar 20 menit kemudian akhirnya mobil Kijang Innova tiba di hotel. Untuk penjemputan ini tidak dikenakan biaya sama sekali karena merupakan bagian dari pelayanan hotel kepada para tamu. Terkesan dengan Fave Hotel yang pernah gue gunakan saat di Surabaya, maka gue menggunakan Fave Hotel kembali saat trip ke Solo kali ini. Untuk pesanan via online harga yang dikenakan sebesar Rp 263.500/malam (nett) namun harga ini tanpa sarapan pagi karena gue sengaja memilih tidak sarapan pagi di hotel dan berencana akan kuliner di luar hotel.
Lobby Hotel Semarak Berwarna Warni
Kamar yang gue tempati sangat nyaman sekali dan fasilitasnya pun sangat lengkap untuk ukuran harga seperti itu. AC yang sangat sejuk, WIFI di dalam kamar yang kencang, 2 botol air mineral setiap hari di kamar, TV Flat dengan saluran televisi kabel, kotak Safe Deposit Box , peralatan toiletris yang lengkap, semuanya memanjakan gue untuk tinggal di kamar hotel tersebut.
Tempat Tidur yang Nyaman
Toilet yang Bersih
Urusan check in selesai, gue langsung turun dan keluar area hotel. Mata gue tertuju pada seorang bapak tua yang sedang duduk di dalam becaknya. Gue bersemangat untuk menaiki becak yang sudah bertahun-tahun tidak pernah gue rasakan lagi. Mengelilingi Kota Solo dengan becak seakan membangkitkan kembali kenangan akan transportasi tradisional yang sudah “musnah” dari Jakarta sejak beberapa puluh tahun yang lalu.

Setelah tawar menawar diakhiri dengan kesepakatan harga Rp 20rb untuk mengantar gue menuju Pasar Gede. Sang bapak tua dengan tenaganya yang sudah ringkih menggenjot becaknya secara perlahan menuju Jl. Urip Sumoharjo tempat Pasar Gede berada. Terbersit dalam pikiran rasa iba terhadap sang bapak tua dalam usianya yang senja masih mengayuh becak menyusuri jalan.

“Sudah tiba mas”. Sapan sang bapak menghentikan lamunan gue. Dan Pasar Gede sudah di depan mata berdiri dengan megahnya. Segera gue melompat dari becak dan membayar ongkos dengan memberi sedikit tambahan kepada sang bapak tua sebagai tanda simpati.
Pasar Gede Solo
Pasar Gede nama lengkapnya Pasar Gede Harjonagoro merupakan pasar tradisional dan terbesar di Kota Solo yang dibangun pada jaman kolonial Belanda tahun 1930 sehingga tidak heran bentuk bangunannya khas bangunan lama dengan atap yang besar (sumber : Wikipedia)

Pasar ini menjual berbagai buah, sayur-sayuran, bunga dan jajanan khas Solo. Gue melintas sejenak di dalam pasar untuk menuju ke area di belakang pasar dengan sasaran : Warung Timlo Sastro. Saatnya menikmati kuliner Solo di siang yang panas ini dan pilihan Menu Timlo  sangat tepat rasanya.
Warung Timlo Sastro Nampak Muka
Timlo Sastro berlokasi di Pasar Gede Timur No.1-2 Balong dan hanya buka sampai pukul 15.30 sore sedangkan cabangnya yang terletak di Jln. Dr Wahidin buka sampai pukul 22.00 malam. Timlo merupakan kuliner khas Solo yang berupa makanan berkuah mirip sop/soto namun kuahnya bening dan rasanya gurih dengan isinya berupa potongan daging ayam, martabak goreng mirip risoles (disebut sebagai sosis Solo) serta tambahan berupa “isi dalam” ayam seperti hati, ampela, usus dll serta semur telur bebek yang berwarna kecoklatan.
Tim Lo yang Sungguh Menggoda
Timlo Sastro ini sudah melegenda dan telah ada sejak tahun 1952 sehingga tidak heran pada saat jam makan tempat ini nyaris penuh dengan antrian pengunjung. Seporsi Timlo komplet + nasi putih+es karamel  dikenakan harga Rp 23rb. Hm....harga yang cukup murah namun dengan citra rasa yang maksimal.

Kembali kaki melangkah memasuki Pasar Gede dan mata tertuju pada satu kios ibu H. Siswo yang menjual jajanan/makanan kecil. Namun gue berhasrat untuk mencoba es dawet telasih khas Solo di tengah panasnya udara siang itu.
Kedai Ibu Hj. Siswo
Semangkuk es dawet yang isinya berupa cendol, ketan hitam, tepung beras, buah nangka dengan kuah santan dan gula merah cair beserta es batu yang menyegarkan dibandrol dengan  harga Rp 3rb. Harus diakui memang kuliner di Solo sangat kaya akan variasi dengan harga yang relatif murah dan sangat terjangkau namun dengan rasa yang bikin lidah ketagihan.
Sluurrrp....Segarrrr..
Mumpung berada di Kota Solo, gue akan mewujudkan keinginan gue untuk mendatangi Situs Purbakala Sangiran yang terletak di Kabupaten Sragen atau terletak 18 KM dari kota Solo. Dengan mengendarai becak gue menuju Terminal Bus Tirtonadi dan membayar  Rp 20rb. Awalnya dari Terminal bus Tirtonadi gue akan menumpang bus umum menuju Kabupaten Sragen, lokas Situs Purbakala Sangiran berada, namun gue  batalkan rencana itu karena bus umum menuju Kabupaten Sragen tidak melewati lokasi Situs Purbakala sehingga gue  harus masuk lagi ke dalam dengan berjalan kaki yang jaraknya  masih lumayan jauh.

Akhirnya gue memilih opsi untuk naik ojek dari Terminal Bus Tirtonadi langsung menuju lokasi Situs Purbakala Sangiran. Setelah tawar menawar, gue dan tukang ojek sepakat pada harga Rp 80rb untuk diantar ke Sangiran dan ditunggu sampai selesai untuk dibawa kembali ke kota Solo.

Perjalanan ke Situs Sangiran membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan mengendarai ojek. Dan setiba di Sangiran gue langsung menuju Museum Fosil Sangiran yang letaknya tidak jauh dari lokasi situs. Harga tiket masuk museum Rp 5rb.

Museum Fosil Sangiran merupakan museum arkeologi yang dibangun di atas bukit dan bangunannya berbentuk Joglo. Letak museum ini sendiri berdekatan dengan situs purbakala Sangiran yang merupakan tempat penemuan fosil manusia purbakala Sangiran. Situs Purbakala Sangiran sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 1996 dengan luas areal situs mencapai 56 KM2.
Museum Fosil Sangiran
Koleksi museum ini terdiri dari fosil manusia (Pithecanthropus Erectus, Australopithecus Africanus, Pithecanthropus Modjokertensis, Pithecanthropus Soloensis, Homo Neanderthal Eropa, Homo Neanderthal Asia, dan Homo Sapiens), Fosil hewan purba yang bertulang belakang (gajah, kerbau, harimau, badak, babi, banteng dan rusa) serta fosil hewan air (buaya, ikan, kepiting, kuda nil, kura-kura dll). Juga terdapat fosil tumbuh-tumbuhan dan bebatuan serta alat-alat batu.

Belajar Sejarah

Beginikah Asal Muasal Kita?
Di dalam Museum Fosil Sangiran terdapat 3 ruang diorama yang menceritakan tentang sejarah dan asal muasal terbentuknya bumi dipandang dari sisi ilmu pengetahuan serta pola kehidupan manusia purba yang hidup pada jaman tersebut.
Kehidupan Manusia Purba
Secara pribadi gue sangat suka dengan museum ini karena sangat bagus dengan koleksi dan infromasinya yang sangat lengkap sehingga dapat membuka khasanah serta wawasan akan sejarah dan peristiwa yang terjadi di negeri ini.

Dari museum, dengan menggunakan ojek gue beranjak menuju menara pandang yang jaraknya tidak begitu jauh dari museum. Dari menara pandang ini kita dapat melihat Situs Sangiran dari ketinggian.
Situs Purbakala Sangiran dari Menara Pandang
Sore hari saat yang tepat untuk menikmati denyut Kota Solo setelah panas yang menyengat itu sirna. Menyusuri jalan-jalan di kota Solo dengan menyaksikan aktivitas dan geliat warga yang masih tersisa seolah menawarkan suatu pengalaman yang berbeda.

Melewati Jalan Ronggowarsito di daerah Keprabon, mata gue tertuju pada sebuah kios dengan spanduknya yang bertuliskan “BAKSO GARASI”. Hm.....tempat ini sangat menantang untuk didatangi apalagi dengan kondisi perut yang  sedang lapar. Dalam hitungan sekejab semangkuk bakso panas sudah tersaji di meja setelah dipesan beberapa menit yang lalu. Apa karena perut gue yang sedang lapar, bakso ini sangat enak. Namun entahlah yang penting  semangkuk bakso ini telah mewarnai sore gue sembari menikmati Kota Solo yang damai. Tentunya setelah membayar Rp 15rb untuk semangkuk bakso dan es jeruk serta kerupuk.
Nge-Bakso yuuk...
Gue arahkan kakiku untuk menyusuri Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama dan terpanjang di Kota Solo. Dengan trotoarnya yang lebar dan rapi  memanjakan para pejalan kaki sambil sesekali berhenti untuk beristirahat sejenak.
Trotoar yang Sangat Nyaman
Perlahan senja menyergap Kota Solo dan malam segera menggantikan senja. Namun geliat Kota Solo belum berhenti dan baru saja memulai denyutnya. Langkah kaki gue terhenti di Taman Sriwedari yang merupakan pusat hiburan, seni dan budaya di Kota Solo. Taman ini telah ada sejak tahun 1900.
Taman Sriwedari yang Menyimpan Sejarah Panjang
Di dalam komplek Taman Sriwedari terdapat gedung wayang orang Sriwedari. Di tempat inilah setiap malam diadakan seni pertunjukan daerah wayang orang yang menyajikan cerita wayang berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata. Rencana untuk menonton pertunjukan malam itu dengan lakon “Sakuntala” akhirnya gagal karena pertunjukan baru dimulai pukul 8 malam dan gue kelamaan menunggu sampai pukul 8.

Gedung Wayang Orang Sriwedari
Akhirnya pilihan gue jatuh kepada kuliner  malam. Target kuliner gue malam ini yaitu Nasi Liwet Solo yang berlokasi di Warung Lemu Wongso  Jalan Teuku Umar Keprabon.

Di Sepanjang Jalan Teuku Umar ini terdapat beberapa penjual nasi liwet dan pada umumnya buka pada sore hingga malam hari. Namun gue sempat dibuat bingung karena Warung Nasi Liwet Lemu  Wongso terdapat di 2 tempat berbeda dan lokasinya berdekatan. Semuanya mencantumkan kata “asli” pada spanduknya.
Warung Nasi Liwet itu
Yah sudahlah daripada bingung, gue pilih salah satu yang pengunjungnya lebih ramai. Dengan konsep duduk secara  lesehan gue segera memesan nasi liwet kepada ibu penjual. Dalam sekejab pesanan gue sudah datang dan segera gue santap nasi liwet yang rasanya sangat khas sekali.

Nasi yang disiram kuah santan dilengkapi dengan ayam rebus yang disuwir serta telur rebus kecoklatan. Kriuk kerupuk yang garing ikut menemani Nasi Liwet malam itu. Semangkuk ronde dengan rasa jahe yang hangat menyempurnakan kuliner gue malam itu dengan total harga yang gue bayar sebesar Rp 22rb. Sangat sebanding dengan kepuasan serta kelezatan Nasi Liwet yang sudah tersohor ini.
Sekali Makan langsung "nagih"
Sebelum pulang gue sempatkan mampir ke Solo Grand Mall untuk melihat aktivitas di situ dan akhirnya tiba di hotel untuk meluruskan kaki beristirahat di kamar yang nyaman ini.

***************

Pagi sudah menjelang dan saatnya memulai kuliner pagi. Gue sengaja untuk tidak sarapan pagi di hotel karena benar-benar ingin merasakan kuliner pagi hari di luar hotel. Seperti pada umumnya kota-kota di Jawa, menikmati soto di pagi hari adalah hal yang lazim.

Kali ini gue memilih Soto Triwindu di Jalan Teuku Umar yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan Nasi Liwet Lemu Wongso yang gue datangi semalam. Soto Triwindu ini hanya buka pada pagi hingga siang hari sehingga tidak heran pengunjung di pagi hari ini sangat ramai.
Monggo Pinarak
Terdapat pilihan menu soto ayam dan soto daging. Dan gue sendiri memilih soto daging dengan me-request tambahan babat. Terdapat beberapa menu tambahan lain yang tersedia di meja dan bisa langsung diambil kalau suka seperti sate telur burung puyuh, perkedel, tempe dll. 
Apa gak Ngeces loe....???
Begitu suapan pertama masuk mulut dan kuah soto melewati kerongkongan gue langsung terasa kelezatan soto ini. Dengan aroma khas serta daging yang empuk menjadikan soto ini juara di kelasnya. Berapa harga yang harus gue bayar? Rp 22rb mahal? Tentu tidak karena

Seakan tiada mau berhenti, gue lanjutkan kembali penjelajahan di Kota Solo pada pagi itu dengan mengunjungi Museum Radya Pustaka yang terletak di Jalan Slamet Riyadi. Karena gue tiba pada pagi hari sekitar pukul 09.00 suasana museum masih terasa sepi.
Museum Tertua di Indonesia
Harga tiket masuk Rp 5b dan ijin kamera untuk menghambil foto Rp 2.500 untuk wisatawan domestik.  Gue baru tahu ternyata Museum Radya Pustaka ini adalah museum tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1890 pada masa pemerintahan Pakubuwono IX di dalam area Kepatihan.  Baru pada tahun 1913 museum dipindahkan ke lokasinya sekarang berada (sumber : Wikipedia).
Museum Tertua di Indonesia

Museum ini dari segi ukuran tidak terlalu luas namun menyimpan berbagai macam koleksi. Tampak di halaman depan museum terdapat meriam kecil peninggalan VOC abad 17-18. Memasuki area dalam museum terdapat koleksi wayang kulit dan wayang beber dalam berbagai ukuran yang disimpan dalam lemari kaca.
Koleksi Wayang Kulit dan Wayang Beber
Koleksi Patung Hindu dan Budha
Museum ini juga memiliki sejumlah koleksi lain yang terdiri dari arca/patung Budha dan Hindu, senjata keris dan tombak, gamelan, keramik. Juga terdapat perpustakaan di dalam museum yang memiliki koleksi sejumlah buku-buku dan naskah kuno, bahkan ada naskah kuno peninggalan dari jaman Pakubuwono IV.
Koleksi Keris
Koleksi Gamelan Tapi Beracun?
Perpustakaan di dalam Museum

Di bagian dalam museum terdapat replika dalam bentuk miniatur Mesjid Agung Demak dan komplek pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.
Miniatur  Mesjid Agung Demak
.
Tahun 2007 museum ini dihebohkan dengan terjadinya peristiwa pencurian beberapa koleksi museum berupa patung/arca yang dilakukan oleh oknum/orang dalam museum dan benda-benda tersebut dijual kepada kolektor. Patung/arca yang dicuri dari dalam museum diganti dengan arca palsu. Sungguh miris dan sangat disayangkan peristiwa tersebut bisa terjadi. Semoga kejadian tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang sehingga koleksi museum dapat dijaga keutuhan serta keasliannya.

Dalam perjalanan kembali ke hotel gue mampir sejenak ke salah satu mall lain di Kota Solo yaitu Mall Paragon yang terletak di Jalan Yosodipuro. Mall ini cukup bagus dan yang gue suka dai mall ini yaitu di bagian sampingnya berderet berbagai cafe dan restoran, tempat yang cocok untuk nongkrong.

Kesempatan berada di Solo gue pergunakan sekalian untuk bertemu dengan seorang sahabat sesama backpacker yang gue kenal melalui media Twitter. Joss, demikian nama yang biasa gue sapa (@GeorgeGuling) sebenarnya berdomisili di Jogja, namun jarak Solo-Joga yang hanya 1.5 jam perjalanan darat membuatnya tidak berkeberatan untuk datang dan menemui gue di Solo sekaligus kami menjelajah kota Solo bersama-sama.

Pukul 12.00 an ditemani Andre, saudara Joss yang datang bersama-sama dari Jogja mereka tiba di Fave Hotel sebagai meeting point kami. Tanpa berpikir panjang gue langsung mengajak mereka untuk kuliner bersama di siang itu dengan tujuan RM Kusuma Sari di Jalan Yos Sudarso. Di RM kami memesan  Selat Solo yang juga merupakan makanan khas Solo.
Bersama Joss dari Jogja
Selat Solo merupakan kuliner khas Solo yang terdiri dari irisan daging dengan perpaduan rasa gurih, manis dan sedikit asam dengan sedikit kuah yang encer. Irisan daging ini ditemani dengan rebusan sayur buncis, wortel, kentang, telur, kacang polong, irisan tomat, daun selada, timun serta mayonaise yang kesemuanya dicampur menjadi satu.
Selat Solo
Hm.....bertemu dengan orang yang memiliki hobi dan kesamaan dengan kita membuat suasana menjadi cair. Obrolan dan pengalaman seru di dunia traveling menjadkan kami seolah 2 orang sahabat yang sudah sering bertemu padahal baru kali ini kami bertemu satu dengan yang lain hehehehe.

Tak lama kemudian spot kami sudah berpindah ke Keraton Kasunanan Solo. Sayangnya saat kami tiba waktu berkunjung ke Keraton Kasunanan ini tinggal 30 menit lagi dan pukul 15.00 keraton akan segera tutup. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 10rb/orang dengan tergesa-gesa kami meluncur ke dalam komplek keraton yang jaraknya lumayan jauh dari gerbang utama.

Tiba di halaman keraton, pengunjung diharuskan untuk melepaskan alas kaki dan berjalan melalui jalan yang berpasir (dan panas) dan dikelilingi dengan rimbunnya puluhan batang pohon Sawo Kecik. Sempat bergabung dengan rombongan lain yang dipandu oleh seorang pemandu wisata menjelaskan sejarah Keraton Kasunanan. Namun penjelasannya menggunakan Bahasa Jawa sehingga mau tidak mau gue mati gaya pada saat itu karena tidak mengerti.
Maaf..Saya tidak Mengerti :(
Sayangnya pengunjung tidak diperkenankan untuk memasuki bagian dalam dari Keraton Kasunanan Solo ini melainkan hanya sampai batas halaman saja sehingga kami tidak dapat  melihat apa isi bagian dalam keraton.
Bagian Dalam Keraton yang Tidak Boleh Dimasuki
Akhirnya kami hanya bisa melihat koleksi di bagian luar keraton dalam ruangan yang bentuknya memutar secara sekilas saja.

Bersambung..............

7 comments:

  1. Tahun depan! Gue akan ngubek2 solo sama backpack gue, kak! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener loh....kan janjinya udah dicatat malaikat di surga :)

      Delete
    2. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  2. Terimakasih sudah mengunjungi bakso Garasi dan menulisnya secara apik. Kami nantikan kedatangannya kembali. Terimakasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih kembali Pak. Tentu saya akan kembali jika ada kesempatan mengunjungi Solo kembali :)

      Delete
    2. Bakso Garasi buka cabang di Nusa Dua Bali Pak. Jl.Siligita Nusa Dua persis di seberang minimart super99 or sebelumnya Aisis Spa. Ditunggu kedatangnnya. Terimakasih

      Delete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete