Saturday, October 22, 2011

Eksotisme Negeri Gajah Putih........


Percakapan yang tak terduga terjadi di dalam bus Trans Jakarta sepulang kami karaoke bersama sesama rekan satu kantor di NAV Belezza Permata Hijau  bulan  Juli 2009. “Ayo....kapan kita jalan bareng nih ke luar negeri?” dan disambut oleh teman yang lain “ayo...kapan nih?”. Tak disangka ajakan ini mendapat gayung bersambut dari teman-teman yang lain. Ketika akan menentukan destinasi yang akan dituju, kami sempat diperhadapkan dengan 2 pilihan negara yaitu : Vietnam dan Thailand. Akhirnya semuanya sepakat untuk memilih Thailand. Sebanyak 4 orang (termasuk gue, 2 cowok dan 2 cewek) yang akan melakukan traveling kali ini dan setelah berunding, kami sepakat untuk memilih bulan Oktober 2009 untuk kami melakukan perjalanan ke Thailand.


Mulailah kami hunting tiket di beberapa airlines. Karena jarak keberangkatan yang tergolong sudah “dekat” (3 bln), maka kami sudah tidak mendapatkan harga tiket promo lagi dan terpaksa membeli harga tiket yang agak sedikit lebih mahal. Setelah membandingkan harga beberapa airlines, maka kami memutuskan untuk menggunakan Garuda Indonesia (GA) karena ternyata sedikit lebih “murah” dibandingkan dengan yang lain yaitu sekitar USD 200.
 

Segala persiapan kami lakukan untuk melakukan perjalanan selama 6 hari 5 malam ini, mulai dari mengajukan cuti kepada atasan masing-masing, awalnya sempat deg-degan juga  apakah cuti kami akan disetujui karena 3 diantara kami berada pada 1 departemen yang sama dan akan mengajukan cuti secara bersamaan. Tapi puji Tuhan akhirnya semua cuti kami disetujui. Kemudian booking hotel, menyusun itinerary selama berada di Thailand dan lain sebagainya. Semua kami lakukan secara bersama-sama dan ada pula yang sendiri-sendiri. Beberapa meeting kecil kami lakukan untuk mengkonsolidasikan semua persiapan yang benar-benar kami lakukan secara matang.

Hari 1 :

20 Oktober 2009 akhirnya kami berangkat melalui Terminal 2E internasional Bandara Soekarno Hatta dengan GA 866 pukul 10.30. Sebelum boarding kami menunggu di airport lounge dan menikmati makan minum gratis dulu sebelum terbang. Sengaja kami tidak sarapan dulu dari rumah agar dapat memanfaatkan airport lounge secara maksimal hehehe. Terus terang inilah saat-saat yang menyenangkan setiap kali terbang melakukan traveling yaitu menunggu di airport lounge sebelum boarding.


Pesawat berangkat tepat waktu dengan load factor sekitar 80%. Di pesawat kami kembali disajikan makanan sebagai bagian dari pelayanan mereka. Inilah enaknya kalau menggunakan full service airlines apalagi untuk rute internasional dijamin gak bakal kelaparan. Namun sesuai dengan hukum ekonomi you get what you pay tentu saja biaya yang kita keluarkan sedikit lebih mahal dibandingkan dengan budget airlines. Namun karena  sudah kenyang saat makan di airport lounge, kami tidak terlalu antusias dengan makanan yang disajikan, namun karena gak mau rugi ya tetap saja makanan tersebut kami santap hehehe dan minuman wine juga tidak kami lewatkan untuk direquest kepada awak kabin karena wine hanya tersedia untuk rute internasional.

Ada pengalaman yang cukup menggelikan terjadi di pesawat saat penyajian makanan selesai dilakukan oleh awak kabin dan mereka siap-siap untuk membereskan kembali peralatan makan yang telah digunakan, beberapa teman gue (dan gue juga) melakukan “aksi tilep” peralatan makan seperti sendok, garpu dan pisau makan. Dengan bentuk yang menarik, peralatan makan tersebut mengundang hasrat kami untuk megambilnya sebagai “suvernir” hihihihi. Nah....gue dan temen gue yang cowok melakukannya dengan cerdas dan bijak hanya mengambil beberapa item yang kecil saja dan gampang untuk dimasukkan ke dalam tas kecil. Namun temen gue yang cewek melakukannya dengan tidak cerdas dan sembrono yaitu tidak hanya item kecil saja yang diembat melainkan item yang gede-gede juga seperti tatakan dan tempat makanan  juga tidak luput diembat. Ya ketahuanlah oleh sang pramugari akhirnya karena saat dibereskan peralatan makan tersebut tidak ada dalam penampakan. Dengan bahasa yang sopan pramugari tersebut meminta kembali peralatan makan tersebut dari temen gue hihihhihi bisa dibayangkan apa yang terjadi kan?

Pukul 14.00 pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Suvarnabhumi Bangkok yang sangat megah. Bandara yang baru dioperasikan tahun 2006 ini menggantikan Bandara Don Muang dan terletak sekitar 25 km sebelah timur kota Bangkok. Nama Suvarnabhumi sendiri diberikan oleh Raja Thailand Bhumibol Adulyadej yang berarti Tanah Emas. Bandara Suvarnabhumi merupakan bandara yang memiliki terminal terluas kedua di dunia setelah Bandara Internasional Hongkong. Jujur gue sangat takjub dengan bandara ini dan bila membandingkan dengan bandara Soekarno Hatta gue sangat trenyuh dan miris, jauh banget deh perbandingannya.


Karena ukuran bandara yang sangat luas, maka tidak heran jarak dari terminal tempat pesawat parkir sampai ke tempat pemeriksaan imigrasi cukup jauh sehingga kami harus berjalan kaki selama beberapa belas menit untuk mencapainya. Setelah mencapai counter imigrasi antrian panjang terbentang di depan mata kami. Thailand merupakan salah satu tujuan wisata favorit di dunia, dan  pintu masuk Bangkok sebagai gerbang utama selalu ramai dikunjungi oleh turis asing dari mancanegara sehingga tidak heran antrian di imigrasi pun selalu panjang.


Lepas dari antrian imigrasi yang berjalan lancar tanpa hambatan kami menuju tempat pengambilan bagasi dan mendapatkan 4 bagasi kami sudah tergolek pasrah  dan terdampar seolah-olah sebagai barang tak bertuan hehehe. Begitu cepatnya sistem distribusi bagasi di Bandara Suvarnabhumi sehingga sebelum urusan imigrasi kami selesai semua bagasi telah terangkut dan tiba di terminal kedatangan sehingga kami tidak perlu berlama-lama untuk menunggu kedatangan bagasi. Lain halnya kalau kita membandingkan dengan Bandara Soekarno Hatta, kita harus menunggu bagasi dengan waktu yang cukup lama dari pesawat hinggal terminal penumpang. Yah..Bandara Soekarno Hatta memang harus banyak berbenah di sana sini kalau tidak mau kalah bersaing dengan bandara lain di dunia.

Dengan menggunakan taksi kami meninggalkan Bandara Suvarnabhumi dan meluncur ke kota Bangkok untuk menuju Hotel Reno yang sudah kami pesan dari Jakarta. Tarif taksi THB 500 (sekitar Rp 150,000) yang kami bayar secara kolektif.  Begitu memasuki kota Bangkok kami terjebak dengan kemacetan di sana sini. Yah...untuk urusan macet, setidaknya Bangkok memiliki teman yang sepadan dengan Jakarta malah agak sedikit lebih parah apalagi ketika kami memasuki kota Bangkok mendekati jam bubaran kantor sehingga kami terjebak dalam kemacetan yang lumayan parah. Sekitar pukul 16.30 akhirnya kami tiba di Hotel Reno yang terletak di distrik Pathum Wan  tempat kami menginap selama berada di Bangkok.


Informasi mengenai hotel ini kami dapat dari seorang rekan teman kami yang sebelumnya pernah menginap di sini. Walaupun hotel ini terbilang kecil namun cukup nyaman dan lumayan bersih tapi ada satu hal yang sedikit mengganggu yaitu agak sedikit “bau2” gimana gitu, kayaknya bekas orang merokok di dalam kamar. Kayaknya lain kali kalau mau menginap lagi di sini harus siap membawa pengharum ruangan hehehe. Dengan harga per malam THB 1,280 ( sekitar Rp 384,000) untuk tipe twin sharing ,bisa dibilang harga ini cukup murah dan terjangkau apalagi kalau dilihat dari lokasinya yang sangat strategis di pusat kota dan mendapat fasilitas sarapan pagi pula. Hanya berjarak sepelemparan batu, stasiun BTS Skytrain ( National Stadium Station) dapat dicapai dengan berjalan kaki. Demikian juga dengan MBK (Mah Boon Krong) yaitu mall terbesar di kota Bangkok juga dapat dijangkau dengan berjalan kaki hanya 10 menit dari hotel.

Setelah menyelesaikan urusan check in, kami mandi dan beristirahat sejenak setelah itu langsung bersiap untuk mengeksplor kota Bangkok di malam hari. Sasaran pertama yang kami tuju tentu saja mall MBK karena letaknya yang paling dekat dari hotel. Mall yang berdiri sejak  tahun 1985 dan direnovasi kembali tahun 1992 merupakan mall yang terbesar di kota Bangkok dan merupakan tempat popular bagi turis asing. Mall ini terdiri dari 8 lantai yang terdiri dari :
·         Lantai 1-3: yang menjual pakaian, sepatu, barang-barang yg terbuat dari kulit,       kosmetik,  mainan anak-anak,  dan perhiasan emas.
·         Lantai 4 : menjual peralatan elektronik, telepon selular, CD dan MP3.
·         Lantai 5: Restoran internasional, peralatan furniture, fotography dan komputer.
·         Lantai 6: Food Court dan toko-toko yang menjual suvernir.
·         Lantai 7: Movie theater, bowling dan  karaoke
·         Lantai 8 : Movie theater

Makan malam pertama kami lalui di food court mall ini dan harga makanan  tidak terlalu mahal juga berkisar THB 70-120 tergantung apa yang kita makan dan makanan yang tersedia juga beraneka ragam jadi banyak pilihan buat pengunjung. Setelah kenyang makan kami lanjutkan dengan keliling-keliling mall tersebut, namun hasrat belanja kami redam dulu, cukup mengincar dulu untuk kami kembali lagi nanti di hari berikutnya mengeksekusi hehehe.
Puas mengelilingi MBK kami lanjutkan berjalan-jalan di sekitar MBK. Daerah di mana MBK ini berada mirip seperti halnya Orchad Road di Singapore dan Bukit Bintang di Kuala Lumpur. Banyak terdapat mall atau pusat perbelanjaan lain di sekitar MBK diantaranya yang kami kunjungi yaitu : Siam Paragon, Siam Square, dan Central World. Kami juga mengunjungi  Four Faces Budha di daerah Erawan Shrine yaitu suatu tempat di mana terdapat patung Budha dengan 4 wajah yang menghadap 4 sisi mata angin. Di tempat ini banyak penganut agama Budha yang datang untuk berdoa dengan diiringi pertunjukan seni berupa tarian khas Thailand yang menghibur para pengunjung. Kunjungan ke  Four Faces Budha ini menutup rangkaian kegiatan hari pertama kami di Bangkok dan kami kembali ke hotel beristirahat untuk melanjutkan aktivitas kami di Bangkok pada esok hari.

Salah satu kendala di Bangkok yaitu sedikit sekali  warganya yang menguasai Bahasa Inggris sehingga kami agak kesulitan ketika bertanya tentang lokasi yang kami belum tau persis tempatnya. Ini kami alami ketika  mencari lokasi Four Faces Budha dan bertanya kepada beberapa warga mereka kesulitan menjelaskan kepada kami dalam Bahasa Inggris. Akhirnya kami mengincar warga yang kira-kira mempunyai wajah “intelektual” yang menguasai Bahasa Inggris sehingga akan memudahkan kami menerima informasi dari mereka. Akhirnya di salah satu halte bis kami menemukan wajah “intelektual” tersebut dan kami bisa menemukan lokasi yang akan kami tuju.Hufft.....
Hari 2:
21 Oktober 2009. Sesuai dengan itinerary yang telah kami susun di Jakarta, kegiatan di hari ke-2 yaitu wisata sungai di kota Bangkok yaitu Chao Praya dan dilanjutkan kunjungan ke Grand Palace. Terus terang, Bangkok sangat kreatif memanfaatkan sungai ini menjadi atraksi wisata menarik bagi para turis asing. Selain menjadi atraksi wisata, sungai inipun menjadi salah satu urat nadi bagi warga kota Bangkok untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlu menghadapi macet seandainya mereka melakukan mobilitas melalui jalan darat.  Setelah sarapan pagi di hotel, kami berjalan kaki ke BTS Skytrain menuju  dermaga awal yaitu Sathorn Pier untuk memulai wisata sungai Chao Praya hari ini. Harga tiket terusan  per orang THB 150 (sekitar Rp 45,000) di mana kita dapat turun dan naik di setiap dermaga (terdapat 8 dermaga) yang dilalui oleh kapal wisata tersebut tanpa perlu membayar lagi selama 1 hari penuh. Setelah menunggu sekitar 15 menit, kapal mulai berlayar membelah sungai Chao Praya. Sembari kapal berlayar, kamipun sibuk berfoto di atas kapal dan secara tak sengaja berkenalan dengan seorang turis asal AS yaitu Bill (udah kakek2 sih hehehe) yang melakukan perjalanan  seorang diri. Beliau menawarkan diri untuk mengambil foto kami ber-4 dan secara tak terduga beliau mengajukan diri untuk bergabung dengan rombongan kami dalam perjalanan hari itu. Kamipun tak dapat menolak permintaan beliau dan akhirnya bergabung dengan kami.

Perhentian pertama kami di Wat Pho untuk melakukan kunjungan ke Kuil Wat Pho. Dari dermaga perhentian kami berjalan kaki hanya 5 menit dan tiba di Kuil Wat Pho. Dengan membayar karcis masuk per orang sebesar THB 50 (sekitar Rp 15,000) kami mulai menjelajah kuil ini. Sebuah Patung Budha raksasa yang berbalutkan emas dengan posisi berbaring terdapat di dalam kuil ini. Inilah patung Budha berbaring (Reclining Budha) terbesar di dunia. Kuil Wat Pho ini dibangun tahun 1788 dan pada masa pemerintahan Raja Rama III, kuil ini direstorasi dan diperluas. Tahun 1982, kembali direstorasi untuk ke-2 kalinya. Sambil keliling kuil dan tak lupa tentunya kami sibuk berfoto ria secara bergantian dan kami  “memanfaatkan” sang kakek untuk mengambil foto kami jika ingin berfoto ber-4 hahahaha ada untungnya juga si kakek ngintil kemanapun kami pergi setidaknya untuk memfoto kami ber-4!

Dari Kuil Wat Pho kami melanjutkan langkah ke Grand Palace yaitu komplek Istana Raja Thailand yang jaraknya dekat dengan Wat Pho. Walaupun jaraknya dekat, namun karena komplek istana ini dikelilingi oleh tembok putih sepanjang 1,900M dan pintu masuk menuju istana ini berada di sisi yang jaraknya lumayan cukup jauh dari tempat kami bertolak, sehingga kami harus berjalan kaki memutar untuk mencapai pintu gerbang masuk. Sebenarnya terdapat beberapa pintu masuk di tembok yang mengelilingi istana ini, namun tidak semua pintu dibuka sebagai pintu masuk untuk kunjungan turis melainkan hanya pintu tertentu saja. Banyak tuk tuk (angkutan tradisional di Thailand yang menggunakan tenaga mesin mirip seperti bajaj di Jakarta namun ukurannya sedikit lebih besar dari bajaj) yang lalu lalang menawarkan jasa mengantar sampai ke Grand Palace, namun setelah membaca beberapa testimony di internet dari orang-orang yang melakukan traveling ke Thailand yang mengingatkan untuk berhati-hati jika menggunakan jasa tuk tuk dengan berbagai alasan seperti tarif yang dimahalin, tidak diantar sampai tempat tujuan, meminta tambahan tarif dll membuat kami agak sedikit parno untuk naik tuk tuk. Dengan diiringi hujan gerimis akhirnya kami mencapai pintu gerbang Grand Palace dan langsung membeli tiket masuk sebesar THB 350 (sekitar Rp 105,000) per orang. Untuk masuk ke dalam komplek istana ini berlaku aturan setiap pengunjung harus mengenakan pakaian yang pantas dan sopan (celan/rok panjang serta kaos/baju berlengan). Grand Palace merupakan tempat yang wajib dikunjungi bila kita berwisata ke kota Bangkok karena keindahannya yang sungguh menakjubkan.

Komplek Grand Palace didirikan tahun 1782 pada masa pemerintahan Raja Rama I ketika beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Thonburi ke Bangkok di tepi sebelah timur Sungai Chao Praya dan istana ini menjadi tempat kediaman resmi raja-raja Thailand. Akan tetapi, raja yang sekarang memerintah yaitu Raja Bhumibol Adulyadej tidak tinggal di istana ini  melainkan di istana lain yaitu Istana Chitralada. Komplek istana ini sangat luas yaitu mencapai 218,400sqm dan dibagi menjadi 3 lapis yang masing-masing dikelilingi tembok.



Lapisan paling dalam adalah tempat tinggal keluarga kerajaan dan kantor-kantor penting kerajaan. Lapisan luar terdiri dari hall kerajaan, area penerima tamu dan bangunan-bangunan pemerintah untuk menyelenggarakan upacara penting. Sedangkan area terluar adalah tempat di mana Royal Temple (kuil kerajaan) Wat Phra Kaew berada. Gue sangat terkesan dengan kuil ini yang di dalamnya terdapat patung Emerald Budha yaitu Patung Sang Budha dalam posisi duduk bermeditasi yang dibalut dengan emas. Untuk masuk ke dalam ruangan ini kita harus melepaskan alas kaki serta tidak boleh mengoperasikan kamera dan video.

Begitu luasnya komplek istana ini sehingga kita perlu meluangkan waktu 2-3 jam untuk mengelilingi serta melihat keseluruhan bangunan yang ada serta meneliti setiap detail arsitektur bangunan. Puas mengelilingi serta berfoto di komplek Grand Palace ini, kami beristirahat sejenak untuk makan siang dan melanjutkan penjelajahan  ke lokasi lain tetapi masih di sekitar tepi Sungai Chao Praya. Kali ini kami mengunjungi Wat Arun (Temple of Dawn) yang untuk mencapai tempat ini kami harus menyeberang Sungai Chao Praya kembali. Tiket masuk Wat Arun seharga THB 50 (sekitar Rp 15,000) harus dibayar setiap pengunjung pada saat masuk.

Kuil/candi ini dibangun pada tahun 1809 yang terdiri dari 4 kuil dengan ukuran kecil mengelilingi satu kuil dengan ukuran besar yang menjadi pusat dari kuil/candi ini. Kita dapat naik hingga ke puncak dari kuil ukuran besar ini dengan mendaki anak tangga dan kondisi tangganya sangat menanjak. Setelah berjuang mendaki satu persatu anak tangga dengan kondisi ngos-ngosan akhirnya kami tiba di puncak  kuil dan sesampainya di atas kita disajikan pemandangan kota Bangkok yang sangat indah  dan landmark Grand Palace terhampar di depan mata. Sungguh mempesona! Puas berfoto-foto di puncak, kembali kami harus berjuang untuk turun dengan kondisi anak tangga yang begitu curam.
Oh ya di sekitar Kuil Wat Arun ini juga terdapat kios-kios yang menjual suvernir khas Thailand dan kamipun tidak melewatkan untuk mengunjunginya. Kios-kios berjejer menawarkan barang-barang yang mirip antara satu kios dengan kios yang lainnya. Kami mampir ke salah satu kios yang ternyata penjualnya ibu-ibu setengah baya dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia. Kesempatan ini kami gunakan untuk menawar harga barang “habis-habisan”, mumpung beliau mengerti Bahasa Indonesia, begitu pikir kami hehehe. Satu lagi yang membuat kami terpesona dengan kios ini, selain mata uang Baht Thailand, beliau juga menerima pembayaran transaksi dalam mata uang Rupiah loh! Temen-temen gue memborong suvernir lumayan banyak untuk dibagi-bagikan kepada teman, saudara, keluarga dll. Gue ? yah ala kadarnya saja karena gue pikir masih ingin membeli di tempat lain.
Waktu terus bergulir mengiringi perjalanan kami dan tanpa terasa hari menjelang sore. Tanpa buang-buang waktu kami segera meluncur ke kawasan Khao San Road dengan menggunakan taksi dan membayar  secara borongan sebesar THB 100 (sekitar Rp 30,000) dari Wat Pho. Khao San Road merupakan kawasan backpacker dan di tempat inilah para backpacker dari seluruh penjuru dunia berkumpul. Kawasan ini mirip dengan Kuta dan Legian di Bali yang dipenuhi dengan hostel, pub dan bar, restoran, salon, agen perjalanan, penjual suvernir, penjual jajan khas Thailand dan aneka penjual lainnya. Kawasan ini sangat hiruk pikuk dengan pola tingkah laku wisatawan mancanegara.

Setibanya di sana kami langsung mencari agen perjalanan untuk membeli paket kunjungan city tour ke kota Ayutthaya, yaitu kota kuno bekas ibukota negara Thailand di  masa lalu. Kami keluar masuk ke beberapa agen perjalanan untuk membandingkan harga  serta paket yang ditawarkan dan akhirnya kami deal dengan harga THB 550 (sekitar Rp 165,000) per orang. Cukup murah..
Tak lupa kami mencicipi Pad Thai (kwetiau khas Thailand) yang banyak dijual di kawasan Khao San. Kenyang makan kembali ritual belanja dilanjutkan dengan menyelinap masuk setiap gang untuk memburu barang-barang yang menarik. Beberapa lembar kaos sempat berpindah tangan ke dari penjual ke temen gue yang memborong beberapa kaos.
Kaki ini belum terasa lelahnya sehingga kami arahkan langkah kami ke kawasan Suan Lum Night Bazar yang merupakan salah satu tempat favorit para turis untuk berbelanja. Satu persatu kios kami kunjungi dan gue sempat membeli beberapa suvernir di sini yang tentunya harga di sini dapat ditawar. Ke Thailand kalo tidak mencicipi masakan Tom Yam yang tersohor itu rasanya seperti ada yang kurang lengkap. Akhirnya semangkuk Tom Yam menjadi teman santap malam yang tersedia di salah satu food hall. Tak terasa sudah larut malam dan kami harus mengakhiri kegiatan kami hari ini dan kembali ke hotel untuk beristirahat karena kakipun sudah nggak mau kompromi lagi dibawa jalan sejak pagi. 

Hari 3 :
22 Oktober 2009 agenda kami yaitu mengambil paket city tour selama 1 hari penuh ke kota Ayutthaya. Jam 07.30 pagi setelah sarapan pagi kami telah stand by di hotel untuk dijemput oleh pihak travel agent yang akan mengantar kami city tour ke Ayutthaya. Bersama dengan kami dalam satu rombongan berjumlah 11 orang beserta dengan seorang pemandu wisata dan kami sempat berkenalan dengan Yumi (asal New Zealand keturunan Jepang) serta Nisha (asal Singapore). Perjalanan Bangkok-Ayutthaya ditempuh kurang lebih 1.5-2 jam dengan kondisi jalan yang mulus.
Ayutthaya merupakan ibukota kuno Kerajaan Siam dari tahun 1350-1767. Karena dikelilingi oleh tiga sungai, menjadikan Ayutthaya sebagai jalur perdagangan yang penting pada masa itu sehingga  membuat kerajaan tersebut menjadi kerajaan yang makmur. Kemakmuran dan kesuksesan Ayutthaya membuat iri kerajaan-kerajaan di sekitarnya dan  beberapa kali kerajaan ini terlibat perang diantaranya  dengan  Vietnam dan Birma. Peperangan terbesar terjadi tahun 1765 di mana Ayutthaya diserang oleh tentara kerajaan Birma dan pada tahun 1767 akhirnya dapat ditundukkan melalui pengepungan yang berlarut-larut. Ayutthaya dibumihanguskan. Berbagai kekayaan seni dan barang-barang berharga seperti emas dijarah serta dirampas. Perpustakaan yang menyimpan dokumen-dokumen bersejarah juga ikut dihancurkan. Ayutthaya nyaris musnah dan kota tersebut akhirnya ditinggalkan dalam keadaan hancur berantakan. Di tempat sisa-sisa kerajaan yang hancur tersebut kita masih dapat menyaksikan puing-puing peninggalan berupa istana, kuil/candi dan komplek tersebut sekarang ditetapkan sebagai Warisan Dunia Unesco (Unesco Heritage Site)

Perhentian pertama kami diajak singgah ke beberapa kuil/candi  yang kesemuanya berupa komplek kuil/candi peninggalan masa lalu Kerajaan Ayutthaya yaitu Wat Phukhao Thong, Wat Yai Chaimongkhon, Wat Maha That, dan Wat Phrasisanpeth. Kunjungan ke komplek Unesco Heritage Site berupa reruntuhan dan puing-puing kerajaan Ayutthaya masa lalu juga tidak dilewatkan. Namun Bahasa Inggris sang pemandu kurang bisa dimengerti sehingga gue agak sulit mencerna apa yang dijelaskan oleh sang pemandu.

Setelah diselingi dengan makan siang di salah satu restoran, perjalanan dilanjutkan lagi ke kuil sebuah kuil yang terdapat patung Budha raksasa (hm..rasanya agak sedikit bosan seharian disuguhi dengan kunjungan ke beberapa kuil hehehehe). Puncak dari city tour ke Ayutthaya yaitu kunjungan ke Istana Bang Pa In. Istana ini juga dikenal dengan Summer Palace dan dibangun pada tahun 1632 pada masa pemerintahan Raja Prasat Thong. Istana ini sempat beberapa kali direstorasi yaitu masa pemerintahan Raja Mongkut dan Raja Chulalongkorn. Pada masa sekarang istana ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Thailand dan juga digunakan sebagai tempat menerima tamu-tamu penting kerajaan.

Harga tiket masuk THB 100 per orang (sekitar Rp 30,000). Komplek Istana Bang Pa In sangat luas apalagi untuk  mengelilinginya kami lakukan dengan berjalan kaki. Hufft...lumayan terasa pegal kaki ini apalagi untuk masuk dari satu bangunan ke bangunan lain harus kami lakukan dengan tergesa-gesa dan terburu-buru karena sudah mendekati jam tutup. Penjelasan dari pemandu wisatanya  juga terburu-buru, namun kami tetap dapat menikmati komplek istana yang begitu megah dan indah ini. Bentuk arsitektur bangunan yang terdapat di dalam komplek istana ini beragam yaitu Eropa, Cina serta lokal Thailand. Pokoknya istana Bang Pa In ini sangat direkomendasikan jika berkunjung ke Ayutthaya.

Akhirnya sekitar jam 4 sore kami mengakhiri city tour dan diantar pulang kembali ke Bangkok dan didrop di Khao San Road. Ah....kami punya alasan untuk kembali menjelajahi kawasan ini dan beberapa temen gue sepertinya sangat sulit untuk menolak “sihir” Khao San dan kembali menggelontorkan mata uang Baht mereka untuk berbelanja. Gue sendiri hanya ngemil beberapa snack yang banyak dijual di sepanjang Khao San Road. Setelah puas menjelajahi Khao San untuk yang kedua kalinya, kami kembali ke hotel untuk mandi, istirahat sejenak dan dilanjutkan dengan makan malam di MBK lagi.
Hari 4 :
23 Oktober 2009 Setelah sarapan pagi kami langsung check out dari hotel untuk melanjutkan traveling kami ke Pattaya. Dengan hanya membawa satu tas kecil sedangkan koper besar kami titipkan di Hotel Reno karena kami akan kembali menginap di Hotel tersebut sekembalinya dari Pattaya.
Dari National Stadium Station yaitu stasiun BTS yang terdekat dengan hotel, kami meluncur ke Stasiun Hualampong di mana kami  merencanakan untuk naik kereta api ke Pattaya. Namun sesampainya di Hualampong, kereta yang pertama dan terakhir telah berangkat ke Pattaya dan setelah itu tidak ada lagi jadwal kereta yang berangkat ke Pattaya . Sungguh aneh memang karena jadwal perjalanan ke Pattaya sedikit sekali padahal Pattaya merupakan destinasi bagi para turis. Iseng-iseng kami mampir ke salah satu travel agent yang terdapat di dalam area stasiun untuk bertanya tarif ke Pattaya jika menggunakan jasa travel. Ternyata harganya sangat mahal bila dibandingkan dengan harga tiket kereta. Setelah bertanya sana sini kami mendapat info kalau transportasi ke Pattaya juga tersedia dengan bus umum dan berangkat dari Terminal Ekkamai.
Tanpa membuang waktu kami segera bertolak ke Terminal Bus Ekkamai dan langsung membeli tiket bus untuk jam keberangkatan yang terdekat. Terminal ini cukup tertib dan bersih dan jadwal keberangkatan ke Pattaya tersedia hampir setiap jam. Akhirnya sekitar pukul 10.30 kami berangkat dan perjalanan ke Pattaya lebih kurang selama 2.5 jam.

Pukul 13.00 kami tiba di Pattaya dan kebetulan di sekitar terminal bus terdapat kantor pusat informasi turis. Kami mencoba masuk dan bertanya kepada petugas yang melayani kami dengan sangat ramah. Ternyata mereka menjual tiket masuk ke berbagai objek wisata di Pattaya serta tiket pertunjukan cabaret juga mereka jual. Akhirnya kami membeli paket ke Nong Nooch Tropical Garden & Resort serta tiket pertunjukan cabaret di Alcazar. Untuk pembelian paket tersebut kami mendapat “bonus” berupa kunjungan ke museum (tapi belum dikasih tau museum apa).
Sebelum melakukan kunjungan ke “museum” kami melakukan check in terlebih dahulu ke hotel tempat kami menginap selama di Pattaya yaitu Eastiny Residence di Soi 10. Hotel tempat kami menginap sangat nyaman dan bersih, bahkan lebih nyaman dari Hotel  Reno di Bangkok, dan harganya pun sangat bersahabat yaitu THB 1,100 (sekitar Rp 330,000) utk twin sharing room. Setelah istirahat sejenak, kami dijemput oleh pihak agent untuk melakukan kunjungan ke “museum”. Kami sendiri sempat bertanya-tanya “museum” apa yang akan kami kunjungi. Ternyata kami diantar ke toko jewellery alias toko yang menjual perhiasan permata. Astaga...ternyata kami “dijebak” di tempat prestisius seperti ini. Namun tak apalah sepanjang itu gratis tetap akan kami nikmati hehehe.  Toko tersebut memang sangat luas dan besar dan petugas yang melayani pun sangat profesional. Di dalam komplek toko tersebut terdapat museum yang menjelaskan asal muasal dan sejarah pertambangan intan yang ada di dunia yang kemudian diolah kembali menjadi berbagai macam perhiasan. Dengan mengendarai semacam kereta yang berjalan mengelilingi areal museum kami disuguhi cerita serta penjelasan seputar masalah perhiasan dan disampaikan dengan Bahasa Indonesia. Oh ya sebelum masuk kita akan ditanya asal negara kita sehingga pihak toko dapat menyesuaikan bahasa yang akan digunakan saat penyampaikan penjelasan  berkeliling di atas kereta. Selesai mengelilingi area museum semua pengunjung diarahkan ke area toko untuk berbelanja yang tentu saja kami lewati karena memang tidak terjangkau oleh kantong kami hehehe.
Sempat menunggu beberapa menit menunggu jadwal pengantaran kami kembali ke hotel. Akhirnya kami tiba kembali di hotel untuk istrirahat, mandi dan bersiap-siap untuk makan malam (di Central Festival) serta menonton pertunjukan cabaret. Sebelumnya kami sempat berjalan-jalan di sepanjang pantai Pattaya yang sangat tersohor itu. Namun  gue rasa kok pantainya sama sekali jauh dari indah dan kesannya agak jorok. Mending Pantai Kuta di Bali deh. Dan gue agak sedikit terperangah dengan pemandangan di sepanjang bibir pantai di mana banyak sekali “wanita jadi-jadian” alias waria yang nongkrong entah sedang menunggu siapa. 


Makan malam kami lewatkan di salah satu Mall di Pattaya (lupa namanya) dan dilanjutkan dengan menonton cabaret Alcazar. Beruntung kami telah membeli tiket sebelumnya karena suasana malam tersebut sangat ramai dan pengunjung sangat padat. Hampir seluruh kursi di gedung pertunjukan tersebut penuh terisi.

Pertunjukan yang berlangsung selama 2 jam menampilkan para Ladyboys Thailand yang menampilkan gabungan seni tari dan suara yang sangat menarik dan memukau. Para Ladyboys yang rata-rata melakukan operasi kelamin tersebut benar-benar cantik, rasanya wanita yang normal aja masih kalah cantik bila dibandingkan dengan mereka hahahaha. Dipadu dengan kreativitas seni mereka, pertunjukan tersebut nyaris sempurna dan 2 jam berlalu sangat cepat rasanya. Di akhir acara para pengunjung diberi kesempatan untuk berfoto-foto bersama para pemain yang “cantik-cantik” tersebut di halaman gedung pertunjukan  yang tentunya kita menyelipkan sejumlah uang tips kepada mereka.

Langkah kaki kami lanjutkan ke kawasan “Walking Street” yaitu kawasan hiburan malam di Pattaya yang dipenuhi dengan bar, club, diskotik, restoran dan sejenisnya. Kawasan tersebut sangat padat dan ramai oleh lautan manusia malam itu yang kebanyakan turis asing. Terus terang karena gue gak terlalu suka dengan kegiatan clubbing maka gue ga terlalu betah berada di tempat seperti ini apalagi dengan suasana hingar bingar yang bikin pusing kepala. Akhirnya gue mengajak teman-teman untuk berlalu dari tempat tersebut dan mencari tempat untuk nongkrong dan ngemil-ngemil makanan ringan dan dilanjutkan dengan jalan-jalan di malam hari mengelilingi Pattaya.

Hari 5 :
24 Oktober 2009 Selesai sarapan pagi kami langsung check out dari Eastiny Residence untuk kemudian dijemput oleh pihak pusat Informasi turis Pattaya menuju Nong Nooch Tropical Garden & Resort. Sebelum berangkat ke tempat tujuan, kami menjemput 2 turis asal Iran yang akan satu rombongan dengan kami. Perjalanan ke Nong Nooch yang terletak di kawasan Na-Jomtien, Satahip ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit.

Nong Nooch Tropical Garden & Resort  merupakan komplek taman yang sangat luas dan memiliki koleksi tanaman yang beragam. Pada awalnya, taman ini adalah milik pribadi dari Mr. Pisit dan Mrs. Nongnooch Tansacha yang pada tahun 1954 membeli tanah seluas 600 acres di wilayah perbukitan dan lembah di Sukhumvit Road propinsi Chonburi yang rencananya akan dijadikan perkebunan buah-buahan seperti mangga, jeruk dan kelapa dan buah-buahan lokal lainnya. Akan tetapi, Mrs. Nongnooch ketika melakukan perjalanan ke luar negeri terinsipirasi dengan kecantikan dan keindahan taman-taman yang ada di seluruh dunia dan memutuskan untuk mengubah rencannya dari perkebunan buah-buahan menjadi taman tropis dengan tanaman dan bunga ornamental. Bermula dari taman konservasi akhirnya taman ini menjadi atraksi turis yang sangat menarik dan kemudian dilengkapi dengan rumah-rumah bergaya Thai, cottages, villa, banquet halls, kolam renang, restoran dan fasilitas lain yang dibuat untuk kenyamanan turis.

Taman ini resmi dibuka untuk umum tahum 1980 dan jumlah pengunjungnya rata-rata sebanyak 2,000 orang per hari. Saat ini, selain menjadi objek wisata Nong Nooch juga menjadi pusat konservasi, penelitian, pendidikan dan pengembangan dari tanaman dan buah-buahan tropis yang terbesar di Thailand.

Selain kita dapat menikmati koleksi tanaman yang tersebar di seluruh area, kita juga dapat bersantai di taman-taman yang tersedia dengan bangunannya yang berarsitektur lokal Thai dan Eropa. Sangat indah sekali pemandangan yang terhampar dan rasanya tak mau beranjak dari tempat ini untuk menikmati keindahannya. Juga tersedia pertunjukan seni mirip dengan tradisional cabaret yang dapat dinikmati pengunjung yang tak kalah menariknya dengan show di Alcazar yang kami tonton pada malam sebelumnya. Pertunjukan Thai Boxing yang sudah sangat terkenal juga melengkapi show yang ada di Nong Nooch ini. Tapi yang menjadi favorit gue di sini yaitu Elephant Show. Biasanya dalam pertunjukan gajah yang kita tonton entah di Taman Safari atau di sirkus-sirkus hanya menampilkan ketrampilan dan kepintaran sang gajah, namun di Nong Nooch selain memperlihatkan kecerdasan gajah juga dipadu dengan kisah dan cerita yang menarik tentang ulah manusia yang merusak lingkungan sehingga mengganggu habitat serta kehidupan para gajah dan pada akhirnya gajah tersebut berhadapan dengan manusia untuk mempertahankan kawasan hutan tempat tinggal mereka. Sangat menarik, kisah yang sarat dengan pesan untuk menyelamatkan lingkungan.

Tuntas sudah kegiatan kami di Nong Nooch pada tengah hari untuk selanjutnya diantar kembali ke hotel. Namun karena kami tidak kembali lagi ke hotel, maka kami minta diantarkan ke terminal bus Pattaya untuk selanjutnya kembali ke Bangkok. Kami berhenti sejenak di sebuah tempat makan dekat terminal untuk mengisi perut yang sudah keroncongan menjerit-jerit. Menu kami siang ini yaitu mie dan bihun khas Thailand yang rasanya lumayan.
Akhirnya kami harus meninggalkan Pattaya, kota yang meninggalkan kenangan mendalam bagi kami untuk kembali ke Bangkok. Sesampainya di Bangkok, kami check in kembali di Hotel Reno untuk selanjutnya beristirahat sejenak. Malam harinya kami bersiap untuk kembali menjelajahi kota Bangkok dengan tujuan Chatucak Weekend Market yaitu tempat belanja populer bagi para turis selain Suan Lum Night Bazar. Pasar ini hanya buka di akhir pekan yaitu Sabtu dan Minggu. Sesampainya di sana, kami harus menelan pil pahit karena pasar tersebut sedang siap-siap untuk tutup bahkan ada yang tutup sama sekali. Rupanya pasar tersebut tutup pukul 7 malam ketika kami tiba di sana waktu telah menunjukkan pukul 7an. Agak sedikit kecewa rasanya namun apa mau dikata. Akhirnya kami mengobati kekecewaan kami dengan melipir kembali ke Suan Lum Night Bazar untuk.........ya belanja-belanja lagi! Hehehehe.
Hari 6 :
25 Oktober 2009 Tak terasa telah 6 hari kami berada di Thailand dan hari ini adalah hari terakhir. Tak ada kegiatan apa-apa yang kami lakukan hari ini selain beres-beres koper dan barang-barang lain karena kami akan segera check out dan kembali ke Jakarta pada siang hari. Ada pengalaman lucu yang terjadi yang menimpa teman gue yaitu pada saat check out dari hotel di Pattaya sehari sebelumnya, dia tidak menyadari kalo ipodnya ketinggalan di hotel. Ketika menunggu jemputan ke Nong Nooch, gue dihampiri petugas yang mengecek kamar setelah kami check out yang menanyakan apakah gue ada ketinggalan barang-barang yang diperlihatkan kepada saya yaitu celana pendek dan Ipod. Celana pendek tersebut memang milik gue dan langsung gue ambil kembali namun karena Ipod tsb bukan milik gue maka tidak gue ambil.
Ternyata, pada saat siap-siap akan check out dari Hotel Reno temen gue baru menyadari kalo Ipodnya ketinggalan di Eastiny Residence Pattaya. Gue kaget bukan kepalang karena rupanya Ipod yang diperlihatkan ke gue kemarin itu adalah milik temen gue. Akhirnya kami semua panik dan langsung menghubungi Eastiny Residence menjelaskan semuanya dan meminta mereka untuk mengirim kembali Ipod tersebut ke Jakarta dan temen gue tersebut yang akan menanggung biaya pengirimannya.
Tanpa disangka dan diduga ternyata pihak hotel bersedia untuk mengirimkan kembali ke Jakarta dan lebih kurang 2 minggu kemudian Ipod tersebut tiba di Jakarta. Duh...baik sekali pihak hotel tersebut sampai kami semua menjadi terharu hehehee.
Akhirnya GA 867 membawa kami pulang ke Jakarta melalui Bandara Suvarnabhumi Bangkok pukul 14.10. Ah...Thailand memang negeri yang eksotis untuk dikunjungi dan kami membawa sejuta kenangan indah di sana.

No comments:

Post a Comment